Selasa, 25 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #14-2










* * *


‘Bagaimana bisa?’ adalah kalimat tanya yang berkali-kali diucapkan Mai dalam hati sepanjang perayaan kedua ulang tahun Qiqi hari ini. Berkali-kali pula ia mengerjapkan mata. Sedikit takut bahwa apa yang ada di depan matanya hanyalah bayangan semu. Tapi tiap kali ia membuka mata kembali, ia mendapati bahwa semua itu nyata adanya. Juga tatapan dan senyum Grandy yang berkali-kali jatuh padanya.

Bagaimana bisa?

Ia hanya bisa menunggu hingga pesta kecil itu mencapai jeda dan berusaha untuk mendapatkan jawabannya dari Grandy. Bila di sekolah tadi wajah Qiqi diliputi cahaya, maka saat ini, pada sebuah perayaan yang lebih kecil dan sederhana di rumah, cahaya itu ribuan kali lipat pendarnya. Membuat hati Mai bergetar hebat.

Dan saat itu tiba ketika mereka semua digiring Amey ke ruang makan Mai, untuk menikmati makan siang dengan berbagai menu yang sudah disiapkan Amey. Yayah sendiri sudah sejak tadi membagikan sisa nasi kotak dan kue ke seluruh karyawati NitNit dan MM, dibantu Winda.

“Bang...,” Mai memberanikan diri untuk bersuara.

“Ya?” Grandy menoleh sekilas sambil menurunkan Qiqi dari pangkuannnya. Tatapannya kemudian jatuh pada Qiqi. “Qiqi makan dulu, ya? Om mau bicara sebentar sama Mama.”

Qiqi menatap Grandy dengan sinar was-was membias dalam matanya.

“Om mau pergi lagi?” tanyanya serak.

“Enggak,” Grandy menggeleng tegas. “Om nggak akan pergi lagi.”

“Janji?”

“Janji.”

Barulah Qiqi berbalik dan berlari kecil menyusul yang lain. Mai kemudian duduk di sofa yang sudah berpindah ke sudut ruangan. Grandy mengikutinya, kemudian duduk di sebelahnya.

“Bang...,” Mai menatap Grandy. Menuntut penjelasan. “Ada apa sebenarnya?”

Grandy menggelengkan kepala.

“Aku tidak bisa meninggalkan Qiqi,” jawabnya lirih. “Aku tak mau meninggalkan kalian lagi.”

Mai tercenung.

“Cita-citaku sudah di tangan, Mai,” ujar Grandy, masih dengan suara lirih. “Aku sudah menjadi dokter dengan spesialisasi yang aku inginkan. Aku memang masih harus kembali ke Jepang untuk mengurus semuanya. Menyelesaikan yang masih tertinggal di sana. Tapi itu bisa nanti. Bisa menunggu. Bisa ditunda sejenak. Dan tidak akan makan waktu lama.”

“Tapi Abang sudah di bandara kemarin itu,” sergah Mai, lemah.

“Ya,” Grandy tersenyum. “Bahkan aku sudah mendapatkan boarding pass dan sudah antre di depan gerbang pemberangkatan untuk masuk ke pesawat. Aku keluar dari antrean ketika di depanku masih ada tiga orang lagi. Dan aku segera memberitahu kru darat bahwa aku tidak jadi ikut berangkat.”

“Bagaimana bisa?” Mai mengerutkan kening.

Grandy menghela napas panjang. Menatap Mai dalam-dalam. “Aku pernah berpikir, seandainya ada suara yang memintaku untuk tinggal, maka aku akan tinggal.”

Grandy mengalihkan tatapan matanya. Segera saja ia menangkap basah Qiqi yang tengah sembunyi-sembunyi mengintip mereka. Diulasnya senyum tipis. Membuat gadis mungil itu nyengir, kemudian menghilang dari pandangan. Mai sendiri kelihatannya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga tidak menangkap hal yang sama.

“Tapi Papa dan Mama selalu mendukungku,” lanjut Grandy. Kembali menatap Mai. “Dalam hal apa pun. Termasuk kembalinya aku ke Jepang untuk menjadi asisten Prof. Abe. Prof. Handono juga begitu. Kamu pun sama. Tak ada suara sedikit pun untuk memintaku tinggal.”

“Bang...,” sergah Mai halus. “Aku tak berhak melakukannya. Setelah semua yang sudah Abang lakukan untuk Qiqi dan aku. Abang juga punya mimpi.”

