Senin, 16 April 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #18 - Tamat








Sebelumnya  



* * *


Delapan Belas


Kencana merasa terperangkap dalam deja vu ketika masuk ke gereja dalam barisan iring-iringan pengantin. Di sampingnya, Owen melangkah dengan gagah dalam balutan beskap hitam dan jarik truntum garuda berprada. Jarik dengan motif yang sama juga membalut bagian bawah tubuh Kencana, melengkapi kebaya brokat berwarna merah hati yang dikenakannya. Sepasang jarik yang pernah dikenakan ibu-ayahnya pada dua pernikahannya bertahun-tahun lalu.

Setelah Kencana menikah dengan Owen, Ndari menyerahkan sepasang jarik truntum garuda berprada itu padanya. "Kelak kenakan saat putra-putrimu menikah dengan pilihan hatinya masing-masing," begitu pesan Ndari. Ia pun memenuhi pesan ibunya itu.

Hari ini, ia dan Owen mengenakan sepasang jarik truntum garuda berprada warisan dari Ndari. Hari ini, saat salah satu putri kesayangannya menikahi sang pujaan hati. Hari ini, ia dan Owen mantu.

Betapa cepatnya waktu berlalu... Kencana menghela napas panjang.

Ketika duduk berdampingan dengan Owen di samping agak di bawah altar, Kencana menatap pengantin putri dengan penuh haru. Gadis yang beberapa menit lagi akan melepas masa lajangnya itu terlihat begitu cantik. Mirip sekali dengan mendiang ibunya, yang fotonya pernah ditunjukkan oleh Handaru.

Lalu sekejap, ia seolah-olah berada di sana, di tempat Rika duduk bersebelahan dengan Bismaka, sang calon suami. Dengan Handaru berada di posisi Bismaka.



Pada akhirnya, ia memutuskan untuk memilih Handaru menjadi pendamping hidupnya. Karena ia berat pada anak-anak, si kembar Rika dan Neri. Di sela-sela kesibukannya memulai pekerjaan baru di perusahaan Paul, mereka mempersiapkan pernikahan itu. Tidak terburu-buru, karena mereka juga perlu waktu untuk saling mengenal.

Pada saat-saat itulah ia tahu kenapa pernikahan Handaru sebelumnya hancur. Karena salah satu pihak tak mampu menjaga komitmen. Tak mau berusaha untuk memenuhi janji pernikahan yang pernah diucapkannya sendiri. Memilih untuk lari ke pelabuhan lain walaupun banyak sekali alasan untuk tinggal.

"Sebetulnya, dari awal sudah ada keraguan untuk menikah dengannya, Can," gumam Handaru suatu ketika. "Hanya saja kami sudah terlalu lama berpacaran, dan keluarganya sudah mendesak sedemikian rupa."

Dan, Kencana menggeleng dengan tegas ketika Handaru bertanya apakah Kencana merasa terpaksa untuk menikah dengannya.

"Tidak pernah, dan tidak akan pernah," ucapnya mantap. "Kita akan berjanji untuk saling membahagiakan. Dan kita akan penuhi janji itu. Kita. Bukan hanya Mas, bukan hanya aku. Tapi
kita."

Handaru menatapnya lama sebelum tersenyum, mengangguk, dan menggenggam jemarinya dengan hangat.



Lalu semulus itukah perjalanan mereka?

Tanpa sadar, Kencana menggeleng samar. Peristiwa itu masih ia ingat betul, bahkan hingga ke detail-detailnya. Terjadi hanya tiga setengah bulan sebelum prosesi mantu keluarga Jatisukmono. Sebelum pernikahannya dengan Handaru.



Ia sedang memimpin rapat dengan seluruh jajaran staf perusahaan dari level penyelia ke atas ketika salah satu dari dua orang sekretarisnya menerobos ruang rapat tanpa permisi. Ia memang sudah sekitar enam bulan masuk ke perusahaan Paul. Dan, bersamaan dengan masuknya ia, pelan-pelan Handaru pun mulai mundur. Sibuk mengembangkan bisnisnya sendiri di Cikarang, dan membuka beberapa food truck baru di berbagai tempat strategis di Depok, Serpong, dan Bekasi.

“Bu, Bapak pingsan di Cikarang,” begitu ucap sang sekretaris dengan wajah pias, tanpa basa-basi.

Tanpa menutup rapat, ia berlari keluar ruangan dan segera meluncur ke Cikarang diantar sopir perusahaan. Ke sebuah cabang Rumah Sakit Eternal Husada, tempat Handaru dilarikan oleh beberapa anak buahnya setelah pingsan.

Ia pun memindahkan Handaru dari Cikarang ke Rumah Sakit Eternal Husada Jakarta setelah kondisi Handaru cukup stabil, walaupun masih memerlukan perawatan intensif. Tapi setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, vonis itu pun jatuh. Vonis yang membuat Kencana seketika terhenyak dengan pikiran kosong. Ada tumor ganas menggerogoti lambung Handaru. Sudah masuk ke stadium yang susah untuk dikendalikan. Bahkan ada indikasi sudah menyebar ke ususnya.

Selama bertahun-tahun Handaru mengabaikan gangguan lambungnya. Ia menganggap semuanya wajar karena ia, diakui atau tidak, sering mengalami stress karena masalah perkawinannya dengan Angela, berbagai kesibukan pekerjaan, dan pengasuhan si kembar. Pengabaian yang ternyata harus dibayarnya di belakang dengan amat sangat mahal.

"Kita harus membatalkan rencana pernikahan kita, Can," bisik Handaru ketika kondisinya sedikit membaik sekeluarnya dari ICU.

Seutuhnya Kencana melihat ada kegelisahan luar biasa dalam sorot mata Handaru. Juga kesakitan dan ketakutan. Tapi tergambar juga sebentuk harapan. Entah kekuatan apa yang membuatnya menggeleng dengan tegas.

"Terus," Kencana menanggapi dengan lugas. "Kita terus."

"Aku hanya akan membebanimu," ada kaca bening dalam mata kelam Handaru. Nyaris membuat Kencana goyah.

"Mas," ujarnya lirih, "kita memang belum sampai di depan altar. Belum mengucapkan janji apa-apa. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan membahagiakanmu dan anak-anak. Bagaimanapun caranya."

Perlu waktu cukup banyak untuk meyakinkan Handaru. Entah keajaiban apa yang ditaburkan Tuhan dengan tangan ajaibnya, kondisi Handaru membaik dan stabil tiga minggu sebelum pernikahan mereka, yang diputuskan untuk tetap dilaksanakan.

* * *

Menjelang ulang tahun pertama pernikahan mereka, kondisi Handaru kembali tidak stabil. Ketika kondisinya terus menurun, harapan pun jatuh ke lapisan yang paling tipis. Kenyataan terburuk harus dihadapi.

Pontang-panting Kencana membereskan semuanya. Perusahaan yang sudah dialihkan Paul menjadi atas nama Handaru sebagai hadiah perkawinan untuk mereka, usaha
food truck Handaru yang sudah mulai menampakkan hasil menggembirakan, dan juga memberikan pengertian pada anak-anak. Hal terakhir ini cukup sulit, tapi Handaru juga melakukannya dengan cara dan bahasanya sendiri.

Lalu waktu itu pun tiba. Waktu bagi Handaru untuk menjelang ujung usianya. Digenggamnya jemari Kencana erat pada suatu waktu. Beberapa hari setelah ulang tahun kedua pernikahan mereka.

"Can, maukah kamu jujur padaku?" tanyanya, nyaris tak terdengar.

Kencana hanya bisa mengangguk tanpa suara.

"Kamu mencintaiku?"

"Ya," jawab Kencana tanpa berpikir panjang. Sebuah kejujuran, karena memang ia merasakannya terhadap suaminya itu.

"Kamu... mencintai Owen?"

Kencana terdiam sejenak. Ia tahu, kejujuran akan sangat menyakitkan bagi Handaru. Tapi tatapan sayu Handaru menguncinya. Seolah menuntutnya.

"Jujur, ya, Can?" bisik Handaru lagi.

Dengan memejamkan mata, Kencana mengangguk lemah. Ini juga sebuah kejujuran. Rasa yang ditemukannya saat membuat perbandingan dulu. Rasa yang bertentangan dengan suara hatinya.

"Lalu..., kenapa kamu mau menikah denganku?"

"Anak-anak," jawab Kencana cepat, sembari kembali membuka mata. "Aku mencintai anak-anak. Dalam cinta itu, aku juga menemukan cinta untuk Mas."

