“Ini sepatu Dotty ya?”
Mas Eric menggoyangkan benda yang baru
ditemukannya di dalam mobil. Aku menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. Ia
mengulurkannya padaku dan aku menerimanya. Kutatap lagi benda itu.
Sepasang sepatu prewalker mungil berwarna merah dengan aplikasi bunga merekah di
atasnya. Terlihat begitu centil dan manis. Milik Dotty, bayi Rahardian dan
Benita.
Kemarin kami pergi bersama menghadiri suatu
acara. Rahardian, Benita, dan si kecil Dotty menumpang mobil kami karena mobil
mereka sedang masuk bengkel.
Dotty, bayi cantik berumur 10 bulan itu,
entah kenapa selama ini begitu lengket denganku. Bila kami bertemu pada setiap
kesempatan maka ia akan mengulurkan tangan padaku. Minta digendong.
Maka aku akan memenuhi permintaannya dengan
senang hati. Menggendongnya. Mencium pipi bulatnya. Membaui wangi khas bayi
yang sudah lama tak pernah kucium lagi sejak Elton, perjaka pra-ABG-ku, tak mau
lagi memakai minyak telon, bedak bayi, dan baby
cologne.
“Ma, aku ke tempat cuci steam mobil dulu ya?”
Aku tersentak. Mas Eric menciumku sekilas
sebelum keluar lagi.
“Pa! Aku ikut dong!”
Entah dari mana munculnya, tiba-tiba Elton
sudah ada di belakang Mas Eric. Mas Eric tertawa sambil mengacaukan rambut
tebal Elton.
“Ma, aku ikut Papa ya?” Elton menoleh ke
arahku.
Aku mengangguk dan kedua orang itu segera
menghilang ke dalam mobil. Setelah mereka meluncur pergi, aku masuk dengan sepasang
sepatu mungil itu ada di tanganku.
Kuletakkan sepatu prewalker itu di atas meja makan. Aku pun duduk dan kembali
menatapnya.
Aku selalu menginginkan punya seorang anak
perempuan. Sungguh! Sejak dulu sebelum menikah aku sudah sering membayangkan
memiliki bayi cantik yang bisa habis-habisan kudandani.
Tapi aku tak pernah kecewa ketika Tuhan hanya
memberiku seorang Elton. Dia toh buah cintaku dengan Mas Eric juga. Selamanya
akan tetap menjadi my perfect baby boy.
Dan tentu saja aku mencintainya sepenuh hatiku.
Kutatap sekali lagi sepatu mungil berwarna merah
itu sebelum meraih ponselku. Pelan aku menyentuh layarnya. Semenit
kemudian kubaca lagi hasil ketikanku.
Nyut,
kalau praktek di Anugerah mampir ke tempatku ya? Sepatu Dotty ketinggalan di
mobilku.
Kuhela napas panjang. Berharap Dulkenyut itu,
eh... Rahardian, terlalu sibuk dengan prakteknya sebagai dokter ahli kandungan hingga tak
sempat membaca pesan dariku. Tapi rupanya kali ini pun doaku tak terkabulkan.
Beberapa menit setelah pesanku terkirim, ponselku berbunyi.
Ooo...
Yang merah ya? Pantesan kemarin Benita bingung cari-cari. Besok sore aku ke
Anugerah. Sebelum praktek aku mampir ke tempatmu. Trims, Thul!
Setelah kubaca pesan itu, kuletakkan kembali
ponselku. Lalu... kutatap lagi sepasang sepatu mungil berwarna merah itu.
* * *
Pagi ini setelah Mas Eric berangkat ke kantor
dan Elton berangkat ke sekolah, aku segera menyelesaikan semua pekerjaanku.
Hari ini pekerjaan terbesarku cuma memasak. Setidaknya aku hanya ingin
melakukan itu dan menunda pekerjaan lain karena aku punya hal yang jauh lebih penting
untuk kulakukan.
Setelah masakanku siap dan dapurku bersih,
aku segera melakukan pekerjaan penting itu. Meletakkan sepatu prewalker Dotty ke atas meja makan,
menarik kursi dan duduk tepat di depan sepatu itu, lalu menatapnya sepuasku.
Anganku berkelana ke mana-mana. Tapi
ujung-ujungnya tetap pada bayangan sepasang kaki montok yang memakai sepatu
merah itu. Betapa menggemaskan! Dan serasa aku makin menginginkannya. Mungkin
perlu juga kapan-kapan menculik Dotty selama beberapa hari.
Hah? Menculik Dotty? Sepertinya memang aku
harus menyudahi lamunan ini supaya aku tidak jadi seorang calon kriminal
dadakan seperti ini. Tapi aku tetap menancapkan tatapanku pada sepatu mungil
itu.
Entah berapa lama aku memandangi benda lucu
berwarna merah itu. Tapi bunyi bel pintu terasa sangat menggangguku.
Malas-malasan aku menyeret langkahku ke ruang tamu.
Aku sempat blank ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamu
rumahku. Sosok yang tinggi menjulang itu tersenyum lebar padaku. Aku
mengerjapkan mata.
Kenyut... Kenapa sudah datang?
“Jangan bilang kamu menatapku kayak gitu
karena jatuh cinta padaku,” Rahardian melebarkan senyumnya.
