Setiap kali Pingkan merasa tersisih karena Maxi terlalu sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya, setiap kali pula Pingkan berusaha mengingat baik-baik ucapan ayahnya.
Pesawat pribadi Gematri mengudara secara vertikal diiringi lambaian tangan orang-orang yang mengantarkan ia dan Kana hingga ke hanggar Observatorium Tandan. Aldebaran yang berada di menara pusat kemananan observatorium segera mengaktifkan portal lubang cacing menuju ke galaksi Triangulum. Setelah memastikan bahwa lorong itu benar-benar aman dan stabil, barulah Aldebaran memberi izin pesawat kecil Gematri untuk melewati portal.
Dari balik pintu yang terbuka sedikit, Enya berusaha mendengarkan baik-baik suara rendah Brennan. Ucapan suaminya hanya sepotong-sepotong. Potongan lainnya terperangkap dalam jaringan ponsel di tangan Brennan. Walaupun sama sekali tak berhasil menangkapnya secara utuh, tapi dengan jelas Enya berhasil mengunci beberapa kata. 'Uang', 'gadai', 'pinjam', 'bank', 'sertifikat', dan 'bunga'.
Sudah lewat dari pukul tujuh menjelang malam ketika Maxi menitipkan kunci mobil Pamudyo di pos satpam. Ia tak langsung pulang ke indekos, melainkan mampir sejenak untuk membeli makan malam di sebuah warung tenda. Sejam kemudian, barulah ia meluncurkan motornya masuk ke garasi indekos.
Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, Maxi pun diterima oleh Nicholas. Abang sulung Pingkan itu menerima jabat tangan dari Maxi dengan sikap ramah dan hangat.
“Duduk, Max.” Nicholas membuka tangannya ke arah sofa.
Baru saja Maxi keluar dari ruang loker dan melakukan presensi melalui alat pemindai sidik jari, seseorang sudah memanggilnya. Ia menoleh, mendapati salah seorang penyelia produksi dari shift malam memanggilnya.
Apakah benar-benar seperti ini rasanya mengecap cinta?
Diam-diam pipi dan telinga Kana dijalari rasa hangat. Selama beberapa hari, sejak Gematri datang mengunjunginya secara mendadak, ia seolah-olah dikelilingi warna-warni indah semburat pelangi. Bukan itu saja. Ia juga seolah-olah berenang dalam kantong besar berisi berondong jagung yang menebarkan wangi karamel. Terkesan manis, renyah, dan lezat.
Sepulangnya ia dari makan malam bersama Pingkan, Maxi ‘melaporkan’ prestasinya kepada ayahnya melalui telepon. Tak hanya itu. Ia juga berterus terang tentang keresahannya kepada sang ayah. Dan kini ia berusaha untuk mendengarkan baik-baik semua ucapan ayahnya dari seberang sana.
Waktu bergulir begitu cepat, walaupun terkadang terasa sangat lambat saat Maxi merindukan Pingkan. Tak terasa sudah setahun lamanya ia bekerja di perusahaan itu. Betah? Sangat! Ia tak hendak memungkiri perasaannya sendiri.
Ditatapnya laki-laki berwajah cerah yang baru saja dipeluknya erat. Masih ada sorot tak percaya melompat keluar dari sepasang mata bening Kana. Jim tertawa lebar melihatnya.
Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat yang seolah menguar dari seluruh pori di sekujur tubuhnya. Dengan ringan ia melenting dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Sambil bernyanyi riang, ia membersihkan tubuhnya dari puncak kepala hingga ujung jari kaki.
Kana menatap langit-langit kamarnya. Menghitung pendar warna-warni ‘bintang’ yang berkelip secara acak di sana. Pendar ‘bintang’ yang dilukis Moses dengan cat yang bisa berpendar dalam gelap. Menatap titik-titik bercahaya itu, mendadak saja Kana teringat Moses.
Pingkan membaringkan tubuhnya di ranjang. Lelah juga rasanya seharian tadi membantu Maxi pindahan. Selain itu, ada rasa lain yang ia susah untuk menerjemahkannya. Pendeknya, ada rasa sesak karena pada hari kerja ia cukup jauh jaraknya dari Maxi. Padahal, rasanya baru sejenak ia menikmati kebersamaan yang manis dengan Maxi. Dihelanya napas panjang.
Mela memilih makanan dalam bentuk paket bento yang sama untuk mereka semua. Luken menambahnya dengan beberapa porsi makanan di luar paket. Karena antrean cukup panjang, Luken memutuskan untuk mengajak Mela berkeliling sejenak. Tujuannya adalah ke pasar swalayan dalam mal itu.
Maxi menyempatkan diri menatap berkeliling sebelum menutup pintu kamar. Pada akhirnya, ia harus meninggalkan juga tempat yang hangat itu. Hari ini ia akan ‘boyongan’ ke Cikarang.
Kana menyimpan kembali alat komunikasinya. Sepersekian detik kemudian, baru ia menyadari bahwa sekeliling meja hening. Enam pasang mata menatapnya, seolah meminta penjelasan. Kana meringis.
Gematri tercenung sejenak sebelum keluar dari pesawatnya. Walaupun dengan sepengetahuan Salindri, kedatangannya ke Bhumi, khususnya Javantara, adalah secara incognito. Anonim. Meninggalkan segala jabatannya. Tujuannya hanya satu. Mencoba untuk mengejar cinta yang selama ini ia coba kesampingkan karena tugas negara.
Profesor Barracuda Sverlin dinyatakan sudah meninggal dunia karena terkena dampak gerakan pemusnahan kaum Maleus di planet Gerose, galaksi Triangulum. Salindri sendiri yang memberikan pernyataan itu secara resmi, karena ia pula yang menjadi saksi musnahnya energi kehidupan Sverlin, dan menjadi penemu pesawat profesor itu di Gerose.
Menjelang siang pada hari Selasa, dengan jantung berdebar kencang, Maxi membuka amplop berisi keputusan lokasi penempatan kerjanya. Senyumnya terbit ketika mendapati bahwa ia sudah resmi ditempatkan pada divisi maintenance di Cikarang, sesuai keinginannya. Karenanya akan ada pembaruan kontrak kerja yang berhubungan dengan lokasi penempatan.
Makan malam sudah siap di atas island mungil yang ada di pantry ketika Andries pulang ke apartemen menjelang pukul enam. Laki-laki itu tak tampak kaget melihat kehadiran adiknya. Tadi ketika ia mampir ke pojok sekuriti di lobi untuk mengambil menu kateringnya, sekuriti memberitahu bahwa rantang itu sudah diambil sang adik dan dibawa ke atas.
Seharusnya ia merasa lega bahwa hubungan manisnya dengan Maxi sudah kembali normal. Bahkan jauh lebih manis daripada sebelum ia mencoba untuk menghindari pemuda itu.
Kedatangan Ratu Amarilya dan pasukannya kembali ke Gerose disambut dengan gembira oleh seluruh penghuni planet Gerose. Xavier yang memantau dari dalam ruang kerjanya di pusat kendali keamanan planet menghela napas lega ketika lampu sensor yang dipasangnya tepat di atas portal tetap menyala hijau hingga pesawat terakhir muncul. Tanda bahwa semua pesawat beserta awak dan muatannya betul-betul bersih dari spora jamur Lendiris lilac. Moses, Azayala, dan tim peneliti planet Gerose sudah membantunya untuk membuat dan memasang sensor sekaligus membran sterilisasi tepat di mulut portal. Setelah menutup dan mengunci portal, Xavier pun keluar dari ruang kerjanya.
Pada hari kedelapan setelah pembersihan pasukan Asubasita di Gerose, seluruh kaum Maleus pemberontak sudah berkumpul di planet Pengzan. Mereka berdatangan dari seluruh semesta tempat mereka terdampar. Salindri yang mengubah suaranya menjadi mirip Asubasita berhasil memerintahkan para pemberontak itu untuk ‘menyusun kekuatan’ di planet Pengzan. Ia bicara melalui saluran komunikasi yang seolah-olah berasal dari pesawat Asubasita.