http://www.rumahku.com/berita/read/inspirasi-taman-di-balkon-408083
|
Akhirnya...
Lily menjatuhkan dirinya di atas sofa dan
menghembuskan napas lega. Dilihatnya sisi-sisi dinding yang mengelilinginya.
Semuanya pas. Sempurna. Sama persis seperti impiannya selama ini.
Tinggal di apartemen adalah impian Lily sejak
masuk ke dunia kerja. Bukan apartemen mewah tentu saja. Dari jauh hari Lily
sudah menyadari kemampuan kantongnya. Ketika tahu akan ada kompleks apartemen
yang hendak dibangun hanya 500 meter dari gedung kantornya, Lily segera gerak
cepat mencari informasi.
Dan... taraaa!
Semuanya pas sesuai dengan keinginannya.
Apartemen itu adalah apartemen kelas menengah yang cicilannya benar-benar pas
di kantong. Dan hanya setahun setelah tanda tangan akad kredit, blok-blok
apartemen itu sudah siap untuk ditempati.
Ketika Tabitha, sahabatnya, menawarkan diri
untuk ikut mendandani apartemen mungil itu, Lily pun menyambutnya dengan
antusias. Dan sentuhan ajaib tangan Tabitha menjadikan apartemen Lily jadi
terlihat mentereng dengan biaya minimal. Banyak permainan warna dan penyulapan
materi sederhana menjadi lebih berkelas dilakukan Tabitha. Dan hasilnya?
Akhirnya...
Lily tersenyum puas.
* * *
Pagi yang murung setelah diguyur hujan
semalaman. Lily membuka pintu balkonnya lebar-lebar. Segera saja hawa sejuk
menyerbu masuk. Langit masih setengah gelap. Ada sedikit gradasi cerah di ufuk
timur. Cuma seleret tipis karena di atasnya masih tersisa gumpalan-gumpalan
awan gelap.
Dengan lampu balkon masih menyala, Lily
menikmati sarapannya di balkon. Hanya sepiring nasi goreng pedas buatannya
sendiri, dengan telur mata sapi dan beberapa irisan mentimun, ditemani
secangkir teh hangat beraroma blackcurrant.
Cuma menu sarapan yang sederhana. Tapi suasananya yang membuat semua itu terasa
berbeda. Terasa lebih mewah bagi Lily. Apalagi...
Matanya menyapu sekilas ke arah balkon di
seberang kiri balkonnya. Hah! Dia di sana
lagi! Entah kenapa hati Lily bernyanyi karenanya.
Di balkon seberang ada seorang laki-laki muda
sedang duduk santai dengan menyeruput secangkir kopi atau teh atau entah apa.
Selalu hadir pada waktu yang sama setiap paginya. Membuat Lily pun jadi punya
kebiasaan baru untuk menghabiskan menu sarapan sederhananya di balkon.
Dari pengamatan sekilas-sekilas, Lily bisa
melihat kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang cukup menarik hati perempuan
normal seperti dirinya. Sosoknya tampak tegap dengan balutan kaos putih yang
ngepas di badan dan celana pendek berwarna gelap.
Entah kenapa, jantung Lily berdebar lebih
kencang setiap melihat laki-laki itu.
* * *
“Samperin aja..,” Tabitha tersenyum menggoda.
Lily mencibir. “Emangnya eike cewek apaan?”
“Cewek jomblo jaminan mutu,” Tabitha
meleletkan lidahnya.
Lily tertawa cerah karenanya.
“Terus, Pak Aldrin mau kamu kemanain?”
“Dih!” Lily kembali mencibir. “Orang dia
nggak pernah ngomong apa-apa!”
“Tapi sebenernya kamu suka kaaan?” Tabitha
menaik-turunkan alisnya.
Lily mengibaskan tangannya. “Nggak usah
dibahas. Tuh, orangnya lagi jalan ke sini.”
Tabitha kemudian kembali ke mejanya, bersekat
cubicle di sebelah meja Lily. Ketika sang boss lewat di depan meja mereka,
keduanya serentak mengucapkan, “Selamat pagi, Pak...”.
Aldrin, sang boss muda itu, membalasnya dengan ramah, kemudian masuk ke ruang
kerjanya. Siap memulai hari kerja itu tepat lima menit kemudian.