“Iya, aku paham,” tegas Grandy. “Karena itu pada awalnya aku memutuskan untuk kembali ke sana. Hendak mengecap pengalaman dengan menjadi asisten Prof. Abe. Walaupun hanya setengah hati. Hingga setelah aku selesai boarding, ketika duduk menunggu jam keberangkatan, ada yang mengingatkan soal gadis kecilku. Lalu aku benar-benar mengingatnya secara utuh. Pada saat terakhir kalinya dia memelukku, dia sempat berbisik, ‘Om, jangan pergi’. Dan bisikan itu terngiang terus di telingaku. Itulah yang membuatku kabur dari antrean.”

Mai tercekat. Kehilangan kata. Grandy mengulurkan tangannya. Menggenggam tangan Mai.

“Mai, bolehkah aku menjadi ayah Qiqi?” ucap Grandy sungguh-sungguh. “Bolehkah aku menjadi pendampingmu, seumur hidup?"

Mai ternganga.

“Aku sudah jatuh hati pada Qiqi sejak dia lahir,” lanjut Grandy, makin erat menggenggam tangan Mai. “Dan... aku sudah jatuh hati padamu sebelumnya, saat kamu hadir di rumah singgah Mama. Aku memang egois, Mai. Sangat egois. Punya cita-cita yang aku tak mau melepasnya. Sekaligus aku punya ketakutan besar bahwa aku tak akan bisa membahagiakanmu dan Qiqi selama cita-cita itu belum tercapai. Kamu tahu sendiri kesibukanku. Sementara kamu dan Qiqi butuh sandaran yang bisa hadir sewaktu-waktu. Aku tidak bisa seperti itu. Dan kalau aku memaksa, aku justru bisa kehilangan kamu dan Qiqi. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Kesempatan itu masih ada. Dan aku tak akan lagi ke mana-mana. Aku takut kesempatan tak datang dua kali. Jadi... maukah kamu menikah denganku, Mai?”

Dan Mai benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mampu menatap Grandy dengan wajah pasrah.

“Bang... Beri aku waktu untuk berpikir, ya?” hanya itu yang akhirnya bisa ia ucapkan.

“Iya, Mai, iya,” jawab Grandy cepat.

“Tapi...”

“Ya?”

“Abang tidak akan pergi lagi, kan? Maksudku... kecuali mengurus hal yang masih harus diselesaikan.”

“Iya, Mai. Aku akan tinggal. Aku sudah berjanji pada Qiqi.”

Mai mulai bisa tersenyum kini. Grandy melepaskan genggamannya, kemudian menepuk lembut punggung tangan Mai dan berdiri.

“Makan dulu, yuk, Mai. Aku sudah lapar,” diulurkannya tangan pada Mai.

Mai menyambut uluran tangan itu. Menjadikannya tumpuan untuk berdiri.

“Bang...,” ucapnya ragu-ragu sebelum melangkah.

“Ya?” Grandy menoleh.

Tatapan Mai menyergapnya. Begitu dalam. Seolah ingin menemukan relung-relung tersembuyi dalam diri Grandy. Menimbulkan debar yang makin tak terkendali di dalam dada laki-laki itu.

“Ya, aku mau,” bisik Mai. Akhirnya. Nyaris tak terdengar. Meluncur begitu saja dari mulutnya. “Dan tentu saja Abang boleh menjadi ayah Qiqi.”

Alunan jawaban yang sempat membuat Grandy terbengong, sebelum ia memeluk Mai erat dan merasa melambung tinggi hingga ke lapisan terluar langit.

* * *

Qiqi menguap. Grandy menyelimutinya baik-baik.

“Om, Om,” di tengah kantuknya, Qiqi masih mencoba untuk berceloteh. “Tahu, nggak, Qiqi sebenarnya ingin apa buat hadiah ulang tahun hari ini?”

“Hm... Boneka panda raksasa?” Grandy duduk di tepi ranjang Qiqi.

Qiqi menggeleng sambil meringis.

“Hm... Pesta ulang tahun yang meriah?” Grandy menaikkan alis.

Qiqi kembali menggeleng dengan senyum terkulum.

“Hm... Berubah jadi nenek-nenek?” Grandy memasang ekspresi jahil.

Qiqi tergelak.

“Jadi, apa, dong?” Grandy tersenyum lebar, mengelus lembut kepala Qiqi.

