Selasa, 11 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #10-2








Sebelumnya  


* * *


Hujan masih setia merintik di luar sana. Pelan-pelan Grandy membuka jendela kamar, kemudian duduk di kursi depan meja tulisnya. Sengaja ia mematikan lampu kamar. Dalam diam dinikmatinya pendar-pendar tetes hujan yang membiaskan cahaya lampu taman. Dan tanpa sadar ia menghela napas panjang.

Ia kini mulai memikirkan tentang sebuah tujuan. Berbagai kalimat tanya yang bermain liar di dalam benaknya.

Untuk apa sebenarnya semua yang selama ini telah aku lakukan? Ke mana ujung perjalanan ini akan menyeretku? Siapa yang bisa menemaniku nanti?

Apa yang sudah dilakukannya hingga menjadi seperti saat ini adalah upaya untuk mewujudkan keinginannya untuk mengabdi pada kemanusiaan. Dan ia berharap ujungnya adalah kehidupan yang ‘kaya’ seperti kedua orang tuanya. Kaya secara batin, dan rejeki cukup yang seolah tak pernah putus.

“Tuhan lebih tahu niat kita, Gran,” ucap Amey suatu ketika. “Dan bila kita benar tulus, Dia akan mencukupkan kebutuhan kita sehingga kita tak akan berkekurangan. Dan segala kecukupan itu harus kita bagi juga pada orang lain yang lebih membutuhkan.”

Dan semua itu adalah atmosfer tempatnya bertumbuh hingga jadi dewasa. Bukan sekadar omongan kosong, karena Satya dan Amey dengan senang hati membagikan kebaikan yang bisa dilakukan.

Mata Grandy mengerjap ketika intensitas hujan di luar jendela kamarnya makin tinggi. Tepat saat itu telinganya mendengar derum halus sedan ayahnya memasuki garasi. Ia segera beranjak sambil menutup jendela kamarnya. Sekilas ia melirik jam dinding sebelum keluar dari kamar. Hampir pukul sembilan malam.

“Tumben sudah pulang, Pa?” senyumnya.

“Sudah beberapa bulan ini papamu mulai membatasi jam praktik,” sahut Amey yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Grandy. “Kalau tidak, bisa bablas sampai tengah malam.”

Satya terkekeh dan mengecup lembut kening Amey. Sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah sejak status keduanya resmi sebagai suami istri. Beberapa saat kemudian sudah terhidang tiga gelas susu coklat hangat di atas meja makan. Ditemani sepiring pisang goreng yang masih panas mengepul. Grandy dan Amey duduk di depan meja makan dan mengobrol ringan. Sambil menunggu Satya selesai mandi air hangat, sesuatu yang selalu dilakukan Satya sepulang praktek, seberapa malam pun waktunya.

Tak lama kemudian Satya muncul dan bergabung. Atmosfer di sekeliling meja makan kecil itu seketika bertambah hangat. Bagi Satya dan Amey, terasa sekali bedanya ada Grandy atau tidak bersama mereka. Dan selagi Grandy masih bisa bergabung, keduanya berusaha menikmati momen-momen yang makin jarang terulang itu.

* * *

Setengah dunianya runtuh. Itu pasti. Kehilangan Maika seolah sama dengan kehilangan separuh jiwanya. Dan semua berawal dari satu kebodohan di masa lalu. Kebodohan yang selama ini disimpannya sendiri. Dan ‘sampah busuk’ itu terkuak setelah pertemuan tak sengajanya dengan seorang makhluk mungil dan cantik bernama Qiqi.

Bagaimanapun ada tali rasa yang masih tersimpul. Antara ia dan gadis kecil itu. Mungkin gadis kecil itu belum merasakan apa-apa. Tapi setidaknya ia, sebagai seorang ayah, tak bisa memungkiri bahwa ada perasaan ‘lebih’ yang bermain di hati. Perasaan ingin tahu, perasaan ingin menyentuh, perasaan ingin merengkuh, perasaan ingin bicara.

Tapi Ares!

Diam-diam Nirwan menggeram dalam hati.

Sejak dulu ia sudah mencemburui pemuda itu. Dirasanya kehadiran Ares bagai batu sandungan dalam hubungannya dengan Mai. 

Dan dia kembali ada dalam kehidupan Rara!

Nirwan menggeleng gusar.

Dan laki-laki jangkung itu... Siapa lagi dia?

Nirwan menghembuskan napas keras-keras.

Semua putaran itu menimbulkan perasaan pening di kepala. Membuatnya memutuskan untuk membenamkan kepalanya dalam-dalam pada bantal. Kemudian memejamkan mata.

* * *

Keheningan menemani Mai ketika menyesap segelas teh hangat di teras belakang rumah mungilnya, yang menyambung dengan teras belakang rumah sang orang tua. Teman yang lain adalah ribuan tetes air hujan yang turun menghujam kulit bumi. Angin dingin berhembus, membuat Mai sedikit bergidik. Dan tatapannya beralih dari tetes-tetes air hujan ke teras belakang rumah sebelah. Ada ayahnya di sana. Memegang secangkir kopi. Laki-laki yang masih terlihat gagah itu menoleh ketika merasa ada yang tengah memperhatikannya.

“Lho, kamu belum tidur?” laki-laki itu melangkah menghampiri Mai.

“Lagi ingin menikmati teh hangat dan hujan, Yah,” sahut Mai, tersenyum lebar.

Rama duduk tepat di sebelah putri kesayangannya. Diletakkannya cangkir di atas meja pendek di depan mereka, kemudian ia melingkarkan tangannya ke sekeliling bahu Mai.

“Ada apa, Ra?”

Mai hanya menghela napas panjang sambil menggeleng.

“Masih berpikir soal Nirwan?”

“Salah satunya,” jawab Mai dengan nada berat.

“Yang lainnya? Diaz? Grandy?”

“Entahlah, Yah,” desah Mai.

“Ayah harap, Nirwan berada jauh dari kehidupanmu,” gumam Rama. “Benar dia ayah kandung Qiqi, tapi...”

“Aku juga berharap begitu, Yah,” Mai menoleh sekilas. “Selama ini Qiqi dan aku sudah hidup tenang. Hanya saja...,” Mai mendesah.

“Kenapa?”

“Qiqi mulai bertanya soal papanya,” mata Mai mengerjap, mengusir air mata yang mulai merebak. “Dan aku... bingung harus menjawab apa. Selama ini aku berhasil ngeles. Tapi apakah selamanya akan bisa begitu? Jujur, aku belum sanggup bercerita tentang Nirwan.”

Rama mengerucutkan bibirnya. Diraihnya cangkir kopi, kemudian disesapnya pelan.

“Sebenarnya...,” Rama kembali meletakkan cangkirnya, “... siapa yang kamu cintai?”

Mai menggeleng. “Aku nggak pernah memikirkannya lagi, Yah.”

“Mai, dengarkan Ayah,” ucap Rama lembut. “Qiqi sudah keluar sinyal dia butuh seorang ayah. Kamu nggak bisa mengabaikannya begitu saja. Cobalah untuk mulai membuka diri.”

Mai tercenung. Sejujurnya, ia sudah tak lagi bisa membedakan mana keinginannya, mana kebutuhannya. Ia sudah menindas habis kedua rasa itu sejak dicampakkan Nirwan dan terpuruk sedemikian rupa. Ia seolah tak punya hak lagi untuk memilih berbagai jalur jalan yang ada dan terbentang di hadapannya.

“Tolonglah, Ra,” suara Rama terdengar samar menembus telinga Mai. “Kamu masih berhak untuk merasakan kebahagiaan hidup. Yang jauh lebih banyak daripada sekarang.”

Diaz... Masihkah ada harapan?

Mai mengerjapkan mata.

Bang Grandy... Terbangnya sudah terlalu tinggi buatku.

Mai menggeleng pelan.

Nirwan? Amit-amit jabang bayi!

“Ra, Ayah masuk dulu, ya? Sudah malam. Besok Ayah ada meeting pagi-pagi.”

Mai mengangguk. Menatap punggung ayahnya yang kian menjauh. Dan ketika sosok itu menghilang ke dalam rumah sebelah, Mai pun beranjak. Dingin terasa makin menggigit.

* * *

“Jadi kamu belum juga mengambil keputusan?” tanya Satya dengan suara rendah.

Amey sudah lebih dulu pamitan masuk ke kamar. Kegiatannya sepanjang hari tadi cukup melelahkan baginya. Ia juga sepertinya memahami sinyal yang dikirimkan Satya, bahwa suaminya itu ingin waktu berdua saja dengan sang putra tunggal.

Grandy terpaksa menggeleng. Hatinya masih terbelah antara dua keinginan. Yang terasa sama besar. Sama kuat.

“Sebetulnya kamu dan Mai itu bagaimana?”

Grandy tertunduk. Menekuri cangkir minumannya yang sudah hampir kosong.

“Gadis Jepang itu?” kejar Satya.

Grandy masih membisu. Tapi kepalanya menggeleng pelan.

“Gran, kamu mencintai Mai?” bisik Satya.

Tentu saja sebetulnya ia sudah mengerti apa yang ada di dalam hati Grandy. Sudah tiga puluh tujuh tahun ia menjadi ayah seorang Grandy. Pengertian itu terasa sudah berkarat.

“Aku menyayangi Qiqi, Pa,” Grandy menjawab lirih. “Aku takut kalau aku terlalu jauh berbuat, aku justru akan kehilangan Qiqi. Dan Mai... Ya, aku mencintainya.”

“Katakan padanya, Gran,” Satya menatap lurus ke arah Grandy.

“Pa...,” Grandy mengangkat wajahnya. “Aku takut kehilangan Qiqi.”

Satya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.

“Seandainya Mai... dan Qiqi... bisa kubawa masuk, apakah Mama dan Papa akan bisa sepenuhnya menerima mereka?”

“Astaga, Graaan...,” Satya mengusap wajahnya dengan mimik jengkel. “Masih juga kamu tanyakan itu?”

Grandy meringis.

“Seharusnya mereka sudah kamu bawa masuk sejak dulu!” tegas Satya. “Sebelum keadaan jadi rumit seperti ini.”

Grandy kembali meringis.

“Sudah, Papa mau kelonan saja sama Mama,” Satya bangkit dari duduknya. “Pusing mikir kamu tarik ulur kayak ingus begini.”

Grandy tertawa tertahan sambil menatap kepergian Satya. Ia kemudian meringkas cangkir dan piring kotor di atas meja, lalu membawanya ke dapur. Diabaikannya pesan Amey tadi, agar meninggalkan saja semuanya di bak cuci agar besok pagi Kus saja yang mengurusnya. Dalam hitungan menit, semuanya sudah bersih kembali.

* * *


Ilustrasi : www.craftideas.info



12 komentar:

  1. Yummy pisang goreng sama coklat anget pas banget dingin gini☕️

    Mas grandy buat ku Aja ☺️☺️

    BalasHapus
  2. tarik ulur kayak..... itu lho yg pagi pagi bikin ketawa....tks post nya mba lizz

    BalasHapus
  3. Bro Gran, sebagai sesama cowok tolong kasih tahu gue apa rahasianya.................bikin pisang goreng sama susu cokelat yang enak kayak punya lo? enak bgt kalo dingin habis hujan kayak gini #salahfokus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pesan dari Grandy :

      "Itu yang bikin pisang goreng sama susu coklat bukan guweh, Bro! Emak guweh tuh yang yahud!"

      😁😁😁

      Hapus
  4. Hiyuuuu .....
    Papae Grandy bakno lwucu wakwakwakwak
    Lanjut mb Lis.
    Garai kempingers krasan cene ..

    BalasHapus