Kamis, 25 Juli 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #7

 








* * * * *



𝗧𝘂𝗷𝘂𝗵

𝙆𝙚𝙥𝙞𝙣𝙜-𝙠𝙚𝙥𝙞𝙣𝙜 𝙋𝙪𝙯𝙯𝙡𝙚



Seharusnya mentari sudah muncul Senin pagi ini. Namun, langit di atas sana tampak pekat berselimut awan kelabu. Bergulung-gulung, seakan siap menumpahkan tangisnya.


Tepat pukul tujuh, Erid meluncurkan SUV abu-abu tua mengilatnya keluar dari garasi. Rintik hujan mulai menyambutnya begitu ia sampai di pintu gerbang belakang klaster. Ia lebih suka lewat sana bila hendak ke mana pun. Arus lalu lintasnya lebih lancar, walaupun nanti akan bertemu juga dengan arus lain di bundaran dekat pintu gerbang kompleks.


Benar saja! Arus lalu lintas mulai padat menjelang lampu merah bundaran. Ramai, tapi cukup lancar. Tak sampai harus berkendara dengan kecepatan merayap.


Hujan turun dengan deras begitu mobil Erid keluar dari gerbang utama kompleks. Pagi terasa jauh lebih muram karenanya. Gelapnya mendung tampak merata di seluruh bidang langit.


'𝘞𝘢𝘩, 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘢𝘸𝘦𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢,' batin Erid.


Beberapa belas menit kemudian, ia sudah siap melakukan kunjungan ke pasien-pasien kecilnya yang harus dirawat inap di sana. Begitu tugasnya selesai, ia beranjak ke bangsal rawat di sayap timur. Pada belokan terakhir, ia bertemu dengan Bagas. Keduanya saling berbalas sapa, kemudian melangkah bersama.


Pada satu detik, ingatan Erid melayang pada bahasan singkatnya dengan Bagas beberapa hari lalu di kantin. Ia berdehem sedikit.


"Ehem! Dok, kalau boleh tahu, kasus suami Lily apa, ya?" tanyanya dengan nada ragu-ragu.


"Oh, Andru? Limfoma, Dok," jawab Bagas.


"Sudah lama?"


"Iya, sudah," angguk Bagas. "Empat tahun berjuang, tapi Tuhan lebih sayang padanya."


"Sudah lama meninggalnya?"


"Sudah ada empat tahunan ini. Kenapa, Dok?"


"Oh, enggak apa-apa." Erid meringis sekilas.


"Deketin aja, Dok," senyum Bagas. "Baik, kok, anaknya. Manis, setia. Tanya saja sama ibumu. Kurasa ibumu lebih tahu."


Seketika Erid menelan saliva. Bertanya pada ibunya adalah hal paling buncit yang harus dilakukannya saat mentok sudah tak ada lagi jalan untuk mengumpulkan semua 𝘱𝘶𝘻𝘻𝘭𝘦 tentang Lily. Bukan apa-apa, tapi belum apa-apa juga sang ibu pasti akan heboh sendiri. Erid sangat menghindari hal itu. Lagipula ....


'𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘢𝘱?'


Erid menggeleng samar. Ambigu antara 'tak tahu' dan 'belum siap'. Belum habis ia berpikir, sosok yang ada di kepalanya itu kini sudah terlihat duduk di ujung koridor. Tidak sendiri. Ada Elida di sebelahnya, juga ibu pasien kecil dari Cikarang yang masuk beberapa hari lalu.


Ia dan Bagas sama-sama menyapa kelompok kecil itu, kemudian masuk ke ruang rawat. Setelah pemeriksaan selesai, mereka bertemu lagi. Kali ini, Bagas dan Erid membahas perkembangan kondisi pasien. Dengan tekun Lily mencatat poin-poin penting seperti yang diamanatkan oleh Carina.


* * *


Setelah selesai dengan pasien kecil dari Cikarang bernama Ari, Lily dan Elida pindah ke ruang perawatan yang ditangani dokter-dokter lain. Sekitar empat puluh menit kemudian, Lily kembali ke kantor yayasan, sementara Elida mengecek rumah singgah untuk keluarga pasien yang ditangani pembiayaannya oleh yayasan. Lokasinya tak jauh dari rumah sakit.