* * *
Laki-laki itu tak pernah muncul di balkon
selain pagi hari. Sia-sia Lily berakting di balkon pada setiap kesempatan yang
ia punya. Sering ia menghabiskan waktunya sepulang kerja dengan browsing melalui laptop di balkon, atau
bermain ponsel, atau membaca melalui tabletnya, atau sekadar menikmati teh atau
jahe hangat dari cangkir besarnya.
Sudah dua bulan lebih sedikit. Tak ada
kemajuan dicapai seperti yang diharapkan Lily. Sesekali laki-laki itu
melemparkan senyum dan lambaian tangan ringan. Tapi Lily tak berani
membalasnya. Siapa tahu senyum dan lambaian tangan itu ditujukan pada orang lain
di balkon-balkon sebelahnya? Kalau ia dengan PD-nya membalas senyum dan
lambaian tangan itu tapi salah sasaran, mau
ditaruh mana mukaku? Maka Lily harus cukup puas hanya menikmatinya saja
dari kejauhan.
Tapi laki-laki itu tak muncul pagi ini.
Sia-sia Lily bertahan berlama-lama menikmati sarapannya hingga matahari
benar-benar sepenuhnya menampakkan diri. Ketika waktu terus merambat, Lily
terpaksa mendesah kecewa karena mau tak mau ia harus meninggalkan balkon itu
untuk bersiap diri berangkat kerja.
Dan sebelum meninggalkan apartemen, Lily
menyempatkan diri untuk melemparkan tatapannya ke balkon seberang. Tapi balkon
itu tetap sama. Sepi. Dengan pintu yang tertutup rapat.
* * *
Langit masih terang ketika Lily pulang kerja
sore itu. Setelah berganti baju, ia pun membawa tabletnya ke balkon. Selama
tiga hari kemarin ia terpaksa absen bersantai di balkon pada sore hari. Lembur
membuatnya baru masuk ke dalam apartemennya hanya beberapa menit sebelum jam
delapan malam.
Sudah empat pagi ini ia tak melihat laki-laki
di balkon seberang itu. Entah kenapa ada yang sesak di dalam dadanya. Mungkin dia lagi dinas ke luar kota,
dicobanya untuk menghibur diri.
Ketika ia mengangkat wajah, dilihatnya ada
kesibukan di balkon itu. Seorang pekerja tengah mengecat dinding balkon dengan
warna baru. Dua orang pekerja lain menggotong sebuah sofa yang kelihatannya
juga baru.
Hm...
Renovasi rupanya... Lily membuat kesimpulan sendiri. Mungkin
renovasi itu sudah berjalan beberapa hari dan laki-laki itu mengungsi entah ke
mana. Diam-diam Lily membulatkan harapan untuk bisa bertemu lagi dengan
laki-laki itu.
* * *
Sekilas dari balik jendela pantry, Lily melihat ada sosok yang
tengah duduk di balkon seberang. Hah! Dia
muncul lagi! Buru-buru Lily menyelesaikan roti panggang dan secangkir
coklat hangatnya, kemudian membawanya ke balkon.
Langit masih setengah gelap, tapi Lily
mematikan lampu balkonnya. Harapannya, ia bisa lebih leluasa menuntaskan
kerinduannya untuk menatap laki-laki itu sepuasnya. Dengan hati-hati ia
meletakkan piring dan cangkirnya di atsa meja pendek, kemudian masuk lagi
mengambil ponselnya, kemudian kembali lagi ke balkon.
Baru saja duduk, notifikasi Whatsapp di ponselnya berbunyi. Lily
segera membuka aplikasi Whatsapp-nya
dan seketika ia mengerutkan kening. Pak Aldrin?
Dibacanya juga pesan yang masuk dari boss-nya
itu.
Selamat
pagi, Lily... Senang melihatmu sudah menikmati hari sepagi ini...
Lily ternganga. Pesan ini? Apa maksudnya nih? Lily meraih cangkir dan meneguk
isinya sedikit. Setelahnya ia membalas pesan itu.
Selamat
pagi juga, Pak... Apa kabar?
Beberapa saat kemudian ia mendapatkan
balasannya.
Baik.
Merindukanmu sepanjang weekend kemarin.
