Sabtu, 24 Januari 2015

[Cerpen] Ramalan Ketiga






Sejak kecil, ramalan Emil selalu kuanggap angin lalu dan canda belaka. Entah sudah berapa kali terbukti ketepatannya, sebenarnya. Tapi aku selalu menganggapnya kebetulan yang bersifat umum. Entahlah. Sejujurnya dalam hati kecilku ada debar-debar tak tentu arah ketika ia mengucapkan ramalannya atas secuil hidupku.

“Apa yang akan kuhadapi hari ini?”

Aku sering mengucapkan kalimat itu. Hanya untuk menggodanya, tentu saja. Tapi ia akan menanggapinya dengan menatapku lama, dan menjawabnya dengan kalimat umum.

“Hm... Hidupmu akan berwarna merah jambu hari ini.”

Atau...

“Waktumu berlalu cepat.”

Atau...

“Kuingatkan sekali lagi, jangan makan sambal hari ini!”

Dan aku akan selalu tersenyum geli ketika mengingat betapa tepatnya apa yang akan kualami dengan ramalan-ramalannya di awal hari. Aku mendapat kenaikan gaji ketika Emil mengatakan bahwa hariku akan berwarna merah jambu. Aku seolah kehilangan waktu ketika deadline pekerjaanku mendekat dan aku sibuk pontang-panting menyelesaikannya, membuktikan bahwa ucapan Emil tentang waktuku yang berlalu cepat adalah benar adanya. Dan tentang makan sambal? Kesibukanku membuatku telat makan, dan penyakit lambung yang sudah lama hidup bersamaku bukannya akan makin menggerogotiku kalau aku masih juga nekad makan sambal kesukaanku?

Masih banyak lagi ‘ketepatan ramalan’ Emil dalam hidupku. Hm... Diam-diam aku makin sering memperhatikan ucapan sahabatku yang paling ganteng itu.

* * *

“Nung, kamu jadi naik kereta?”

Aku mengangguk. Budget dari kantor sebetulnya sangat mencukupi bila aku berangkat ke Jakarta naik pesawat. Tapi aku lebih senang naik kereta. Apalagi kegiatanku di kantor pusat baru akan berlangsung hari Senin. Masih cukup waktu bagiku untuk naik kereta pada hari Sabtu, dan tiba di Jakarta hari Minggu.

Emil tampak menatapku dengan ragu-ragu. Oh, bukan! Bukan tatapan ragu-ragu. Lebih tepatnya, ia seolah sedang menerawang ke dalam mataku. Aku balik menatapnya sambil menaikkan alis.

“Kenapa?”

Emil mengalihkan tatapannya sambil menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian ia menyedot Ice mint tea-nya pelan.

“Aku nggak bisa melihatmu sampai ke Jakarta,” gumamnya. “Gelap, Nung.”

Aku batal menggigit croissant-ku. Kutatap Emil. Ngeri.

“Maksudmu aku akan celaka? Di mana?”

Tapi Emil menggeleng. “Aku cuma bisa melihatmu dan gelap itu.”

Aku masih menatapnya ketika Emil membuka tas laptopnya dan menarik keluar sesuatu dari dalamnya. Sebuah amplop putih panjang dengan logo sebuah biro perjalanan. Ia menyodorkan amplop itu padaku.

“Aku sudah membelikanmu tiket pesawat, Nung. Jangan naik kereta itu.”

Seketika ada hening di antara kami. Melihat kesungguhannya, aku terima juga amplop itu.

“Kalau memang ada apa-apa, apa nggak sebaiknya...”

“Membuat laporan dan sebangsanya?” potongnya cepat.

Aku mengangguk.

“Tugasku cuma menjagamu, Nung,” senyumnya.

Aku kehilangan kata.

* * *

“Jangan terlalu mencintainya...”

Mau tak mau ucapan Emil itu menancap begitu kuat dalam otakku. Aku mengerutkan kening. Seketika ingatanku berputar pada ‘tragedi kereta batal’ beberapa bulan yang lalu.

Seandainya aku tidak menerima tiket pesawat pemberian Emil dan bersikukuh tetap naik kereta, entah ada di dunia sebelah mana aku sekarang. Lokomotif dan salah satu gerbong terdepan kereta yang harusnya kutumpangi ditabrak sebuah truk tangki BBM bermuatan penuh di sebuah perlintasan tanpa palang pintu.

Jangan bayangkan kejadian selanjutnya. Seisi lokomotif dan gerbong pertama itu nasib paling baik-nya adalah terluka amat sangat parah karena lokomotif dan gerbong terdepan itu beserta beberapa gerbong di belakangnya terguling dan terbakar. Dan seharusnya aku ada di dalamnya, karena tempatku ada di gerbong terdepan itu.

Sampai beberapa hari setelah mendengar kabar itu, aku masih juga merasa merinding dan gemetaran. Ribuan seandainya memenuhi benakku hingga terasa pepat. Nyatanya aku memang masih hidup hingga detik ini. Tapi pandanganku terhadap Emil seketika berubah.

Aku tak bisa lagi berlagak mengabaikan kata-katanya. Atau lebih tepatnya : ramalannya. Sebenarnya aku tak pernah menginginkan berurusan dengan segala omongan tentang segala hal yang belum terjadi. Tapi sekali lagi aku terbentur pada sebuah kata : ‘kenyataannya?’.

“Kenapa memangnya?” aku hanya bisa menanyakan itu.

Tapi Emil menggelengkan kepala. Ia masih menatapku dengan keteduhan luar biasa yang – jujur saja – terkadang sangat menghanyutkanku.

“Kamu bakal mengalami kekecewaan yang luar biasa.”

Suaranya terdengar begitu datar dan dingin. Membuat bulu kudukku sempat meremang.

“Apa yang terjadi?”

Ia menatapku tajam. “Nggak bosan menanyakan pertanyaan yang sama?”

Kuhela napas panjang. Seperti yang sudah-sudah, Emil tak akan pernah menjawab secara detil tentang siapa, mengapa, dan bagaimana. Jadi sebetulnya percuma saja aku menyanyakan itu. Cuma... aku memang tak pernah tahu harus menanggapi bagaimana.

“Aku cuma bisa melihat dirimu, Nung...,” suaranya terdengar melembut.

Aku terdiam. Benar-benar tak tahu harus mengucapkan apa.

* * *

Dan ‘ramalan kedua’ Emil – setidaknya itulah ramalan kedua yang terbesar bagiku – benar-benar terbukti. Aku antara kaget dan tidak ketika mendapati kenyataan bahwa Andri, kekasihku, menghamili Dina, sahabatku sendiri.

Aku sudah terlalu malas untuk membahas kenapa, di mana, dan bagaimana semua itu bisa terjadi. Setidaknya peringatan dari Emil sudah berhasil sedikit menguatkanku. Tapi aku tetap saja menumpahkan tangisku. Di dada bidang Emil.

Lalu ia akan memelukku seperti biasa. Sama seperti ketika aku menuntaskan nestapa dan uraian airmataku dalam pelukannya. Tidak terlalu sering. Tapi pernah terjadi beberapa kali.

Ia hanya memelukku dalam diam. Tak pernah mengucapkan apa-apa walau hanya sepatah kata penghiburan. Tapi justru dalam hening itu aku menemukan semuanya yang aku perlukan. Kedamaian. Keteduhan. Kehangatan.

“Kenapa bukan kamu saja yang jadi kekasihku?” aku mendongak menatapnya.

Tapi ia menggeleng dengan jemarinya menghapus airmataku. Aku mengerjapkan mata.

“Gelap, Nung... Aku nggak bisa melihat masa depan kita. Tapi jangan khawatir, kamu akan menemukan orang yang tepat.”

Aku tertunduk. Orang yang tepat? Aku sama sekali belum punya bayangan setelah dihempaskan Andri dan Dina sedemikian rupa.

* * *

Lalu aku benar-benar menemukannya. Seorang laki-laki yang benar-benar membuatku nyaman dalam segala hal. Aku tak bisa menjabarkannya karena ini masalah rasa. Perasaanku, lebih tepatnya.

“Diakah?” kutatap Emil sore itu.

Emil tersenyum tanpa menjawab. Tapi bagiku, senyum Emil sudah menjawab pertanyaanku.

“Bisakah kamu melihat aku dan dia, Mil?”

Senyumnya menghilang. Dihelanya napas panjang. Lalu matanya yang biasa terlihat begitu bening perlahan jadi kelam.

“Gelap, Nung. Tapi perasaanku bilang kalian akan berbahagia.”

Gelap tapi berbahagia? Bagaimana bisa? Aku mengerutkan kening.

“Sudahlah, Nung. Fokuskan saja pada hubunganmu dan Wisnu,” lanjutnya, halus.

Lagi-lagi aku tak tahu harus mengucapkan apa.

* * *

Kali ini aku memang harus benar-benar menuntaskan airmataku. Tersedu dan terisak begitu lama dalam pelukan Wisnu. Wisnu hanya memelukku erat dalam diam. Sama seperti yang selama ini dilakukan Emil terhadapku.

Emil...

Ternyata benar bahwa pada akhirnya semuanya tentang Wisnu dan aku adalah gelap bagi Emil. Dan tentang berbahagia? Wisnu dan aku akan melangsungkan pernikahan bulan depan.

Emil tak akan pernah lagi bisa menyaksikan kebahagiaanku bersama Wisnu. Semuanya tentang hari esokku gelap baginya karena siang tadi serangan jantung sudah merenggutnya. Ia pergi. Selamanya.

“Pantas minggu lalu dia bilang tugasnya menjagamu sudah selesai. Aku yang akan menjagamu, Nungki. Sekarang, besok, selamanya.”

Wisnu mempererat pelukannya. Bisikannya bagai angin hangat berlalu di telingaku. Senyum dan tatapan teduh Emil terbayang di benakku.

Ramalannya berhenti pada bilangan ketiga. Hitungan ramalan yang setidaknya benar-benar kuanggap ada dan memang benar adanya. Entah apakah semuanya itu memang benar bisa dilihatnya, tapi Emil-ku sudah terlanjur pergi. Meninggalkan aku dan ramalan ketiganya yang harus jadi nyata.

Setidaknya, Wisnu dan aku harus mewujudkan ramalan itu, kebahagiaan itu. Kebahagiaan kami.

Selamat jalan, Emil... Semoga kamu berbahagia di Surga...

* * * * *

10 komentar:

  1. Balasan
    1. Sodorin saputangan, hehehe... Tapi kan juga nggak sedih-sedih amat sih, Mbak... (ngeles)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Lhooo... lha kok malah tersedu ki piye??? (binun)

      Hapus
  3. hehe, sekalinya berkunjung
    malah disuguhi cerita yang memaksa hidung ane melerrr

    manstafff Mbak e

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makanya ayo berkunjung lagi ke cerita lain di sini yang nggak bikin hidung melerrr...
      Makasih singgahnya, Mas Ando...

      Hapus
  4. Apik.....sedih.....tapi teteup.....manis

    BalasHapus