Ketika Lily masuk, pintu kantor Carina terlihat tertutup sebagian. Samar-samar Lily mendengar ada yang mengobrol di dalam. Ia tak mau jadi pengganggu, karenanya ia segera melakukan tugas. Hanya merekap data harian tiap pasien rawat inap yang ditanggung yayasan. Saat ini tidak banyak. Hanya 17 pasien saja. Hanya beberapa belas menit, pekerjaannya sudah selesai.


Sebenarnya, hanya itu-itu saja tugasnya di kantor yayasan. Tidak terlalu sibuk, sehingga waktu kerjanya bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Terkadang malah asyik mengobrol bertiga. Ia, Carina, dan Elida.


Kali ini, karena sendirian, Lily memutuskan untuk mengerjakan salah satu tugas kuliahnya. Sebenarnya tugas itu sudah selesai, hanya tinggal memeriksa dan membenahi kesalahan yang mungkin ditemukan. Ia hanya mencoba untuk sibuk saja.


Tak lama, yang dikerjakannya pun selesai. Ia mengirimkan ke dosennya melalui email. Tak ingin menganggur, ia pun mengeluarkan buku sketsa. Belum lagi membuka buku itu, terdengar suara pintu terbuka.


"Mitiii ...."


"Permisi ...."


Lily mengangkat wajah. Seorang perempuan cantik melangkah dengan menggandeng seorang gadis kecil berpipi bulat, berbadan gempal, dan berambut kriwil. Sangat menggemaskan. Ia pun berdiri menyambut.


"Maaf, mengganggu," senyum perempuan cantik itu. "Mama ada, Mbak?"


"Oh, Bu Arin?" Lily balas tersenyum. "Ada di ruangannya. Tapi kelihatannya masih ada tamu."


"Oh." Perempuan cantik itu mengangguk maklum.


"Mari, silakan duduk dulu."


Sebelum perempuan cantik dan gadis kecil menggemaskan itu sempat duduk, pintu ruangan Carina sudah terbuka. Erid dan Carina keluar dari dalam kantor Carina.


"Tetiii! Momaaa!"


Teriakan nyaring dan cempreng terdengar membahana. Erid tersenyum sambil berjongkok. Lengannya terentang lebar. Carina tertawa gembira di belakangnya.


"Halo, 𝘱𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴-nya 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺!"


Laki-laki itu menggendong si gadis kecil, dan menghujani pipinya dengan ciuman sayang. Pemilik pipi tembem itu pun terkikik kegelian. Si perempuan cantik berpelukan dengan Carina sambil 𝘤𝘪𝘱𝘪𝘬𝘢-𝘤𝘪𝘱𝘪𝘬𝘪. Ketika si gadis mungil tembem berpindah ke gendongan Carina, perempuan cantik itu salim dan mencium punggung tangan Erid dengan takzim.


"Teti, abit enjut mamam et tlim, yak!" seru si pipi tembem dengan centilnya.


"Hah? Hujan-hujan gini makan es krim, 𝘱𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴?" Erid memasang wajah terkejut dramatis.


"Tapi Oti mau, Teti," rengek si 𝘭𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦 𝘱𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴.


"Nanti kalau sudah ada matahari boleh, Loy," bujuk si perempuan cantik. "Tapi sama Mama, ya, jangan sama 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺. 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺 sibuk."


Bibir mungil si 𝘭𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦 𝘱𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴 langsung mengerucut. Lily gemas sekali melihatnya.


"Ly, kenalkan ini menantu dan cucuku." Carina yang masih menggendong si tembem melangkah ke arah Lily, diikuti si perempuan cantik.


Lily mendekat dan menyalami si perempuan cantik.


"Lily," ucapnya ramah.


"Danita." Perempuan itu juga ramah dan terlihat sangat tulus.


Tangan kecil terulur di depan Lily, yang langsung disambut Lily dengan gembira.


"Atu Oti, Ate."


"Loysi," ibunya membenarkan, masih dengan senyum memikat terlukis di wajahnya.


"Ah ... halo, Loysi," sambut Lily dengan senyum lebar dan mata berbinar. "Kamu cantiiik banget."


"Atiiih," jawab Loysi dengan senyum manisnya.


"Ya, udah, enjus dulu, yuk!" Erid mengambil alih Loysi dari gendongan neneknya. "Mumpung 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺 nggak ada pasien hari ini."


Laki-laki tinggi tegap itu berpamitan, diikuti Danita. Lalu keduanya melangkah pergi.


"Tata, Moma! Tata, Ate!"


Loysi melambaikan tangan dan sun jauh, ditanggapi hal yang sama oleh Carina dan Lily.


"Loysi umur berapa, Bu?"


"Akhir bulan depan dua tahun," senyum Carina.


Tepat saat itu ponsel Carina berbunyi. Ia masuk kembali lagi ke ruangannya sambil menerima pangilan telepon. Lily melangkah ke kursinya. Hendak melanjutkan kembali kegiatannya yang tertunda.


Namun, hingga beberapa menit lembar teratas buku sketsa yang kini sudah terbuka lebar itu masih juga bersih. Semua ide Lily mendadak bersembunyi, atau menguap, atau malah justru kabur entah ke mana.


'𝘐𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘪𝘵𝘶.' Lily menghela napas panjang. '𝘈𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘤𝘶 𝘪𝘵𝘶.' Pelan, diembuskannya napas. '𝘉𝘰𝘥𝘰𝘩!' rutuknya dalam hati.


Seharusnya, dengan cincin kawin yang tersemat di jari manis kanan Erid, status laki-laki itu sudah jelas. Milik orang. Mungkin cuma ia saja yang betah mempertahankan cincin kawin bertuliskan nama Alexandru di jari manis kanannya. Tidak dengan orang lain.


Dengan lesu, Lily menyandarkan punggung. Hujan masih setia mengguyur bumi di luar sana. Cuaca muram sepertinya identik dengan hatinya saat ini.


'𝘋𝘳𝘶, 𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘣𝘢𝘳𝘮𝘶 𝘥𝘪 𝘚𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘢? 𝘔𝘢𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘬𝘶 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘨𝘰𝘺𝘢𝘩?'


Detik demi detik, embun di mata Lily makin pekat.


* * *


Sepeninggal Danita dan Loysi yang sudah selesai diimunisasi, Erid duduk diam di kursi kerja dalam ruangannya. Masih pukul setengah sebelas. Beberapa puluh menit ruangannya tadi penuh dengan celoteh Loysi dan tanggapan sabar Danita. Alangkah meriahnya! Dan kini? Sunyi.


Erid menghela napas panjang. Masih banyak kepingan 𝘱𝘶𝘻𝘻𝘭𝘦 yang ia ingin kumpulkan tentang Lily. Entah ia harus mulai dari mana lagi. Ia belum sedekat itu dengan Lily.


'𝘉𝘢𝘳𝘢 ....'


Tiba-tiba saja nama sepupunya itu menyelinap dalam benak Erid.


Ia belum--dan mungkin tak akan pernah--lupa betapa cerianya wajah Lily yang dibonceng Bara seusai laga futsal hari Sabtu lalu. Tim Emerald menang telak. Selintas ia mendengar ajakan Bara untuk mentraktir Lily sesuai janji. Lalu, keduanya pergi. Entah ke mana.


Tampaknya, Bara tahu banyak tentang Lily. Pun terkesan berteman baik.


'𝘒𝘦𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢?'


Erid mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk kanannya pada meja.


'𝘈𝘩, 𝘪𝘺𝘢! 𝘗𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘗𝘕.'


Lalu, ada nama lain yang membuat alarm di otaknya mendadak berbunyi.


'𝘈𝘯𝘥𝘳𝘶 ....'


Erid mengerutkan kening, kemudian meraih ponselnya. Dibukanya laman resmi situs KPN Griperga.


𝙆𝙤𝙢𝙪𝙣𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙋𝙚𝙣𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙉𝙜𝙜𝙤𝙞𝙠 𝙂𝙧𝙞𝙮𝙖 𝙋𝙚𝙧𝙢𝙖𝙩𝙖 𝙂𝙖𝙧𝙪𝙙𝙚𝙮𝙖 (𝙆𝙋𝙉 𝙂𝙧𝙞𝙥𝙚𝙧𝙜𝙖) 𝙙𝙞𝙙𝙞𝙧𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙢𝙚𝙣𝙙𝙞𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙡𝙚𝙭𝙖𝙣𝙙𝙧𝙪 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣. 𝘼𝙣𝙙𝙧𝙪 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠 𝙧𝙚𝙨𝙘𝙪𝙚 𝙨𝙝𝙚𝙡𝙩𝙚𝙧 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣𝙞𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙢𝙥𝙪𝙣𝙜 𝙖𝙣𝙟𝙞𝙣𝙜 𝙟𝙚𝙣𝙞𝙨 𝙖𝙥𝙖 𝙨𝙖𝙟𝙖 (𝙧𝙖𝙨 𝙢𝙖𝙪𝙥𝙪𝙣 𝙢𝙤𝙣𝙜𝙧𝙚𝙡). 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣𝙞𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙡𝙤𝙠𝙖𝙨𝙞 𝙙𝙞 𝙎𝙖𝙬𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝘿𝙚𝙥𝙤𝙠, 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙥𝙧𝙞𝙗𝙖𝙙𝙞 𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠 𝘼𝙣𝙙𝙧𝙪.


𝙎𝙖𝙖𝙩 𝙞𝙣𝙞 𝙆𝙋𝙉 𝙂𝙧𝙞𝙥𝙚𝙧𝙜𝙖 𝙙𝙞𝙠𝙚𝙩𝙪𝙖𝙞 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝘼𝙙𝙧𝙞𝙖𝙣 𝙋𝙧𝙖𝙙𝙖𝙣𝙖. 𝙍𝙚𝙨𝙘𝙪𝙚 𝙨𝙝𝙚𝙡𝙩𝙚𝙧 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣𝙞𝙖 𝙢𝙖𝙨𝙞𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙧𝙞. 𝙆𝙞𝙣𝙞 𝙙𝙞𝙪𝙧𝙪𝙨 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙠𝙖𝙠𝙖𝙠 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙙𝙞𝙠 𝘾𝙖𝙧𝙤𝙡𝙞𝙣𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝘼𝙡𝙡𝙖𝙣 𝙅𝙚𝙛𝙛𝙚𝙧𝙨𝙤𝙣.


𝙎𝙚𝙗𝙖𝙜𝙞𝙖𝙣 𝙞𝙪𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝙖𝙣𝙜𝙜𝙤𝙩𝙖 𝙆𝙋𝙉 𝙂𝙧𝙞𝙥𝙚𝙧𝙜𝙖 𝙙𝙞𝙨𝙖𝙡𝙪𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙚 𝙧𝙚𝙨𝙘𝙪𝙚 𝙨𝙝𝙚𝙡𝙩𝙚𝙧 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣𝙞𝙖. 𝘼𝙢𝙖𝙯𝙤𝙣𝙞𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙧𝙞𝙢𝙖 𝙙𝙤𝙣𝙖𝙨𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙪𝙥𝙖 𝙙𝙖𝙣𝙖, 𝙙𝙤𝙜 𝙛𝙤𝙤𝙙, 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙨, 𝙤𝙗𝙖𝙩-𝙤𝙗𝙖𝙩𝙖𝙣, 𝙫𝙞𝙩𝙖𝙢𝙞𝙣, 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙤𝙣𝙖𝙨𝙞 𝙡𝙖𝙞𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙖𝙞𝙩𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙨𝙚𝙟𝙖𝙝𝙩𝙚𝙧𝙖𝙖𝙣 𝙥𝙖𝙧𝙖 𝙖𝙣𝙖𝙗𝙪𝙡 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙝𝙪𝙣𝙞 𝙨𝙝𝙚𝙡𝙩𝙚𝙧.


Ada berbagai foto kegiatan KPN. Berurutan mulai dari yang terkini hingga terlama, beserta takarirnya. Dan, Erid pun menemukan yang dicarinya.


Sosok laki-laki muda bernama Alexandru Amazon itu memang tampan. Wajahnya sangat jelas bergaris keturunan Eropa. Jangkung. Cenderung kurus dan tidak terlalu tegap. Tatapannya teduh. Bahkan, Erid yang seorang laki-laki normal pun mengakui kharisma seorang Alexandru Amazon.


Erid terus melihat-lihat ratusan foto di situs itu. Satu foto yang terselip agak di tengah membuatnya terdiam lama. Foto pernikahan Alexandru Amazon dengan Alexandrine Amarilya, dengan Andru duduk di kursi roda.


'𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘦𝘵.'


Erid meraup wajahnya dengan tangan kiri. Menghela napas panjang, dan mengembuskannya kuat-kuat melalui mulut.


Hingga saat ini pun, Lily terlihat masih sangat muda. Masih kuliah pula. Kalau Andru meninggal dunia empat tahun lalu, lantas ....


'𝘉𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘶𝘴𝘪𝘢𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘓𝘺?'


* * * * *


Episode selanjutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi





2 komentar:

  1. Ahahahahahahahaaaaa
    Dadi kameo lak an aku.
    Isok ae pean iki.
    Lak tuamba cinta aku kambek cerbunge pean.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi ndek kene bojomu liyo hare .... 🤣🤣🤣

      Hapus