Rabu, 14 Januari 2015

[Cerpen] Sepatu







“Ini sepatu Dotty ya?”

Mas Eric menggoyangkan benda yang baru ditemukannya di dalam mobil. Aku menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. Ia mengulurkannya padaku dan aku menerimanya. Kutatap lagi benda itu.

Sepasang sepatu prewalker mungil berwarna merah dengan aplikasi bunga merekah di atasnya. Terlihat begitu centil dan manis. Milik Dotty, bayi Rahardian dan Benita.

Kemarin kami pergi bersama menghadiri suatu acara. Rahardian, Benita, dan si kecil Dotty menumpang mobil kami karena mobil mereka sedang masuk bengkel.

Dotty, bayi cantik berumur 10 bulan itu, entah kenapa selama ini begitu lengket denganku. Bila kami bertemu pada setiap kesempatan maka ia akan mengulurkan tangan padaku. Minta digendong.

Maka aku akan memenuhi permintaannya dengan senang hati. Menggendongnya. Mencium pipi bulatnya. Membaui wangi khas bayi yang sudah lama tak pernah kucium lagi sejak Elton, perjaka pra-ABG-ku, tak mau lagi memakai minyak telon, bedak bayi, dan baby cologne.

“Ma, aku ke tempat cuci steam mobil dulu ya?”

Aku tersentak. Mas Eric menciumku sekilas sebelum keluar lagi.

“Pa! Aku ikut dong!”

Entah dari mana munculnya, tiba-tiba Elton sudah ada di belakang Mas Eric. Mas Eric tertawa sambil mengacaukan rambut tebal Elton.

“Ma, aku ikut Papa ya?” Elton menoleh ke arahku.

Aku mengangguk dan kedua orang itu segera menghilang ke dalam mobil. Setelah mereka meluncur pergi, aku masuk dengan sepasang sepatu mungil itu ada di tanganku.

Kuletakkan sepatu prewalker itu di atas meja makan. Aku pun duduk dan kembali menatapnya.

Aku selalu menginginkan punya seorang anak perempuan. Sungguh! Sejak dulu sebelum menikah aku sudah sering membayangkan memiliki bayi cantik yang bisa habis-habisan kudandani.

Tapi aku tak pernah kecewa ketika Tuhan hanya memberiku seorang Elton. Dia toh buah cintaku dengan Mas Eric juga. Selamanya akan tetap menjadi my perfect baby boy. Dan tentu saja aku mencintainya sepenuh hatiku.

Kutatap sekali lagi sepatu mungil berwarna merah itu sebelum meraih ponselku. Pelan aku menyentuh layarnya. Semenit kemudian kubaca lagi hasil ketikanku.

Nyut, kalau praktek di Anugerah mampir ke tempatku ya? Sepatu Dotty ketinggalan di mobilku.

Kuhela napas panjang. Berharap Dulkenyut itu, eh... Rahardian, terlalu sibuk dengan prakteknya sebagai dokter ahli kandungan hingga tak sempat membaca pesan dariku. Tapi rupanya kali ini pun doaku tak terkabulkan. Beberapa menit setelah pesanku terkirim, ponselku berbunyi.

Ooo... Yang merah ya? Pantesan kemarin Benita bingung cari-cari. Besok sore aku ke Anugerah. Sebelum praktek aku mampir ke tempatmu. Trims, Thul!

Setelah kubaca pesan itu, kuletakkan kembali ponselku. Lalu... kutatap lagi sepasang sepatu mungil berwarna merah itu.

* * *

Pagi ini setelah Mas Eric berangkat ke kantor dan Elton berangkat ke sekolah, aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku. Hari ini pekerjaan terbesarku cuma memasak. Setidaknya aku hanya ingin melakukan itu dan menunda pekerjaan lain karena aku punya hal yang jauh lebih penting untuk kulakukan.

Setelah masakanku siap dan dapurku bersih, aku segera melakukan pekerjaan penting itu. Meletakkan sepatu prewalker Dotty ke atas meja makan, menarik kursi dan duduk tepat di depan sepatu itu, lalu menatapnya sepuasku.

Anganku berkelana ke mana-mana. Tapi ujung-ujungnya tetap pada bayangan sepasang kaki montok yang memakai sepatu merah itu. Betapa menggemaskan! Dan serasa aku makin menginginkannya. Mungkin perlu juga kapan-kapan menculik Dotty selama beberapa hari.

Hah? Menculik Dotty? Sepertinya memang aku harus menyudahi lamunan ini supaya aku tidak jadi seorang calon kriminal dadakan seperti ini. Tapi aku tetap menancapkan tatapanku pada sepatu mungil itu.

Entah berapa lama aku memandangi benda lucu berwarna merah itu. Tapi bunyi bel pintu terasa sangat menggangguku. Malas-malasan aku menyeret langkahku ke ruang tamu.

Aku sempat blank ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamu rumahku. Sosok yang tinggi menjulang itu tersenyum lebar padaku. Aku mengerjapkan mata.

Kenyut... Kenapa sudah datang?

“Jangan bilang kamu menatapku kayak gitu karena jatuh cinta padaku,” Rahardian melebarkan senyumnya.

Aku mendengus sebal. Sahabatku sejak TK ini sebetulnya orang yang baik dan menyenangkan kalau saja usilnya tidak sedang kumat.

“Jadi aku nggak boleh masuk dan ambil sepatu Dotty?” ucapnya lagi, dengan nada merajuk seperti balita.

“Katamu kemarin mau datang sore ini?” aku melebarkan pintu dan membiarkannya masuk.

“Lha... Terus nggak boleh ya, kalau sekarang?”

Aku cuma bisa menatapnya sejenak tanpa bisa menjawab. Kuputuskan untuk segera mengambil sepatu Dotty dan membiarkan Rahardian membawanya pergi sejauh mungkin.

Rahardian menatapku tajam ketika kuulurkan sepatu Dotty padanya.

“Ada apa, Thul?”

Aku menggeleng. Hm... Dia memang selalu memangilku Penthul. Dari dulu.

Rahardian menerima sepatu itu dari tanganku. Aku masih menatapnya dengan sedih. Hanya sepatu mungil berwarna merah. Tapi kenapa rasanya bisa menyedot semua emosiku seperti ini?

“Mas Eric minggu lalu cerita kalau akhir-akhir ini kamu emosian. Sudah hampir dua bulan ini. Kenapa?”

“Aku sendiri nggak tahu,” kuatatap Rahardian. “Cuma sering nggak enak badan akhir-akhir ini. Faktor U.”

“Halah... baru juga tiga enam,” Rahardian mengibaskan tangannya.

Dia kemudian menatapku. Lama. Membuatku jengah.

“Kamu naik berapa kilo kok kelihatannya rada ndut?”

Aku mendesah. Akhir-akhir ini selera makanmu memang ‘mendunia’, dan aku serasa tak mampu mengeremnya.

“Nggak tahu.”

“Hm... Kalau boleh tahu, sudah berapa lama kamu telat haid?”

Aku menggeleng. “Sudah tiga bulanan ini nggak lancar. Kalau keluar juga dikit-dikit.”

“Boleh kasih saran?” Rahardian tersenyum menatapku. “Beli testpack, cek urine-mu.”

Hah??? Aku terbengong menatap Rahardian.

“Turuti saja kata-kataku,” Rahardian mengedipkan sebelah mata. “Kalau benar positif, silakan datang ke ruang praktekku. Gratis servis dariku sampai bayimu lahir.”

“Tapi aku nggak pernah ngalamin morning sickness,” aku mencoba membantah.

“Kamu kan memang sudah aneh dari sononya,” Rahardian tertawa. “Sudahlah, Thul... Cek saja.”

Aku masih terbengong menatapnya.

* * *

Gel yang dioleskan seorang perawat itu terasa dingin di kulit perutku. Entah kenapa aku berdebar-debar. Bulan lalu ketika kehamilanku masuk bulan keenam, aku mengalami hal yang sama. Tapi entah kenapa sore ini rasanya lain. Tanpa sadar aku menggenggam tangan Mas Eric, yang balas menggenggam jemariku dan menyalurkan kehangatan.

Rahardian mulai memainkan transduser yang dipegangnya. Meluncur ke sana-sini di atas gel di perutku. Matanya menatap layar monitor dengan serius.

“Hm...,” Rahardian menggumam. “Bulan lalu kemungkinan masih fifty-fifty. Sekarang tujuh puluhlah. Siapkan lebih banyak nama perempuan.”

Kurasakan tangan Mas Eric menggenggam tanganku lebih erat.

“Kondisinya gimana, Yan?” terdengar suara Mas Eric sedikit bergetar.

“Bagus,” Rahardian tersenyum menatap Mas Eric. “Kondisi Feby juga oke.”

“Puji Tuhan...,” gumam Mas Eric.

“Mau USG 4D, Thul?” Rahardian menatapku.

Aku menggeleng.

Semua sudah lebih dari cukup buatku. Sebenarnya apapun jenis kelamin calon adik Elton ini, aku tak terlalu peduli. Boleh hamil lagi setelah Elton berumur 12 tahun, itu adalah anugerah yang sangat besar untukku.

Tapi calon bayiku 70% perempuan? Itu seperti bintang jatuh! Tinggal sekitar delapan minggu lagi untuk memeluknya secara nyata. Hm... Rasanya sudah tak sabar lagi menunggunya lahir.

Mas Eric membantuku bangun. Aku merapikan baju sebelum kembali duduk di depan meja Rahardian. Setelah selesai menulis resep vitamin dan lain-lain, Rahardian membuka laci mejanya. Beberapa saat kemudian dia mengulurkan sebuah bungkusan padaku.

“Mungkin kamu mau menyimpannya.”

Aku segera membukanya. Sepasang sepatu mungil berwarna merah dengan hiasan bunga merekah di atasnya. Aku mengangkat wajah, menatap Rahardian. Rahardian tersenyum.

“Kalau bukan karena sepatu itu, mungkin kehamilanmu telat diketahui.”

Aku tersenyum lebar. Kudekap sepatu itu ke dadaku. Hidupku serasa lengkap sudah.

* * * * *

1 komentar: