Kamis, 03 Januari 2019

[Cerbung] Portal Triangulum #10-3









Sebelumnya



* * *



Kedatangan Ratu Amarilya dan pasukannya kembali ke Gerose disambut dengan gembira oleh seluruh penghuni planet Gerose. Xavier yang memantau dari dalam ruang kerjanya di pusat kendali keamanan planet menghela napas lega ketika lampu sensor yang dipasangnya tepat di atas portal tetap menyala hijau hingga pesawat terakhir muncul. Tanda bahwa semua pesawat beserta awak dan muatannya betul-betul bersih dari spora jamur Lendiris lilac. Moses, Azayala, dan tim peneliti planet Gerose sudah membantunya untuk membuat dan memasang sensor sekaligus membran sterilisasi tepat di mulut portal. Setelah menutup dan mengunci portal, Xavier pun keluar dari ruang kerjanya.

Di sebuah pertigaan lorong yang menghubungkan pusat pemerintahan, pusat keamanan, dan hanggar pesawat penjaga planet, Xavier berpapasan dengan Astrodi. Wajah Astrodi terlihat sangat cerah. Ditepuknya bahu Xavier sebelum keduanya melangkah bersama menuju ke hanggar.

Ratu Amarilya mereka temukan tengah bercakap-cakap dengan Moses, Salindri, dan Gematri yang memang sudah mendahului Xavier menuju ke hanggar. Mereka semua bersalaman dengan hati lega. Untuk sementara waktu, urusan dengan kaum Maleus pemberontak sudah selesai. Tinggal membawa berita itu pulang ke planet masing-masing.

“Kami akan langsung berpamitan saja, Yang Mulia Astrodi, Tuan Xavier,” Salindri mengangguk sopan ke arah dua orang utama planet Gerose itu.

“Kami juga,” timpal Ratu Amarilya. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya, kekacauan ini sudah melibatkan seluruh semesta.”

“Kita hidup berdampingan walaupun dalam jarak jauh di semesta ini, Yang Mulia Ratu Amarilya,” Astrodi menanggapi dengan sangat bijak. “Saya tahu Anda dan pendahulu Anda sudah berusaha untuk mengendalikan keamanan dan ketenteraman planet Anda dengan sangat baik. Memang kaum Maleus ini yang keterlaluan dan tak tahu berterima kasih. Apa pun yang bisa kita lakukan untuk saling membantu menjaga kedamaian semesta, pasti akan kita lakukan.”

“Betul sekali, Yang Mulia,” angguk Ratu Amarilya.

Sebelum para tamu dari luar Gerose berpamitan, Xavier menatap Salindri. Mempertanyakan sekali lagi penawaran Salindri.

“Ibu Salindri, benarkah akan mengirimkan orang terbaik Ibu untuk membantu saya menyempurnakan sistem keamanan di sini?”

“Oh, ya! Tentu saja!” Salindri mengangguk tegas. “Karena belum ada jalur aman antara galaksi kita, terpaksa kita harus pinjam dulu jalur aman antara galaksi Andromeda dan Triangulum. Nanti, sambil mengantar Moses berlibur ke Catana sesuai undangan Ratu Amarilya, akan kuminta Aldebaran sekalian ke sini.”

“Baik, Ibu,” Xavier menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Terima kasih banyak atas bantuan Ibu.”

“Terima kasih juga karena sudah menjaga Moses dan timnya baik-baik selama mereka terdampar di sini,” senyum Salindri, menatap Astrodi dan Xavier bergantian.

Beberapa menit kemudian, pesawat-pesawat yang dibawa pasukan Ratu Amarilya, dan juga pesawat-pesawat milik Asubasita mengudara. Dari dalam pesawat terdepan, Ratu Amarilya, Moses dan anggota timnya, dan Salindri melambaikan tangannya. Dalam waktu hanya beberapa detik saja, semua pesawat sudah menghilang ke dalam portal.

Gematri yang turut melepas rombongan menuju Catana itu pun menatap Azayala.

“Jadi, Ibu benar-benar tak ingin kembali ke Ancora bersamaku?” gumamnya.

“Nanti, Gematri,” jawab Azayala, tegas. “Aku sedang menyiapkan penggantiku di sini. Kalau saatnya tiba, aku pasti akan menghubungimu, agar aku bisa pulang ke Ancora.”

Gematri menghela napas panjang. Kalau sudah begini, ia tentu tak bisa memaksa ibunya untuk ikut bersamanya. Ia tahu ibunya orang yang berkemauan cukup keras. Salah satu sebab perpisahan ibu dan ayahnya adalah karena itu. Tapi setelah ia lebih dewasa, ia segera memahami bahwa seperti itulah hal yang terbaik untuk semuanya.