“Mm... Qiqi ingin punya papa. Yang kayak Om Grandy,” Qiqi menatap Grandy dengan sorot mata serius.

“Oh...,” Grandy tercekat sejenak sebelum mengedipkan sebelah mata. “Whoaaa... Terus, dapat nggak hadiahnya?”

“Ng... Jadi benar, Om Grandy mau jadi papa Qiqi?” Qiqi justru balik bertanya. Menjulurkan tangan kanannya. Meraba pipi Grandy.

“Benar, dooong...,” Grandy tertawa ringan. “Qiqi senang?”

“Senang banget!” Qiqi mengangguk.

“Om juga senang. Apalagi punya anak manis, cantik, dan pintar seperti Qiqi,” Grandy mencolek ujung hidung Qiqi. “Tapi Om masih harus kembali ke Jepang lagi. Cuma sebentar. Untuk ambil barang-barang Om yang masih tertinggal. Sekalian berpamitan pada teman-teman Om di sana.”

“Habis itu?” ada nada menuntut dalam suara Qiqi.

“Om kembali ke sini, siap jadi papa Qiqi.”

“Nggak kayak kemarin, ya? Yang katanya mau di Jepang lamaaa itu?”

Grandy menggeleng sambil tersenyum. Qiqi juga tersenyum, kemudian menguap, entah untuk yang ke berapa kalinya.

“Sudah, sekarang Qiqi bobok dulu,” Grandy mencium kening Qiqi. “Besok pagi Om antar Qiqi ke sekolah.”

“Siangnya jemput juga?”

“Wah, belum tahu. Om ada urusan di tempat kerja. Nggak apa-apa, kan, kalau Mama yang jemput?”

Qiqi mengangguk sambil tetap tersenyum. Ia kemudian memejamkan mata. Dan Grandy mencium keningnya sekali lagi.  Ditunggunya sejenak hingga Qiqi benar-benar terlelap, sebelum ia pelan-pelan keluar dari kamar itu. Nyaris tanpa suara.

Mai sedang duduk di sofa panjang ruang tengah ketika Grandy muncul. Asyik dengan tabletnya. Tapi diangkatnya juga wajahnya.

“Sudah tidur, dia?” Mai menatap Grandy.

Grandy mengangguk sambil duduk di sebelah Mai. “Sepertinya sudah nggak kuat menahan kantuk.”

“Iyalah...,” senyum Mai. “Biasanya kalau absen tidur siang, ya, begitu. Jam segini sudah teler. Apalagi seharian tadi sibuk dengan perayaan ulang tahunnya.”

Grandy tertawa mendengarnya. Sekilas diliriknya jam dinding. Masih belum genap pukul tujuh petang.

“Keluar, yuk, Mai,” ajaknya tiba-tiba.

“Hah? Ke mana?” Mai tergelak ringan.

“Kencan,” Grandy mengedipkan sebelah mata. “Mumpung Qiqi sudah tidur.”

“Hm... Boleh, deh!” putus Mai kemudian. Dengan cahaya riang melompat-lompat dalam matanya.

* * *

Ares menikmati heningnya malam di balkon yang lampunya sengaja ia matikan. Menatap langit gelap. Duduk menyelonjorkan kaki di atas kursi malas. Sambil sesekali menyesap segelas besar teh hangat.

Hm... Sama sekali tak ada rasa cemburu...

Disandarkannya kepala dengan santai.

Yang ada justru kelegaan dan rasa senang yang luar biasa.

Ia meletakkan gelas yang masih terisi setengah itu ke atas meja di sebelahnya.

Rara sudah mendapatkan yang terbaik.

Dan tanpa bisa dicegah, seolah ada beban berat yang begitu saja terangkat dari hatinya. Beban yang tanpa sengaja sudah diusungnya bertahun-tahun.

Rasanya sampai kapan pun ia masih akan mengingat pertemuannya dengan laki-laki itu pada hari Sabtu kemarin. Saat ia bersama Winda dan Dira hendak pergi ke rumah Mai. Tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berdiri di depan pintu. Menatapnya penuh permohonan.


“Kita harus bicara,” ucap Grandy.

“Ayo, masuk dulu, Mas,” Ares membuka pintu apartemennya lebar-lebar.

Ia kemudian memperkenalkan Dira pada Grandy.

“Kami mau main ke rumah Rara, eh... Mai,” jelas Ares. “Tapi Mas Grandy santai saja, biar Winda dan Dira duluan.”

