Kamis, 13 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #11-1










* * *


Sebelas


Mai mengerutkan kening ketika bel pintu berbunyi pagi-pagi begini. Sebelum ia sempat membuka pintu kamar, didengarnya ada langkah kaki tergesa dari arah belakang ke depan rumah. Langkah kaki Yayah. Ia buru-buru menyelesaikan sisiran rambutnya yang masih basah. Sejenak kemudian, pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Ya, Yah?” sahutnya.

“Mai? Kamu sudah bangun?”

Mai kembali mengerutkan kening.

Hah? Bang Grandy?

Buru-buru ia membuka pintu dan benar-benar menemukan lelaki jangkung itu sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Qiqi masih tidur?” tanya Grandy dengan suara rendah.

“Iyalah,” Mai menggamit tangan Grandy untuk bergeser ke pintu kamar di sebelah. “Hari Sabtu libur begini kubiarkan dia bangun agak siang.”

“Wah,” Grandy menghentikan langkahnya. “Jangan diganggu kalau begitu.”

“Nggak apa-apa,” senyum Mai. “Dia pasti senang dibangunkan oleh Abang.”

Tangan Mai sudah membuka lebar pintu kamar Qiqi. Pelan-pelan. Grandy masih telihat ragu sejenak. Mai mendorongnya lembut. Tapi tubuh kukuh itu bertahan.

“Sudah, nanti saja,” putus Grandy kemudian, berbisik. “Dia berhak menikmati waktu liburnya.”

Ditutupnya kembali pintu itu. Nyaris tanpa suara. Mai hanya mengangkat bahu. Sekilas diliriknya jam dinding. Masih belum genap pukul tujuh. Qiqi biasa bangun pukul delapan pada akhir Minggu seperti ini. Mai melangkahkan kaki ke arah meja makan yang masih kosong.

“Sarapannya belum siap, Bu,” sesal Yayah yang membawa nampan berisi dua cangkir kopi.

“Nggak apa-apa,” senyum Mai. Melirik sekilas. “Tamunya saja yang kepagian.”

Grandy hanya nyengir saja mendengar sindiran Mai.

“Bikin roti panggang saja, Yah,” ucap Mai kemudian.

Yayah mengangguk dan berlalu, setelah menghidangkan minuman. Grandy dan Mai mengambil tempat berdekatan di depan meja makan kecil itu. Menyesap kopi hampir berbarengan. Terdiam. Saling menatap.

“Kantor olshop-mu masih libur tiap weekend?” suara rendah Grandy memecah keheningan.

Mai mengangguk. “Kecuali banyak pesanan. Minggu ini normal, jadi Sabtu-Minggu tetap libur seperti biasa. Cuma, nanti sekitar jam sebelas ada customer yang mau lihat barang dan beli secara langsung. Sudah janjian.”

Grandy mengangguk-angguk. Mai kembali menyesap kopinya.

“Dia menanyakanku?” Grandy mengangkat alisnya.

Mai meletakkan cangkirnya. Mengangguk. “Hampir tiap saat. Tanya, ‘kapan Om pulang?’. Sampai aku bosan menjelaskan padanya.”

Jawaban itu membuat Grandy terpekur.

Rabu kemarin, pagi-pagi sekali, mendadak saja ia dihubungi oleh Prof. Handono. Sebuah rumah sakit di Semarang membutuhkan bantuan untuk melakukan bedah syaraf terhadap seorang pasien dengan kasus cukup berat dan langka. Menjelang siang, ia sudah ikut Prof. Handono untuk terbang ke Semarang. Tanpa sempat berpamitan pada Qiqi. Hanya menitipkan pesan saja melalui Mai.

Dan Prof. Handono mempercayainya untuk melakukan operasi itu keesokan harinya, walaupun masih di bawah pengawasan Prof. Handono. Sebetulnya masa kritis belum berlalu, tapi Grandy memutuskan untuk kembali lebih dulu ke Jakarta. Operasi sudah berhasil ia lakukan dengan sempurna. Prof. Handono masih tinggal di Semarang untuk memantau perkembangan pasien. Sejauh ini hasilnya positif walaupun pasien masih dirawat secara intensif. Membuat Grandy tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.

“Bang... Melamun?”

Suara halus dan sentuhan lembut di tangannya itu membuat Grandy tersentak. Ia mengerjapkan mata.

“Hal seperti ini yang kukhawatirkan kalau...,” Grandy menghentikan gumamannya ketika menyadari ada di mana ia sekarang. Ditatapnya Mai dengan sorot mata tak berdaya.

“Ya?” Mai mengangkat alisnya. Menunggu.

Tapi Grandy menggeleng. “Tidak, tidak apa-apa.”

Dan Grandy merasa terselamatkan ketika Yayah muncul membawa sepiring besar roti tawar yang sudah dipanggang dengan botol-botol kecil berisi aneka selai. Wajahnya seketika menjadi cerah.

“Bapak mau dibuatkan nasi goreng?” tawar Yayah.

Grandy menggeleng. “Ini sudah cukup, Yah.”

Yayah mengalihkan tatapannya ke arah Mai. “Bu, masaknya jadi yang sudah Ibu catatkan tadi itu?”

“Oh, iya, iya,” Mai mengangguk cepat. "Kamu mau ke pasar sekarang?”

“Iya, Bu.”

“Ya, sudah,” Mai bangkit dari duduknya. “Sebentar, ya, Bang?” ucapnya sebelum melangkah ke arah kamar, hendak mengambil dompet.

Take your time,” senyum Grandy sambil mengacungkan jempolnya.

Sementara Mai sibuk dengan urusan belanja, Grandy sibuk pula mengoles-oles beberapa lembar roti tawar panggang dengan selai blueberry, coklat, dan mentega kacang. Ia masih ingat betul kesukaan Qiqi. Gadis mungil itu mampu melahap habis tiga lembar roti tawar dengan tiga jenis olesan kesukaannya itu.

“Mama...,” terdengar pintu terbuka dan suara lirih itu.

Grandy menoleh. “Hai, cantik!” sapanya riang.

Mata Qiqi langsung membulat sempurna melihat sosok yang duduk di depan meja makan itu.

“Om Grandy!” serunya sambil berlari menghampiri Grandy.

Laki-laki itu segera memberikan pelukan hangatnya dan kecupan ringan di kening.

“Ih! Qiqi masih bau iler!” goda Grandy.

Qiqi meringis malu, tapi tetap tak mau melepaskan diri dari pelukan Grandy.

“Om kapan datangnya?”

“Datang ke sini? Belum lama.”

Qiqi menggeleng. “Dari Semarang.”

“Oh... Semalam. Sudah malaaam banget.”

Qiqi tersenyum lebar.

“Mandi dulu, ya?” bisik Grandy. “Tuh, roti buat Qiqi sudah Om siapkan. Ada blueberry, mentega kacang, coklat.”

“Whoaaa... Semua kesukaan Qiqi!” seru Qiqi dengan antusias. Ia kemudian meloloskan diri dari pelukan Grandy. “Qiqi mandi dulu, ah!”

Gadis kecil itu kemudian menghilang ke kamarnya. Mai kembali ke ruangan itu dengan segelas susu coklat berada di tangannya.

“Sudah bangun, dia?” Mai duduk di tempatnya semula.

“Iya, langsung mandi,” Grandy tertawa ringan.

“Tumben...,” Mai mencebikkan bibir. “Biasanya kalau weekend begini disuruh mandi ngeles melulu.”

“Lho, kan, ada pawangnya ini,” Grandy tergelak, diikuti Mai.

Beberapa menit kemudian Qiqi sudah muncul lagi dengan wajah segar, beraroma harum, berpakaian cukup rapi, dan rambut tersisir sempurna. Grandy menatapnya dengan kagum.

Setiap pertemuannya kembali dengan Qiqi selalu memberi kejutan yang menakjubkan. Perkembangan kepandaian, kecerdasan, dan keterampilan gadis mungil itu demikian pesat. Jauh di atas perkiraannya.

Gadis kecil itu kemudian mengambil tempat di antara Mai dan Grandy. Setelah mengucapkan terima kasih dengan sangat manis, ia kemudian mulai menggigit rotinya yang sudah dilipat segitiga oleh Grandy.

“Enak?” Grandy menaikkan alisnya.

Qiqi  mengangguk dengan mata berbinar.

“Siapa dulu, dong, yang olesin isinya...,” ujar Grandy dengan nada sombong.

“Biasanya Qiqi oles-oles sendiri juga enak,” tukas si gadis kecil. “Kan, isinya sama saja kayak biasanya.”

“Yaaah...,” Grandy langsung memasang mimik kalah dan kecewa yang cukup lebay. Membuat tawa Mai dan Qiqi berderai karenanya.

Tapi beberapa detik kemudian ada yang terasa menyentak di dalam dada Mai. Membuatnya sejenak tercenung.

Seharusnya memang seperti inilah sebuah keluarga tempat Qiqi bernaung, tumbuh, dan menjadi besar nanti. Tapi...

TING TONG!

Suara bel pintu menyentakkan Mai dari lamunan sekejapnya. Ia kemudian beranjak untuk membuka pintu depan. Harus ia sendiri yang membukanya, karena Yayah sudah berangkat ke pasar. Ia sudah menjangkau gagang pintu ketika bel berbunyi lagi. Buru-buru dibukanya pintu itu.

Dan empat orang yang berdiri di hadapanya itu kemudian membuatnya benar-benar kehilangan kata. Wajahnya menjadi pias sebelum mendesis penuh amarah, “Mau apa lagi kamu ke sini?”

“Ra...”

Lalu hening.

* * *

Ilustrasi : www.reedsandscents.com 

12 komentar:

  1. Horee pertamaxxxx ☺️

    Mendebarkan lebih suka baca dari pada nonton sinetron ☺️

    BalasHapus
  2. Wiiihhh, udaaah tayang..... Teopebegeteh pokoknya. Suwun mbak, ilangin stressku iki.... 😍😘☺️😙

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Ojok mbantingi panci ae yooo... 😚

      Hapus
  3. Nirwan kah yang datang itu? Tapi koq berempat datangnya?

    BalasHapus
  4. Oh... mungkin Drg. Angga kali, ya...

    BalasHapus