Lily terbatuk. Lama ia menatap layar
ponselnya tanpa tahu harus membalas apa. Ketika ia hendak mengetikkan sesuatu,
sebuah pesan masuk lagi. Masih dari orang yang sama.
Sampai
ketemu di kantor...
Lily membalas sekadarnya, kemudian meletakkan
ponselnya di atas meja. Ketika ia mengangkat piring berisi roti panggangnya,
disempatkannya untuk melihat sekilas ke seberang. Tepat saat itu Lily hanya
bisa melihat punggung laki-laki yang sekilas tadi dilihatnya duduk di balkon
seberang berkelebat masuk ke dalam apartemen. Dan pintu itu kembali tertutup
rapat.
* * *
Kalau biasanya Lily adalah pekerja paling
pagi yang datang ke kantor itu, tidak demikian dengan pagi ini. Ketika Lily
mermasuki ruangan, ia cukup kaget melihat kehadiran boss-nya di ruangan itu. Duduk manis di kursi Tabitha. Sibuk dengan
sesuatu.
“Selamat pagi, Pak...,” Lily mengangguk
sopan.
Aldrin mengangkat wajahnya. Seketika senyum
cerah menghiasi wajah tampan dan simpatiknya.
“Pagi, Ly...,” balasnya.
“Tumben, Pak, pagi banget,” Lily membalas
senyum itu.
“Iya. Ternyata enak juga bisa sampai di
kantor pagi-pagi. Nggak kehabisan waktu di jalan kayak biasanya.”
Lily mengerutkan kening. “Memangnya berangkat
dari rumah jam berapa, Pak?”
“Aku kan pindah ke apartemen mulai Sabtu
kemarin. Kita tetanggaan sekarang.”
Lily melongo. Maksudnya? Sepertinya Aldrin paham apa yang dipikirkan Lily.
“Iya, Ly... aku pindah ke kompleks
apartemenmu. Aku di Blok C. Kamu di Blok A kan? Dan kayaknya balkon kita
hadap-hadapan, deh! Agak serong kiri.”
Lily makin tercengang. Hadap-hadapan agak serong kiri? Bukannya...
“Terus, pemilik lama pindah ke mana?” tanya
itu lebih menyerupai gumaman.
“Pemilik lama?” Aldrin mengerutkan kening.
“Itu apartemen baru kok, belum ada yang menempati.”
“Balkon Bapak yang sekarang warnanya hijau
muda itu apa bukan?” Lily memberanikan diri memastikan.
“Iya, beberapa hari lalu aku suruh tukang
ganti catnya. Tadi pagi kamu sarapan di balkon kan?” Aldrin tersenyum penuh
kemenangan. “Aku kirim message tapi
sayangnya kamu nggak angkat wajah sedikit pun.”
“Jadi yang tadi pagi di balkon itu Bapak?”
Lily keceplosan juga. “Saya kira...”
Aldrin menatap Lily penuh tanya.
“Biasanya kalau pagi di balkon itu ada
laki-laki duduk-duduk minum sesuatu, Pak...,” suara Lily terdengar ragu-ragu. “Tapi
selama minggu lalu dia nggak pernah kelihatan lagi. Tadi pagi saya lihat ada
yang duduk di balkon itu. Saya kira dia.”
“Jangan bercanda ah, Ly!” Aldrin menatap Lily
tajam. “Apartemen itu kosong kok! Aku beli dari baru. Langsung dari pemasaran.”
Lily merinding seketika. Kalau benar Aldrin
adalah orang pertama yang menempati apartemen di seberang itu, lantas siapa
yang tiap pagi dilihatnya? Ditatapnya Aldrin penuh horor.
“Sudah ah!” Aldrin berdiri dari duduknya.
“Daripada kamu mikirin yang enggak-enggak, mendingan kamu mikirin aku.”
Ya,
benar! Daripada aku mikirin halusinasi, hantu, ilusi, atau apalah namanya itu,
mendingan aku mikirin Pak Aldrin. Lily tertegun sejenak. Eh, apa?! Maksudnya???
Lily menatap Aldrin. Tapi yang ditatap terus
melenggang masuk ke ruangan kantornya.
Maksudnya???
* * * * *
good post, asyik juga baca koleksinya mbak Liz
BalasHapusHehehe... Makasih banyak, Pak Subur...
HapusCinta dan misteri :)
BalasHapus