“Eh, tolong, jangan bilang Mai kalau aku di sini,” Grandy menatap Winda. “Anggap kalian tak pernah bertemu aku hari ini.”

“Kalau boleh tahu, kenapa?” tanya itu meluncur begitu saja dari mulut Winda.

“Sebenarnya... mm... Setahu Mai dan Qiqi, aku sudah berangkat ke Jepang kemarin,” jelas Grandy. “Tapi aku berubah pikiran dan mereka tidak tahu. Jadi... biarkan dulu mereka tidak tahu. Nanti akan kuceritakan alasannya.”

Winda, Ares, dan Dira saling menatap sejenak. Ares kemudian mengambil keputusan. Ditatapnya Winda.

“Win, ajak Dira ke sana dulu, ya? Nanti aku menyusul. Bilang saja aku lagi ada tamu. Ingat, tutup mulut.”

“Siap, Mas!” Winda mengacungkan jempol, berpamitan, menggamit lengan Dira, dan keluar dari apartemen itu.

“Jadi...,” Ares mengalihkan tatapannya pada Grandy. “Bagaimana, Mas?”

“Qiqi tidak ingin aku pergi,” gumam Grandy. “Dia ucapkan itu ketika mengantarkan aku ke bandara. Sebelum ini, berkali-kali aku kembali ke Jepang, Qiqi tak pernah mengatakan apa-apa. Tapi kemarin...,” Grandy menghela napas panjang.

“Qiqi butuh Mas Grandy,” senyum Ares. “Aku memang belum begitu mengenal Mas dan Qiqi. Tapi aku bisa melihat bahwa pola hubungan Mas dan Qiqi betul-betul seperti ayah dan anak. Winda pun bisa melihat bahwa Mas benar-benar mencintai Qiqi tanpa syarat. Qiqi sendiri sudah terbiasa dengan kehadiran Mas dalam hidupnya, walaupun secara fisik Mas sering tidak berada dekat dengannya.”

Grandy terlihat tercenung sebelum menanggapi, “Dan dia sudah mulai sering menanyakan tentang seorang ayah. Ayah-nya.”

“Iya, Mas,” angguk Ares. “Dan sepertinya bukan sekadar pertanyaan, tapi sudah jadi keinginan dan kebutuhan. Qiqi makin besar. Keingintahuannya tentu makin besar pula. Kupikir, akan lebih bagus kalau ada yang masuk ke posisi itu sebelum dia benar-benar paham masalah yang sebenarnya. Jadi ketika suatu saat nanti dia harus mendapat penjelasan tentang ayah kandungnya, sudah ada orang yang bisa dia percaya untuk menopangnya kalau dia limbung.”

“Kamu tidak ingin menjadi orang itu, Di?” tatapan Grandy terlihat menyelidik, tapi sama sekali tanpa aura permusuhan.

Ares kembali tersenyum. “Jujur, keinginan itu pernah ada. Tapi kalau ada orang lain yang jauh lebih baik daripada aku, kenapa tidak? Bagian terpenting dari semua ini adalah Qiqi, Mas. Aku sayang padanya, tapi aku yakin belum bisa sebesar rasa sayang Mas padanya. Juga sebaliknya. Rasa sayangnya padaku belum sebesar rasa sayangnya pada Mas. Butuh banyak waktu untuk menyamakan kadar rasa itu, sementara mungkin Qiqi sudah tidak bisa menunggu lagi.”

“Itu tentang Qiqi,” Grandy mengerjapkan mata. “Kalau Mai?”

“Mas ada ketika dia butuh sesuatu yang kokoh untuk bersandar. Dia sendiri pernah mengatakan padaku, dia tak tahu akan jadi apa kalau Mas Grandy tidak ada. Pada awalnya aku berpikir, seharusnya aku yang berada di posisi itu. Tapi kemudian aku menyadari, bahwa pada saat itu aku belum cukup matang untuk bisa mendampinginya menempuh semua kesulitan. Hasilnya pasti lain, Mas. Dan dia sudah mendapatkan yang terbaik. Sesuatu yang mungkin saja tidak akan tercapai kalau dia tetap bersamaku. Dan itu cukup membuatku lega. Melihatnya baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup buatku. Sudah utuh menebus semua kegelisahanku selama delapan tahun ini. Sudah lunas bagiku, Mas.”

Grandy diam. Mencoba untuk sejenak mengendapkan semua ucapan Ares.

