Sabtu, 15 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #6-3









Sebelumnya



* * *



“Mereka adalah karyawan baru yang sedang menjalani training,” begitu ucap Andries, yang segera diterjemahkan oleh Pingkan.

“Kami mengadakan pembaruan sumber daya manusia setiap dua tahun sekali,” lanjut Andries, “untuk menggantikan karyawan yang pensiun.”

Dan, masih agak panjang lagi pembicaraan dengan tamu asing itu. Menyentuh hal ketenagakerjaan di pabrik itu. Pingkan berusaha menginterpretasikan ucapan Andries setepat mungkin.

Calon customer dari Jepang dalam rombongan kecil berjumlah tiga orang itu kali ini sedikit lebih rewel daripada yang biasanya mereka hadapi. Mereka bertanya sangat detail soal produksi, kapasitas pabrik, kemampuan ekspor, kondisi keuangan dan sumber daya secara umum, pengolahan limbah, bahkan hingga ke masalah sanitasi dan kesejahteraan karyawan.

Dengan sangat sabar, Andries menjelaskannya dibantu oleh Pingkan. Mereka kemudian meninggalkan ruang makan dan berpindah ke lain bagian. Ketiga tamu itu sibuk bicara dalam nada rendah sambil berjalan.

“Mereka bilang apa?” bisik Andries.

“Intinya, mereka puas melihat secara langsung kondisi pabrik kita,” Pingkan balas berbisik.

Secara tersamar, Andries menghela napas lega. Tak sia-sia rasanya mengajukan rencana perluasan pabrik yang sempat ditebusnya dengan debat sengit menghadapi sang ayah sekitar dua tahun yang lalu. Saat ia merasa perlu menambah kapasitas pabrik di Karawang, sedangkan sang ayah mencoba menahan karena mereka baru saja selesai memperluas pabrik di Tangerang Selatan.

Tapi ujungnya, argumentasinya bisa diterima oleh sang ayah. Pabrik di Karawang pun diperluas. Calon customer dari Jepang inilah yang sangat diharapkan Andries untuk menampung tambahan produksi mereka.

Dan, harapannya terkabul ketika calon customer itu menyatakan mereka puas dengan kondisi yang mereka lihat secara langsung di pabrik ini. Dokumen kontrak jual-beli produk baja akan segera disiapkan dalam waktu dekat. Pertemuan itu pun dilanjutkan dengan acara makan siang bersama dalam suasana yang lebih santai di sebuah rumah makan Jepang yang ada di kawasan industri itu. Cukup dekat letaknya dengan pabrik.

* * *

Diam-diam Maxi mengamati Andries. Saat membaca nama yang terbordir di bagian dada sebelah kanan kemeja putih Andries, barulah ia paham. Andries E. Undap. Dari situ, ia bisa mengira-ngira ada hubungan apa antara sang direktur dengan Pingkan, sekaligus menarik kesimpulan.

Jadi, aku diterima bekerja di perusahaan keluarganya?

Sejenak ia mengerutkan kening. Seingatnya, ia pernah mengatakan kepada Donner bahwa ia memasukkan lamaran ke Royal Interinusa. Tapi Donner tak mengatakan apa-apa. Tak memberikan penjelasan siapa pemilik Royal Interinusa itu.

Aduh!

Pada saat seperti ini, mendadak saja ia merasa tergencet di antara dua dinding yang menjulang tinggi. Satu dinding adalah Pingkan. Dinding yang lain adalah awal karier yang saat ini sedang ia coba untuk menitinya.

Apakah nggak akan berpengaruh buat karierku kalau aku tetap bertahan untuk mendekati Keke?

Maxi mendegut ludah. Ia sama sekali tidak yakin.

“Kamu ditanyain, tuh, sama Pak Krisno. Disuruh masukin lamaran ke sana kalau sudah lulus.”

Mendadak saja suara ayahnya terngiang kembali di telinga. Tawaran yang pada awalnya ia abaikan, tapi tiba-tiba saja bisa menjadi alternatif baginya untuk ‘lari’ menghindar dari gencetan itu.

Astaga ... Kenapa bisa tambah rumit begini, sih?

Lamunan itu terputus begitu saja ketika Maxi menyadari ada gerakan di sekitarnya. Jam makan siang sudah selesai. Mereka harus kembali lagi ke rutinitas training. Maxi masih sempat menghabiskan sisa air mineral dalam botolnya sebelum ikut arus aktivitas grupnya.

* * *

‘Kenapa lu nggak pernah bilang kalau Royal Interinusa itu punya keluarga Keke?’

Disentuhnya tanda panah di layar ponsel, dan pesan itu pun terkirim kepada Donner. Sambil menunggu jawaban Donner, ia melayangkan pandang ke luar jendela bus yang membawanya kembali ke Jakarta. Suasana di luar sana muram dalam guyuran hujan yang cukup deras.

‘Lha, lu nggak pernah nanya, kan? Kirain lu udah tahu.’

Maxi mendesah samar membaca balasan dari Donner. Ia pun mengetikkan balasannya.

‘Gue sama sekali nggak tahu, Don. Btw, Pak Andries itu siapanya Keke?’

Jawaban Donner membuat Maxi seketika mendegut ludah. ‘Abang Keke yang nomor dua. Yang paling sayang sama Keke.’

‘Dia tahu gue?’

‘Ya, tahulah ... Dulu waktu lu masih dirawat di ICU dia juga pernah datang nengokin lu sama Nicholas.’

Berarti waktu dia wawancara aku, dia sudah ....

Maxi hampir lupa bernapas. Cepat ia mengetikkan balasannya.

‘Nicholas itu siapa lagi?’

‘Abang sulung Keke. Yang pegang pabrik di Tangsel. Btw, lu bener-bener gelap soal keluarga Keke?’

Maxi pun menyadari kesalahan terbesarnya. Hingga detik ini, ia sama sekali belum mengenal Pingkan. Belum tahu keluarga Pingkan secara utuh kecuali ayah dan ibunya yang memang pernah beberapa kali bertemu. Dari pertemuan-pertemuan singkat itu, yang hanya sekadarnya, ia tak pernah tahu seberapa ‘besar’ keluarga Pingkan sesungguhnya.

Pingkan memang tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dan terkesan nyaman di salah satu daerah elit dekat kompleks tempat ia tinggal. Tapi rumah bermodel minimalis dan bersuasana hangat itu benar-benar mencerminkan pemiliknya yang selalu bersikap dan tidak pernah terlihat ‘tak terjangkau’. Buktinya?

Aku benar-benar kecolongan kali ini!

Maxi mengepalkan tangan kanannya yang bebas dari ponsel. Entah kenapa, ada rasa ‘tak terima’ mendadak saja bersemayam dalam hatinya. Tapi, itu bukan salah Pingkan. Sama sekali bukan. Itu adalah kesalahannya, yang dengan gegabah menarik kesimpulan bahwa keluarga Pingkan adalah keluarga yang ‘biasa-biasa saja’. Ia memang tahu bahwa ayah Pingkan seorang pengusaha.

Tapi pemilik raksasa Royal Interinusa?

Maxi menggeleng samar. Hal itu benar-benar jauh dari jangkauan pikirannya.

* * *

Livi berlari-lari kecil membuka pintu pagar ketika mendengar klakson ringan motor Maxi. Ia berlindung di bawah payung. Agar siraman hujan rintik tak membasahinya. Setelah motor Maxi melewatinya dan meluncur ke arah garasi yang pintunya terbuka satu daun, Livi segera menggembok pagar. Sekilas ia melongok melalui sela-sela besi pagar. Suasana kompleks sudah sepi menjelang pukul sembilan begini. Apalagi hujan mengguyur sejak lewat tengah hari. Belum benar-benar berhenti hingga detik ini.

Maxi tengah membebaskan diri dari jas hujan ketika Livi masuk dan mengunci pintu garasi. Ditepuknya lembut bahu sang adik.

“Kena macet?” tanyanya. “Gini hari baru pulang?”

“Iya,” angguk Maxi. “Macet banget tadi di jalur Cikarang-Cibitung. Hujan deras banget. Masuk Jakarta sudah lewat pukul tujuh. Baru keluar dari parkiran basement kantor langsung disambut banjir pula.”

“Sudah makan?”

Maxi menggeleng sembari menggantung jas hujannya di dinding garasi.

“Aku panasin dulu makanannya,” Livi beranjak, melangkah mendahului Maxi. “Kamu mandi dulu. Pakai air hangat.”

“Mbak, nggak usah manasin makanan,” cegah Maxi. Membuat Livi menengok ke belakang.

“Kurang gizi kamu nanti!” tukasnya.

“Roti yang kemarin kita beli di bakery, masih ada, nggak?”

“Oh, ada!” Livi mengangguk. “Oke, aku masukin ke microwave dulu, ya?”

Untungnya saat keluar dengan Livi kemarin, keduanya sempat mampir ke bakery langganan untuk memborong beberapa jenis roti. Masih tersisa beberapa potong setelah seisi rumah menikmatinya, yang segera diselamatkan Livi, dimasukkan ke dalam kulkas.

Sepanjang minggu lalu, saat menjalani training di Cikarang, Maxi pun beberapa kali sampai di rumah pada jam yang sama. Tapi rasanya tak pernah selelah ini. Padahal, hari ini baru awal minggu. Ia serasa baru saja terguncang turun naik dalam roller coaster yang tak ia kemudikan sendiri. Semua itu bermuara pada satu nama.