Aku mendengus sebal. Sahabatku sejak TK ini
sebetulnya orang yang baik dan menyenangkan kalau saja usilnya tidak sedang kumat.
“Jadi aku nggak boleh masuk dan ambil sepatu
Dotty?” ucapnya lagi, dengan nada merajuk seperti balita.
“Katamu kemarin mau datang sore ini?” aku
melebarkan pintu dan membiarkannya masuk.
“Lha... Terus nggak boleh ya, kalau
sekarang?”
Aku cuma bisa menatapnya sejenak tanpa bisa
menjawab. Kuputuskan untuk segera mengambil sepatu Dotty dan membiarkan
Rahardian membawanya pergi sejauh mungkin.
Rahardian menatapku tajam ketika kuulurkan
sepatu Dotty padanya.
“Ada apa, Thul?”
Aku menggeleng. Hm... Dia memang selalu
memangilku Penthul. Dari dulu.
Rahardian menerima sepatu itu dari tanganku.
Aku masih menatapnya dengan sedih. Hanya sepatu mungil berwarna merah. Tapi
kenapa rasanya bisa menyedot semua emosiku seperti ini?
“Mas Eric minggu lalu cerita kalau
akhir-akhir ini kamu emosian. Sudah hampir dua bulan ini. Kenapa?”
“Aku sendiri nggak tahu,” kuatatap Rahardian.
“Cuma sering nggak enak badan akhir-akhir ini. Faktor U.”
“Halah... baru juga tiga enam,” Rahardian
mengibaskan tangannya.
Dia kemudian menatapku. Lama. Membuatku
jengah.
“Kamu naik berapa kilo kok kelihatannya rada
ndut?”
Aku mendesah. Akhir-akhir ini selera makanmu
memang ‘mendunia’, dan aku serasa tak mampu mengeremnya.
“Nggak tahu.”
“Hm... Kalau boleh tahu, sudah berapa lama
kamu telat haid?”
Aku menggeleng. “Sudah tiga bulanan ini nggak
lancar. Kalau keluar juga dikit-dikit.”
“Boleh kasih saran?” Rahardian tersenyum
menatapku. “Beli testpack, cek urine-mu.”
Hah??? Aku terbengong menatap Rahardian.
“Turuti saja kata-kataku,” Rahardian
mengedipkan sebelah mata. “Kalau benar positif, silakan datang ke ruang
praktekku. Gratis servis dariku sampai bayimu lahir.”
“Tapi aku nggak pernah ngalamin morning sickness,” aku mencoba
membantah.
“Kamu kan memang sudah aneh dari sononya,”
Rahardian tertawa. “Sudahlah, Thul... Cek saja.”
Aku masih terbengong menatapnya.
* * *
Gel yang dioleskan seorang perawat itu terasa
dingin di kulit perutku. Entah kenapa aku berdebar-debar. Bulan lalu ketika
kehamilanku masuk bulan keenam, aku mengalami hal yang sama. Tapi entah kenapa
sore ini rasanya lain. Tanpa sadar aku menggenggam tangan Mas Eric, yang balas
menggenggam jemariku dan menyalurkan kehangatan.
Rahardian mulai memainkan transduser yang dipegangnya. Meluncur ke
sana-sini di atas gel di perutku. Matanya menatap layar monitor dengan serius.
“Hm...,” Rahardian menggumam. “Bulan lalu
kemungkinan masih fifty-fifty.
Sekarang tujuh puluhlah. Siapkan lebih banyak nama perempuan.”
Kurasakan tangan Mas Eric menggenggam
tanganku lebih erat.
“Kondisinya gimana, Yan?” terdengar suara Mas
Eric sedikit bergetar.
“Bagus,” Rahardian tersenyum menatap Mas
Eric. “Kondisi Feby juga oke.”
“Puji Tuhan...,” gumam Mas Eric.
“Mau USG 4D, Thul?” Rahardian menatapku.
Aku menggeleng.
Semua sudah lebih dari cukup buatku.
Sebenarnya apapun jenis kelamin calon adik Elton ini, aku tak terlalu peduli.
Boleh hamil lagi setelah Elton berumur 12 tahun, itu adalah anugerah yang
sangat besar untukku.
Tapi calon bayiku 70% perempuan? Itu seperti
bintang jatuh! Tinggal sekitar delapan minggu lagi untuk memeluknya secara
nyata. Hm... Rasanya sudah tak sabar lagi menunggunya lahir.
Mas Eric membantuku bangun. Aku merapikan
baju sebelum kembali duduk di depan meja Rahardian. Setelah selesai menulis
resep vitamin dan lain-lain, Rahardian membuka laci mejanya. Beberapa saat
kemudian dia mengulurkan sebuah bungkusan padaku.
“Mungkin kamu mau menyimpannya.”
Aku segera membukanya. Sepasang sepatu mungil berwarna
merah dengan hiasan bunga merekah di atasnya. Aku mengangkat wajah, menatap
Rahardian. Rahardian tersenyum.
“Kalau bukan karena sepatu itu, mungkin
kehamilanmu telat diketahui.”
Aku tersenyum lebar. Kudekap sepatu itu ke
dadaku. Hidupku serasa lengkap sudah.
* * * * *
Good post mbak
BalasHapus