“Tolong, Mas, beri Qiqi dan Rara kepastian. Beri juga kebahagiaan. Setelah semua yang mereka lalui, mereka patut mendapatkan reward-nya, yaitu diri Mas seutuhnya, sebagai suami Rara dan ayah Qiqi.”

“Senin besok lusa ini adalah ulang tahun Qiqi,” gumam Grandy, tersenyum. “Kuharap itu waktu yang pas.”

“Oh, ya?” Ares mengangkat alisnya. “Wow! Beri Qiqi hadiah yang tak terlupakan seumur hidupnya, Mas!”

“Ya,” Grandy mengangguk dengan wajah terlihat sangat cerah. “Aku akan memberi Qiqi dan Mai kejutan besok.”

Diulurkannya tangan pada Ares. Dan Ares menyambut erat jabat tangan itu.

“Dira, ya?” Grandy tersenyum lebar. “Beri dia kepastian juga.”

Ares tertawa ringan. “Semoga, Mas,” ucapnya. Tegas.


Ares kembali meraih gelas tehnya. Meneguk isinya sampai habis. Dan ia ada di sana ketika hal itu terjadi siang tadi. Melihat dengan mata kepalanya sendiri pernyataan terbuka Grandy, bahwa laki-laki itu akan segera menikahi Mai.

Dan pada akhirnya Dira...

Ia memang belum mengatakan apa-apa. Tapi sepertinya Dira memahami, bahwa hubungan mereka sejak dua hari yang lalu mulai bergerak ke arah yang lebih positif. Mungkin ke depannya akan jauh lebih mudah karena ia sudah berhasil membebaskan diri dari bayang-bayang Mai.

Dan ia tersentak sedikit ketika bunyi ponselnya menggema dari dalam apartemen. Ia pun beranjak untuk mengambilnya. Sebuah pesan Whatsapp.

‘Sudah tidurkah, Mas?’

Ia segera mengetikkan balasannya. ‘Belum. Kamu sendiri juga belum. Kenapa belum tidur?’

‘Entahlah. Hanya saja aku kepikiran Mas Diaz.’

Ares tersenyum. ‘Boleh aku memimpikanmu malam ini?’

‘Hah? Hahaha... Serius?’

‘Seribu rius. Boleh aku mengenalmu lebih dekat? Bukan sekadar seorang abang yang ingin mengenal adiknya. Tapi lebih dari itu.’

‘Wow! Kalau begitu, lakukan saja mulai sekarang. Tidur, dan mimpikan aku.’

Ares tertawa sendiri. ‘Kamu sendiri?’

‘Masih di depan laptop dan mengerjakan sesuatu. Tapi aku bisa tidur sedikit lebih lambat. Karena mimpiku sudah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu.’

Ares mengerti sepenuhnya. ‘Oke, aku harus bekerja besok. Dan aku ingin memimpikanmu malam ini. Selamat malam...’

‘Good night, Mas. Sweet dream...’

Ares menghela napas lega. Sesaat kemudian ia menutup pintu balkon, mematikan semua lampu, dan masuk ke kamarnya.

* * *


Ilustrasi : www.decoaro.com



18 komentar:

  1. Yes happy ☺️☺️☺️☺️☺️

    Tapi tetap nangis bacanya hiks Baper banget aku hehhe

    BalasHapus
  2. Mb Liiiissss lope" full to the max mentok soro pokoe !
    Haduuuu cerbunge pean ngoclak" atiku mbaaaa ......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Ngoclak-ngoclak. Ati-ati menclek lhooo 😝😝😝

      Hapus
  3. mbak Lizz.. tambah apiiik tulisannya... Aku penggemar Setia tulisan2 mbak lizz...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih singgahnya, Mbak Sri Rahayu... Salam kenal ya 😊😊😊

      Hapus
  4. Nirwan yok opo kabare mbak, wes ketam?

    BalasHapus
  5. Aku juga mau dong dikasih kepastian. Bahwa Fiksilizz akan selalu jadi blog dengan fiksi termanis yang super romantis. Makasih udah jadi fiksioner terbaik buatku dan mungkin juga yang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whoaaa... Kalo 'pasti' dan 'selalu', itu nggak bisa dijamin ya... Soalnya kan penulisnya cuma abal-abal gini.
      Makasiiih... 😊😊😊

      Hapus
  6. Yes, horeeeyyy.... Request pembaca sepertiku dipenuhi. Muach, Muach. Makasih, Bude Lis. :*

    BalasHapus