Tak lama kemudian, ia pun berpamitan kepada Astrodi dan Xavier. Dan, sepeninggal para tamu mereka, seluruh Gerose melakukan pembenahan di sana-sini. Menambal berbagai sistem keamanan dan celah energi agar mereka tetap bisa bertahan hidup di planet itu.

* * *

Kana memeluk Moses erat-erat begitu laki-laki itu menapakkan kakinya di anak tangga terbawah pesawat. Gadis itu tertawa dan menangis sekaligus. Gembira karena Moses berhasil kembali ke Bhumi dengan selamat, juga terharu karena ia masih bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu.

Setelah segala acara seremonial selesai, Moses segera menarik Kana menepi sejenak. Keduanya bercakap dengan suara rendah.

“Aku senang karena sudah tidak akan diganggu lagi oleh Sverlin,” bisik Kana.

Salindri sudah memastikan bahwa energi kehidupan Sverlin yang diketahuinya terakhir berada di Gerose sudah benar-benar lenyap. Pun sisa-sisa frekuensinya. Sudah bersih tanpa bekas.

“Jangan-jangan setelah ini kerjamu justru kendur,” goda Moses.

Seketika Kana menampar lembut lengan kiri Moses, membuat laki-laki itu terbahak. Tapi sejurus kemudian wajah Moses terlihat serius. Ditatapnya Kana.

“Seandainya ... aku pindah ... ke galaksi lain ..., bagaimana?”

“Hmm ...” Kana meraih tangan kanan Moses, kemudian menempelkan telapak tangan kanannya pada telapak tangan Moses. Ditatapnya mata Moses lekat-lekat. Kemudian gumamnya, “Dia cantik, punya perasaan lebih terhadapmu, dan ... dia seorang ratu.”

Moses segera menarik tangannya. Menatap Kana dengan ngeri. Sementara gadis itu justru terkekeh geli.

“Kamu ...,” mata Moses bulat menatap Kana.

“Banyak yang terjadi selama kamu menghilang,” Kana meringis sekilas. “Salah satunya, ya, ini. Aku menemukan kemampuanku ini. Berkat Ibu Salindri.”

Moses mengembuskan napas panjang pelan-pelan. Sambil mengerjapkan mata, ia mengalihkan tatapannya.

“Apakah harapanku terlalu tinggi, Na?” gumamnya.

Seketika Kana menggeleng. Karena ia memang berpikir bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar. Mungkin suatu saat ia juga ...

“Kamu dan Aldebaran? Bagaimana?”

Suara lirih Moses menyentakkan Kana. Seketika ia mengerutkan kening.

“Aldebaran?” gumamnya, setengah ternganga. “Memangnya ada apa denganku dan Alde?”

“Memangnya nggak ada apa-apa?” Moses menatap Kana dengan wajah polos.

Kana kembali menampar lembut lengan Moses.

“Kamu ini ngaco bener!” gerutu Kana.

“Hehehe ...,” Moses terkekeh. “Kukira ....”

Kana mengerucutkan bibir.

Bukan Alde, Moses. Bukan juga kamu. Tapi ....

Kana menghela napas panjang. Ia belum sampai pada kemampuan untuk melihat masa depannya sendiri. Memang pengasahan kemampuannya diutamakan untuk kepentingan orang lain lebih dulu. Ia menggeleng samar.

‘Kamu tidak bertepuk sebelah tangan!’

Seketika Kana terlonjak kaget. Suara Salindri menggema dalam pikirannya. Pada saat yang sama, terasa pipinya menghangat.

Benarkah? Ah ....

Ia buru-buru mengalihkan pikirannya.

“Lantas, rencanamu apa selanjutnya?” ditatapnya Moses, yang sama sekali tidak menyadari bahasa tubuhnya karena tengah larut dalam pikiran sendiri.

“Aku?” Moses mengangkat alis. “Sedang mempertimbangkan untuk ambil cuti panjang, dan ...”

“Ha! Aku tahu!” Kana menjentikkan jemarinya. “Hendak memulai sebuah hubungan indah, kan? Kamu akan berlibur ke galaksi Andromeda, kan? Ke planet Catana, kan?”

Moses tak menjawab. Hanya mampu tergelak dengan wajah memerah. Kana tersenyum penuh kemenangan. Tapi sejurus kemudian wajah itu kembali terlihat serius.

“Seandainya ... aku juga pindah ... ke Andromeda ..., bagaimana menurutmu, Mos?”

Seketika, Moses menatap Kana dan ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :
Segala bentuk keterlambatan unggahan lanjutan cerbung sudah diumumkan melalui halaman resmi FiksiLizz di Facebook. Terima kasih.