Keke ....

Maxi membiarkan air hangat yang terpancar dari shower membasahinya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Berharap keletihannya luruh bersama dengan aliran air bilasan sabun. Sejenak kemudian, ia mematikan keran dan mengeringkan diri.

Ketika ia muncul di bawah, ayah-ibunya dan Mela yang tadi menonton televisi sudah tak ada lagi di ruang keluarga. Tapi ruang keluarga masih terang benderang. Ternyata, titik kumpul keluarga itu pindah ke dapur.

Prima menepuk kursi kosong di sebelahnya di depan island ketika Maxi muncul. Maxi pun duduk di sana. Livi segera menyodorkan piring berisi tiga buah roti hangat berukuran cukup besar ke hadapan Maxi. Mela tak mau ketinggalan. Diulurkannya semug besar cokelat hangat kesukaan Maxi.

Pada saat itu, serasa keletihan Maxi sudah berkurang separuh. Kehangatan dalam keluarga yang sudah kembali utuh hampir seratus persen itu menghangatkan pula hatinya.

“Gimana tadi training-nya, Max?” tanya Arlena.

“Hampir sama kayak di Cikarang minggu lalu, kok, Ma,” jawab Maxi sambil menggigit sedikit dan mengunyah rotinya. “Cuma, yang di Karawang ini lebih luas dan kapasitas produksinya lebih besar daripada Cikarang. Nanti di Tangsel, kabarnya skalanya lebih besar lagi. Sudah lain pemimpin. Kalau Cikarang dan Karawang, pemimpinnya sama, satu orang.”

Dan, mereka adalah abang-abang Keke ....

Setengah mati ditahannya kalimat itu agar tak meluncur keluar dari sela bibirnya.

“Sudah tahu nanti akan ditempatkan di mana?” Prima nimbrung.

“Belum tahu, Pa.” Maxi menggeleng. “Tapi di mana pun, kayaknya aku harus indekos.”

“Yah...,” Mela tertunduk sedih. “Jauh, dong, dari Mas Maxi.”

“Kan, tiap weekend bisa ketemu, Mel,” hibur Livi, mengelus bahu si adik bungsu. “Mas Maxi, kan, bisa pulang. Atau bisa juga kita serbu indekosnya.”

Semua tertawa mendengar ucapan Livi. Tapi Maxi hanya tersenyum tipis. Masih tak berdaya merasakan keletihannya.

Beberapa belas menit sebelum pukul sepuluh, acara kumpul-kumpul di sekitar island dapur itu pun berakhir.

“Taruh saja di situ, Liv,” ujar Arlena ketika melihat Livi meringkas piring dan gelas Maxi. “Biar besok dicuci Muntik. Sudah malam ini.”

“Ma, kantung kompres di mana, ya?” celetuk Maxi tiba-tiba.

“Kenapa?” seketika Arlena menatap Maxi dengan sorot mata khawatir. “Pinggangmu?”

Maxi mengangguk. Meringis sekilas. Pinggang kirinya sudah mulai terasa berdenyut nyeri sejak ia meninggalkan basement kantor Royal Interinusa tadi. Makin lama makin tak tertahan.

“Ya, sudah, kamu ke kamar,” tegas Arlena. “Mama siapkan kompresnya. Besok nggak usah motoran. Mama antar sekalian antar Papa. Kan, kantor kalian nggak jauh. Pulangnya Mama tungguin. Biar Papa naik taksi atau nebeng mobil jemputan arah ke sini.”

Maxi sudah tak punya tenaga lagi untuk berpikir dan membantah. Hanya bisa mengangguk dan melangkah sedikit terseok-seok meninggalkan dapur. Di tangga, ia naik ke kamar bersamaan dengan Prima yang baru selesai mengecek semua pintu dan jendela.

“Pa, mm ... bisa aku ngobrol sama Papa?”

“Sekarang?” Prima menoleh.

“Jangan sekarang,” senyum Maxi. “Aku capek banget.”

“Kapan pun kamu mau,” senyum Prima, menepuk lembut bahu anak laki-lakinya. “Masalah apa?”

“Kerjaan. Penting nggak penting, sih.”

“Tadi Papa dengar Mama bilang mau antar-jemput kamu besok?”

“Iya, maunya Mama gitu.”

“Ya, sudah, nanti Papa bilang Mama, biar besok Papa nyetir sendiri, kamu bareng Papa. Pulangnya, kita ngobrol.”

“Nggak apa-apa? Takutnya Papa kecapekan.”

“Enggaklah,” Prima kembali menepuk bahu Maxi. “Dibawa santai saja.”

Maxi mengangguk dan tersenyum. Mereka pun berpisah di lorong. Masuk ke kamar masing-masing.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)