Sebelumnya
* * *
Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, Maxi pun diterima oleh Nicholas. Abang sulung Pingkan itu menerima jabat tangan dari Maxi dengan sikap ramah dan hangat.
“Duduk, Max.” Nicholas membuka tangannya ke arah sofa.
“Terima kasih, Pak.” Maxi mengangguk sopan dan menuruti ajakan Nicholas.
“Selamat bergabung sepenuhnya di Royal Interinusa, Max.” Nicholas tersenyum. “Mungkin kamu sudah dengar dari Keke bahwa aku sebetulnyan juga ingin kamu ada di sini, tapi kamu pilih pabrik di Cikarang, dan Andries mempertahankanmu.”
Maxi mengangguk lagi. Tersenyum tipis.
“Tapi kurasa keputusan kamu masuk ke Cikarang itu tepat. Andries membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu. Sudah tahu kondisi Andries, kan?” Nicholas menatap Maxi.
“Ya, Pak. Keke sudah cerita pada saya.”
“Kita berpacu dengan waktu, Max.” Mendadak saja wajah Nicholas berubah jadi muram. “Juga menghadapi dilema. Di satu sisi, kami semua sebetulnya tidak tega bila Andries harus bekerja sekeras itu mengendalikan dua pabrik sekaligus. Tapi di sisi lain, pekerjaan pula yang bisa terus menghidupkan semangat Andries, hingga dia mampu bertahan sampai detik ini. Apakah berlebihan jika aku minta agar kamu ikut juga menjaga Andries?”
Maxi tercenung mendengar ucapan Nicholas. Sebelum ia sempat bereaksi, Nicholas melanjutkan ucapannya.
“Aku dengar dari Keke, indekosmu lumayan dekat dengan apartemen Andries?”
“Ya, Pak.” Maxi mengangguk.
“Seandainya terjadi apa-apa pada Andries, apakah kamu bersedia jadi orang pertama yang dihubungi pihak apartemen?”
Tanpa pikir panjang, Maxi mengangguk dan menjawab tegas, “Bersedia, Pak.”
Nicholas terlihat menghela napas lega. Bahkan mengulas senyum.
“Terima kasih, Max. Nanti aku hubungi pihak apartemen. Kamu tahu sendiri, Andries tinggal sendirian di sana. Cikarang-Jakarta memang tidak terlalu jauh. Tapi kalau ada yang bisa dititipi, tentunya kami semua akan lebih tenang.”
Untuk kesekian kalinya Maxi mengangguk.
“Oh, ya, aku belum pernah berterima kasih secara khusus padamu, atas semua yang sudah kamu lakukan terhadap Keke. Terima kasih, Max. Terima kasih banyak. Besar sekali arti kehadiranmu buat Keke. Mohon maaf seandainya Keke pernah mengecewakanmu.”
“Tidak, Pak,” sergah Maxi halus. “Keke tidak pernah mengecewakan saya. Saya sendiri juga bukan orang yang sempurna. Kami hanya berusaha untuk mencoba saling menerima apa adanya.”
Senyum Nicholas melebar. Terlihat puas dengan ungkapan Maxi.
“Nah, aku tidak mengusirmu, Max. Tapi kamu masih harus menempuh perjalanan ke Cikarang. Terima kasih atas obrolan ringan ini. Sekali lagi, selamat datang di Royin. Oh, ya, tolong diingat, kamu bisa bergabung dalam keluarga besar Royin karena kemampuanmu, bukan karena hubungan istimewamu dengan Keke. Oke? Jadi, tetap lakukan yang terbaik.”
“Siap, Pak!”
Secara bersamaan keduanya berdiri dan saling berjabat tangan. Maxi kemudian berpamitan. Sambil berjalan ke basement tempat ia memarkir mobil Pamudyo, ditariknya napas lega. Tugasnya sudah selesai hari ini. Tapi entah, pukul berapa nanti ia bisa beristirahat dengan nyaman di kamar indekosnya.
* * *
“Dries ....”
Pelan-pelan Pingkan membuka pintu kamar Andries. Abangnya berbalik, melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Hai!” sapanya.
Pingkan bergegas menghampiri ranjang. Andries berbaring di sana dengan selimut menutup tubuhnya dari pinggang ke bawah. Tampak Andries masih mengenakan seragam kerja.
“Astaga! Kamu pucat banget, Dries! Ke rumah sakit, ya?”
“Nggak usah!” Andries buru-buru menyergah. “Aku nggak apa-apa, cuma butuh istirahat.”
Tangan Pingkan terulur, meraba kening Andries. Menemukan bahwa kening abangnya itu lebih hangat daripada biasanya.
“Kamu demam pula,” gerutu Pingkan. “Kamu tadi pulang diantar siapa?”
“Aku pulang sendiri.” Andries tersenyum.
“Andriesss ...,” Pingkan mendesis dengan nada gemas. “Minta diantar siapa, kek! Maxi, kek!”
“Maxi lagi ke Tangsel,” tukas Andries. “Ada mesin lagi trouble di sana. Sudahlah, aku nggak apa-apa.”
“Kamu sudah makan siang?”
Andries mengangguk.
“Obat?”
“Sudah, nona bawel.”
Pingkan merengut. Ia kemudian mencari sesuatu di ranselnya. Ponsel. Andries segera protes.
“Mau telepon siapa?”
“Mama.”
“Nggak usah.” Walaupun terdengar lemah, tapi ada nada tegas dalam suara Andries. “Aku nggak apa-apa, cuma butuh istirahat.”
Pingkan menatap abangnya dengan putus asa. Tapi memang percuma menentang keinginan Andries. Maka ia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam ransel.
“Kamu nginep?”
Pingkan mengangguk sambil berdiri. Ia menuju ke lemari Andries. Mencoba mencari kaus oblong dan celana pendek atau sejenisnya. Setelah mendapatkannya, ia berbalik dan kembali menghampiri ranjang Andries.
“Dries, kamu pusing banget?”
“Lumayan,” jawab Andries dengan mata terpejam.
“Nggak bisa mandi, dong?” gumam Pingkan.
“Memangnya kenapa?” Andries membuka mata.
“Mana nyaman kamu istirahat masih pakai baju kerja begitu.”
“Ya, sudah, aku mandi dulu.”
Pelan-pelan Andries bangun. Pingkan segera membantunya. Napas Andries tampak sedikit terengah. Pingkan mencekal lengan kiri Andries.
“Kamu sesak napas?”
Andries mengangguk.
“Sudah, nggak usah ribet,” putus Pingkan. “Paling tidak ganti kemeja saja dulu, pakai kaus. Nanti kalau sudah enakan, baru kamu ganti celana sendiri. Oke?”
Setelah selesai mengurusi Andries, menyediakan minuman hangat, mengambil katering Andries di lobi, kembali menengok Andries yang sudah kembali terlelap, barulah Pingkan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Baru pada saat hening dan sendirian seperti ini, air matanya runtuh.
Beberapa bulan belakangan ini kondisi Andries sering menurun. Lebih sering pulang cepat dari pabrik. Tak sampai harus dirawat di rumah sakit, tapi tetap saja mengkhawatirkan. Apalagi Andries benar-benar sendirian tinggal di sini.
Ia kemudian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Ketika didengarnya jawaban dari seberang sana, ia pun bertanya tanpa basa-basi.
“Maxi tadi ke situ, Nick?”
“Iya, lagi jalan, ‘kali. Belum lama, kok.”
“Aku di Cikarang. Andries drop.”
“Hah???”
“Tapi dia nggak mau aku bawa ke rumah sakit. Cuma butuh istirahat, katanya.”
“Kamu sudah kabari Mama?”
“Nggak dibolehin sama Andries. Takut Mama khawatir.”
“Kalau ada apa-apa, panggil Maxi.”
“Iya.”
“Kamu sampai kapan di situ?”
“Rabu pagi.”
“Ya, sudah, besok aku sempatin ke situ.”
“Iya.”
Dan, Pingkan pun mengakhiri pembicaraan itu. Cukup lega karena ia sudah bisa berbagi beban dengan abang sulungnya. Dihelanya napas panjang.
Tampaknya acaranya untuk bertemu Maxi gagal sore ini. Andries lebih penting.
Atau ....
Pingkan menimang ponselnya. Sejenak kemudian ia pun memutuskan untuk menghubungi Maxi. Tapi hingga beberapa kali mencoba, Maxi bergeming di seberang sana.
Ah, ya! Mungkin lagi jalan.
Ia pun kembali ke kamar abangnya. Duduk pelan-pelan di sofa dekat ranjang Andries. Sedikit lega karena tampaknya Andries baik-baik saja.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)