Jumat, 16 Januari 2015

[Cerpen] Jurnal





http://www.rumahpiano.com/jual-grand-pianosteinway-sons-type-a/


17 Januari 1980

“Duduk!”

Dari tempatku berdiri di sudut, aku melihat perempuan setengah baya itu menunjuk kursi dengan wajah geram. Perempuan berusia lebih muda yang ditatapnya menunduk, lalu duduk di atas kursi itu dengan patuh.

“Sebenarnya maumu apa, Emma?!”

Perempuan muda yang dipanggil Emma itu menengadah sebentar, kemudian menunduk kembali.

“Aku mencintainya, Bu...,” bisiknya dengan suara gemetar.

Diam-diam aku tercekat.


“Tapi kamu kan tahu, Yudha itu suami kakakmu!”

Bahu Emma berguncang hebat. Ia mulai terisak. Aku yang hanya bisa terdiam makin kelu melihat peristiwa itu. Sang ibu kemudian terduduk dengan wajah letih. Menghela napas panjang.

“Salahkah aku mendidikmu selama ini, Emma?”

Kulihat Emma makin terisak.

“Kalau Nessa tahu dia bisa mati, Emma...,” keluh Ibu.

“Maafkan aku, Bu...,” Emma makin tenggelam dalam tangisnya.

“Kamu harus pergi, Emma. Menjauh. Tempatmu melahirkan bayi adalah di tempat Budhe Rumi. Bukan di sini.”

Tangis Emma makin menjadi. Dan tanpa kukehendaki, aku serasa menggigil.

* * *

14 Februari 1984

“Ini hari Valentine, Stein...,” bisik perempuan cantik itu.

Jemari tangan kanannya membelai bilah-bilah putih dan hitam di tubuhku. Sedangkan telapak tangan kirinya membelai perutnya yang membuncit.

“Apakah aku akan kehilangannya?”

Aku tak bisa berkata apapun. Tak pernah bisa. Aku hanya mampu berdenting sesuai keinginannya. Sebuah lagu lara yang membuatku hampir menangis.

“Mereka saling mencintai, Stein. Sudah tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan hatiku.”

Entah kenapa aku seolah melihat awan hitam menaungi perempuan cantik itu. Dan rasaku tergetar seketika. Sepertinya aku akan kehilangan ia. Nessa. Seseorang yang begitu sering membelai bilah-bilahku dengan jemarinya yang lentik.

* * *

20 April 1984

Atmosfer dalam rumah yang kutempati menggelap. Lagi-lagi aku hanya mampu tegak dalam heningku menatap semuanya.

Semua meja dan kursi dipinggirkan. Karpet-karpet terbentang memenuhi ruangan. Dan ia terbaring di tengah sana dengan wajah suci dalam diam.

Ia pergi. Meninggalkan keluarganya. Meninggalkan bayi mungilnya yang tampan. Bayi yang kehadirannya sudah ditunggu selama bertahun-tahun. Bayi yang desah napasnya ditukar dengan berhentinya detak jantung ibunya yang memang sudah lemah sejak awal.

Dan laki-laki itu menangis. Membuatku muak. Bagiku, selamanya ia adalah pembunuh Nessa. Kupikir Nessa tak akan pernah kehilangan semangat hidup kalau saja suaminya itu tak berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri.

Lalu aku melihatnya. Emma datang dengan derai airmata. Menggandeng seorang balita tampan. Menangisi sosok cantik yang sudah terlanjur terbujur diam tanpa pernah bisa mendengar tangis penyesalannya.

Ah, manusia...

* * *

26 September 1985

Lalu semuanya terjadilah. Pernikahan yang diinginkan dan tak diinginkan sekaligus. Pernikahan yang cukup hening tanpa banyak pernik. Antara Yudha dan Emma.

Aku melihat kesedihan dan kebahagiaan sekaligus. Bercampur membentuk atmosfer kelabu yang membentang di sekitar tempatku berdiri.

Dan aku sendiri tak tahu harus menangis ataukah tertawa.

* * *

3 Juli 2000

“Maafkan Ibu, Luk...”

Laki-laki muda itu tetap memainkan jemarinya dengan cepat di atas bilah-bilah di tubuhku. Aku merasakan emosinya. Aku menemukan kesedihannya. Aku membaui atmosfer amarah lekat dalam ruangan itu.

Amarahnya. Lukas. Pemuda yang baru beberapa minggu lalu tepat berusia 16 tahun. Pemuda yang satunya lagi, yang usianya 4 tahun lebih tua, Reinan, menatapnya dengan pilu.

“Seandainya aku tahu...”

Lukas menghentikan permainan jemarinya tiba-tiba. Gaung suaraku memenuhi ruangan itu sebelum semuanya benar-benar lenyap. Lukas membalikkan badannya.

“Seandainya kamu tahu, apa yang akan kamu lakukan, Mas?” desisnya dengan suara bergetar. “Tak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Semuanya sudah terlanjur.”

“Jangan pergi, Luk. Aku saja yang pergi.”

Lukas menggeleng. “Tempatmu di sini. Aku akan tinggal dengan Nenek.”

* * *

4 Juli 2000

“Aku pergi, Stein...”

Ia mengelus tubuhku dengan airmata terlihat menggenang pada sepasang matanya.

“Aku berharap suatu saat tetap bisa memilikimu.”

Sekali lagi ia mengelusku.

Lalu ia benar-benar pergi. Meninggalkanku.

Aku tak akan pernah lupa bagaimana kedua anak itu selama ini saling menjaga dan menyayangi. Lalu semua seolah terhempas begitu saja. Terbentur pada sebuah kenyataan pahit yang terbuka tentang sebuah perselingkuhan hitam di masa lalu.

Dan aku hanya bisa tergugu dalam diamku.

* * *

19 April 2013

“Kamu milik Lukas, Stein. Pergilah kamu ke sana.”

Reinan mengelus tubuhku yang sudah dipenuhi spons pelindung sebelum beberapa orang mengangkat dan memasukkan aku ke dalam kendaraan besar itu.

Dan berjam-jam kemudian aku mendapati Lukas menatapku diturunkan dari kendaraan dengan genangan airmata yang sama dengan ketika ia dulu meninggalkanku. Tapi kali ini ada senyum di bibirnya.

Welcome, Stein. I miss you so much...”

Setelah seluruh selubung spons itu bersih dari sekujur tubuhku, dan aku kembali berdiri tegak di sebuah sudut ruangan, Lukas mulai mendentingkan bilah-bilahku.

Aku tersenyum.

* * *

26 Desember 2014

Ia pergi lagi. Meninggalkanku. Kali ini selamanya. Jantungnya yang selemah jantung ibunya telah berhenti berdetak. Abadi.

Aku tetap hanya bisa terdiam di tempatku berdiri. Entah apakah debu akan segera menyelimutiku. Ataukah ada manusia lain yang akan memilikiku dan menjagaku tetap bersih. Aku tak tahu.

Yang jelas hari ini kuakhiri jurnalku. Entah apakah akan ada jurnal yang lain, aku pun tak tahu. Untuk sementara, kubiarkan usiaku menua dengan buku yang sudah terlanjur tertutup.

Entah sampai kapan...

* * * * *

(Thanks to Dimitri Darmoatmojo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar