Sabtu, 15 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #11-3










* * *


“Saya sebagai ayahnya, minta maaf yang sebesar-besarnya atas kelakuan anak kami,” ucap Broto dengan suara bergetar. Di bawah tatapan dingin Rama, Hening, dan Mai. “Saya tahu, tak boleh berdalih dengan mengatakan tidak tahu karena Nirwan selama ini memang tak pernah mengatakan apa-apa. Ada tanggung jawab yang harus kami pikul juga, yang selama ini keluarga Bapak pikul sendirian. Katakan saja, kami siap menerima apa pun.”

Terlambat! Mai melengos. Sangat terlambat!

Hening juga membuang pandang ke arah luar pintu. Luka yang mulai pulih itu seakan dikuakkan kembali dengan paksa. Ternganga lebar lagi. Perih. Menimbulkan perasaan enggan disentuh lagi dan ingin keluarga Broto menghilang saja dari kehidupan mereka. Selamanya.

Sedangkan Rama merasakan nelangsa yang sangat. Apalagi ketika menangkap ekspresi lara di wajah Mai, putri kesayangannya. Ia masih ingat betul kemarahan bercampur rasa sedih dan khawatir saat diketahuinya Mai terkapar di ranjang IRD sebuah rumah sakit karena sudah nekad minum racun serangga. Belum lagi ketika Qiqi terlahir dengan kondisi yang betul-betul membuatnya miris. Sebuah perasaan terbanting yang luar biasa menyakitkan.

Dan Mai... Yang ada di hatinya sekarang adalah perasaan hambar. Sudah tak bisa lagi merasakan apa-apa. Kecuali satu ketakutan besar, bahwa ia harus berbagi Qiqi dengan Nirwan. Memangnya ke mana kamu ketika aku pontang-panting menjadikan Qiqi hingga seperti sekarang? Mai mencibir dalam hati.

“Kami sudah memaafkan semuanya,” ucap Rama kemudian, dengan suara berat. “Karena hidup berjalan ke depan, bukan ke belakang. Dan karena hidup berjalan ke depan pula, maka kami minta kita tak lagi menengok ke belakang. Silakan anggap tak pernah ada masalah, dan... silakan tinggalkan kehidupan kami. Sejauh-jauhnya. Anak dan cucu saya berhak untuk melanjutkan hidup mereka. Rara memang bersalah. Salah besar. Tapi dia sudah susah-payah berusaha untuk berdamai dengan dirinya sendiri, bertobat, menerima semua keadaan dengan lapang dada, dan mencoba melangkah tegak kembali dari tertatih hingga bisa berlari seperti sekarang. Dan itu bukan hal mudah bagi kami, orang tuanya, untuk melihat semua itu dengan mata kepala sendiri. Bersyukurlah Anda semua tidak mengalami hal itu.”

“Pak...,” ucap Murni dengan suara bergetar. “Ijinkan kami bertemu dengannya. Bagaimanapun dia darah daging Nirwan.”

“Kami tidak ingin berbagi cucu kami dengan Anda, Bu,” tukas Hening. Lugas. Dengan kemarahan yang masih tersisa cukup banyak. “Setidaknya sekarang, dengan cara memaksa seperti ini. Ketika Nirwan menolak untuk bertanggung jawab, dia pun sudah menolak haknya sebagai ayah cucu kami. Hitam di atas putih, cucu kami adalah milik ibunya."

Murni menatap Hening dengan putus asa. Dia juga seorang ibu. Dan saat ini berusaha untuk memahami dengan mencoba membayangkan berada dalam posisi Hening.

Sedikit banyak, Intan sudah menceritakan pada mereka tentang Mai dan Qiqi. Bagaimana perjuangan Mai menyembuhkan diri sendiri dan berusaha keluar dari rasa berdosa itu, bagaimana kondisi Qiqi ketika dilahirkan, bagaimana Rama dan Hening memberikan dukungan yang luar biasa pada anak dan cucunya itu, dan bagaimana kerasnya usaha Mai untuk memberikan kehidupan yang baik untuk Qiqi. Semuanya itu jauh sekali dari kata mudah.

“Jadi kalau mereka menolak, ya, harap maklum,” begitu ucap Intan semalam. “Kalau aku jadi Mai, atau Rara itu, masih bagus kalau kalian bisa membawa pulang Nirwan dalam kondisi utuh.”

Intan bukan siapa-siapa Mai. Hanya seseorang di luar kotak yang kebetulan melihat sendiri perjuangan Mai. Itu pun sudah turut merasa jengkel atas perbuatan Nirwan.

Apalagi orang tuanya sendiri... Murni mendesah dalam hati.

“Kami tidak ingin mencetak musuh,” terdengar lagi gema suara berat Rama. “Maka dari itu sebaiknya kita tidak lagi saling mengganggu. Saya masih bisa memberikan kehidupan yang layak buat anak dan cucu saya. Anak saya sendiri juga bisa memberikan hal yang sama buat anaknya. Tak perlu campur tangan orang lain.”

“Tapi laki-laki itu...,” gumaman Nirwan menggantung di udara.

“LAKI-LAKI YANG MANA?!” sambar Mai dengan mata menyala. “Kamu tahu Diaz sahabatku sejak lama!”

“Laki-laki yang mengantar Qiqi ke sekolah beberapa hari lalu,” jawab Nirwan lemah.

“KAMU MENGUNTIT???” bola mata Mai hampir melompat keluar. “Nirwan, kamu benar-benar sampah! Berani-beraninya kamu menguntit anakku!”

Nirwan kehabisan kata. Hanya bisa membuka dan mengatupkan mulutnya tanpa suara. Dengan ekspresi tolol.

“Sekali lagi kalian dekati anakku, aku lapor ke polisi!”

Broto melihat bahwa tidak ada cahaya main-main dalam mata perempuan muda itu. Dan ia hanya bisa berharap, waktu akan bermurah hati pada mereka.

* * *

Rama duduk diam dengan wajah letih. ‘Para pengacau akhir minggu’-nya itu sudah pergi. Meninggalkan goresan luka yang terasa menggigit hati. Hening memilih untuk menyibukkan diri bersama Yayah di dapur mungil Mai. Sedangkan Mai hanya bisa termangu di dekat ayahnya. Menghela napas panjang berkali-kali.

“Secara hak, mereka memang berhak bertemu Qiqi,” gumam Rama tiba-tiba. “Karena bagaimanapun darah mereka mengalir dalam tubuh Qiqi. Tapi mereka harus menggunakan otak dan hati mereka lebih dulu untuk menemukan cara berhubungan lagi dengan Qiqi. Cara yang elegan, bukan grusa-grusu seperti tadi. Kali ini kita harus egois, Ra. Demi kesehatan jiwa Qiqi.”

Mai tercenung. Ia tahu ada sisi kosong yang besar dalam diri Qiqi. Sisi kosong yang seharusnya diisi dengan baik oleh seorang ayah. Tapi sekali lagi ia berteriak dalam hati, sosok ayah itu bukanlah Nirwan. Kendati Nirwan bertobat sejuta kali. Nuraninya yang membisikkan itu. Dan ia sama sekali tak ingin memberikan ayah yang salah untuk Qiqi.

“Ayah dan Ibu ada undangan jam 11 ini,” Rama beranjak dari duduknya. “Ayah siap-siap dulu, Ra.”

Mai mengangguk.

* * *

Ketika balkon mulai terasa panas karena ulah matahari, Ares mengajak Grandy masuk kembali ke dalam apartemen. Bergabung dengan Winda, Qiqi, dan Obet, yang tengah menonton film kartun sambil tertawa-tawa.

Sekilas Grandy melihat ke arah arlojinya. Hampir pukul sebelas. Belum ada kabar apa-apa dari Mai. Ia hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja di rumah Mai.

Diam-diam ia mulai menilai keadaan Ares. Pemuda itu kelihatannya sudah cukup mapan. Juga terlihat mulai menyayangi Qiqi. Tapi siapa, sih, yang tidak cepat jatuh cinta pada sosok seperti Qiqi? Gadis mungil imut cantik yang sangat ceria dan komunikatif. Terlepas dari seperti apa kondisi fisiknya.

“Om Grandy...”

“Ya?” Grandy menoleh, menatap Qiqi.

“Jadi ke rumah Oma, nggak?”

“Yah... Qiqi sudah bosen di sini, ya?” sahut Winda, berlagak cemberut.

“Hehehe...,” Qiqi terkekeh. “Enggak, Tante... Cuma, kan, tadi Om Grandy bilang kita mau ke rumah Oma.”

“Ya, sudah, yuk! Pamitan dulu,” Grandy mengulurkan tangan, yang segera disambut Qiqi.

Dengan manis gadis mungil itu pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Ares, Winda, dan Obet.

Good guy,” celetuk Winda sekembalinya Ares dari mengantarkan keduanya ke tempat parkir.

“Yup,” sahut Ares pendek.

Tanpa sadar, Winda bertukar tatapan dengan Obet.

* * *

Pelan-pelan Mai membuka sebelah pintu kantor olshop-nya. Setelah itu ia duduk di kursi yang biasanya dipakai Noni. Sempat termangu sejenak sebelum mengambil ponsel dari dalam saku celana panjangnya. Dicarinya sebuah nama. Tak diangkat pada panggilan pertama. Ia mencobanya lagi.

“Halo... Ya, Mai?”

“Bang, maaf ganggu. Qiqi gimana?”

“Oh, ada... Ini lagi jalan mau ke rumahku. Mau ngomong sama Qiqi?”

“Enggak... Enggak... Tadi dari mana saja? Kok, masih mau jalan ke rumah?”

“Tadi di jalan ketemu Diaz. Mau ke tempatmu, sebetulnya. Tapi kubilang kamu lagi ada tamu. Terus dia ajak Qiqi dan aku main ke apartemennya. Ada adik Diaz dan cowoknya juga. Ini baru saja bubaran. Gimana? Qiqi diantar pulang sekarang?”

“Hm... Mereka sudah pergi, sih. Dan aku sebentar lagi ada janji sama customer. Ayah sama Ibu juga sudah pergi. Ada undangan resepsi nikah. Terserah Abang, enaknya gimana?”

“Ya, sudah, kalau begitu aku bawa Qiqi saja dulu. Biar kamu lebih enak berurusan sama customer. Lagipula dia sudah telanjur ingin ketemu Mama sama Papa. Mau main ikan, katanya.”

“Oh...,” Mai tersenyum lebar. “Oke, deh, Bang. Terima kasih banyak, ya? Titip Qiqi.”

“Iya, Mai. Sama-sama.”

Mai menyandarkan punggungnya seusai pembicaraan itu.

Bang Grandy...

Laki-laki itu datang begitu saja ke dalam kehidupannya. Tanpa ia minta. Tak pernah ia tolak. Laki-laki yang selalu mampu mengendalikan diri agar tetap bersikap santun walaupun tak pernah segan mengakrabkan diri.

Dan Diaz...

Nama dan sosok itu muncul juga. Setelah perpisahan tanpa sedikit pun ada kontak selama bertahun-tahun.

Ada apa di balik semua ini?

Mai meletakkan keningnya di atas permukaan meja. Selama beberapa menit berada di dalam posisi itu. Yang cukup mengurangi rasa pening di kepalanya. Hingga...

“Selamat siang...”

Seketika Mai menegakkan leher dan kepalanya mendengar sapaan itu. Ia menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan yang kira-kira seumuran dengannya berdiri di tengah pintu yang terbuka. Mai buru-buru beranjak dari duduknya.

“Selamat siang, Mbak,” ia membalas sapaan itu sambil menghampiri si tamu.

“Mbak Mai, ya? Saya Maika, yang kemarin menelepon,” perempuan itu menjabat tangan Mai dengan hangat.

“Oh, iya, iya, Mbak. Saya Mai. Mari, masuk. Mau langsung melihat-lihat koleksi kami?”

Maika mengangguk. Ia menangkap isyarat Mai untuk mengikuti.

Hm... Jadi ini yang namanya Mai...

Maika bergumam dalam hati sambil mengikuti langkah Mai.

* * *


Ilustrasi : www.jewishjournal.com

19 komentar:

  1. Maika???? Tendangen ae arek iku Mai..... Mengko tiwas ngusruh ae🕝💭
    Mbak Jeung Lizz, kok ampe telu? bales dendem ya??? Besok Ada lageee😍🙂😌😚😳
    Teopebegeteh, keren... Pilih Diaz Aja, bang Grandy ama Sa-chan ae.... &@(); edisi mekso penulis, tapi musti ati2 ki, tiwas dibalang ulekan.... kabooorrrrr......(;:/-@

    BalasHapus
  2. Wakwaw, Maika pun mulai kepo thd Mai. Hadueh...

    BalasHapus
  3. 😱😱😱oh no maika Semoga hanya kepo jangan jahat maika pliss☺️

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Eeeeeeaaaaaa dek........ Sorry to say yah.

      Untung de yg nulis ni cerbung bkn elo. Bs porak poranda klo maksa2 masuk2in ini itu muluk 😆

      Hargain kemampuan penulisnya donk! Blio jg gak sembarangan susun2 alur & detail. Elo kira mudah sambung2in detail dr awal ampe akhir cerita biar gak ada yg kececer?

      Ckckckckckckckck

      Hapus
    2. Puuuut wakwakwakwak .....
      Anake orang jok kamu marahi.
      Disikat tantemu wenak kamu ntik !

      Hapus
    3. Oh, maaf kalau komentar saya kurang sopan

      Hapus
  5. Kereeennn bangets mb Lizz..........lanjoooot...

    BalasHapus
  6. Tante maaf yah Put bikin rusuh dsni. 😑
    Gak prnh komen. Skalinya komen gak sopan. Dihapus aja klo Tantenya gak berkenan. 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa... Jangan marah-marah lagi di lapak orang lain yaaa... Tapi masih tergolong sopan kok. Nggak ada kata-kata sakti 😉

      Hapus