Handaru menatapnya. Lama. Tapi laki-laki itu mengulas senyum.

"Jadi, aku bisa menitipkan anak-anak padamu?"

Pertahanan Kencana runtuh seketika. Ia kemudian menangis sambil memeluk Handaru. Laki-laki itu balas memeluknya.

"Menikahlah dengan Owen, Can. Tapi tolong, tetaplah jaga anak-anak. Aku percaya padamu."

Dan, Kencana hanya bisa mengangguk ketika Handaru meminta untuk bertemu Owen. Sahabat sekaligus orang yang juga sangat mencintainya itu memang masih bertahan melajang. Mungkin tengah memulihkan hati yang patah.

* * *

Perjalanan hidup Kencana terus bergulir. Ada pernikahan kedua dalam kehidupannya. Dilakukan selewat seribu hari sejak Handaru berpulang. Memenuhi rasa yang sama-sama bersemayam dalam hatinya dan Owen. Juga memenuhi permintaan terakhir Handaru. Membuat Ndari dan Jati kembali mengenakan warisan sepasang jarik truntum garuda berprada.

Ada satu hal yang tak mungkin Kencana akan lupakan sepanjang hidupnya. Ia dan Owen sudah sepakat seperti apa janji nikah yang akan mereka ucapkan. Bahkan secara tertulis sudah disertakan dalam buku panduan misa pernikahan mereka. Tapi Owen ternyata menambahkan hal lain dengan bahasanya sendiri. Kalimat tambahan yang Kencana sama sekali tidak tahu sebelumnya. Kalimat yang diucapkan Owen dengan suara bergetar, murni berasal dari dalam hati.

"... Dan saya juga berjanji, akan menerima, menyayangi, dan menjaga dengan sepenuh hati dan jiwa, ananda Filipus Neri Diamante Pramana dan Frederika Zirconia Maya Pramana, putra-putri tercinta mendiang Adrian Handaru Pramana, yang dipercayakan untuk saya kasihi dan jaga sepanjang hidup saya. ..."

Dan, Owen memenuhi janji itu. Tak pernah sedikit pun mengurangi kasih sayangnya terhadap Rika dan Neri, walaupun kemudian hadir Namya, putri tunggalnya bersama Kencana.

* * *

Tatapan Rika yang jatuh padanya membuat Kencana sedikit tersentak. Di tengah kudusnya misa yang dipersembahkan oleh Nanan dan Denta secara bersama-sama, Rika masih sempat menatap Kencana. Mengirimkan isyarat tanpa suara melalui gerak bibir.

"I love you both, Ma. You and Papa Owen.”

Seketika ada genangan bening memenuhi mata Kencana. Tapi ia masih bisa mengirimkan balasannya secara utuh dari dalam hati. Tanpa suara pula.

"We love you more, sweetheart..."

Rika tersenyum dan mengembalikan arah tatapannya ke altar. Kencana menegakkan punggungnya. Kembali memusatkan hati dan pikiran pada misa pernikahan putrinya.

Kelak, ia ingin ia dan Owen masih mengenakan lagi sepasang jarik truntum garuda berprada itu. Pada saat tahbisan Neri menjadi seorang pastor seperti paman-pamannya nanti beberapa tahun lagi, dan juga pernikahan Namya.

Pada detik itu, Kencana seutuhnya memahami rasa yang selalu ada dalam hati ibunya. Ia menengok sedikit ke kanan. Ke arah Ndari dan Jati yang duduk berdampingan dengan diapit Neri dan Namya di bangku terdepan, dengan Stella dan Vito duduk bersisian di sebelah Namya.

Ada pula Paul di sebelah Vito. Sosok rentanya kini memerlukan sebuah kursi roda. Laki-laki itu sudah pikun. Tapi entah bagaimana caranya, selama beberapa minggu belakangan ini ia masih mampu mengingat beberapa episode dalam kehidupannya, dan turut larut dalam kegembiraan persiapan pernikahan sang cucu keponakan.

Tatapan Kencana kemudian bersirobok dengan tatapan Ndari. Perempuan sepuh itu mengulas senyum. Membuat hati Kencana serasa disiram kesejukan yang luar biasa.

Dan, ia yakin, Handaru menyaksikan semua kebahagiaan itu disertai senyum hangatnya dari Surga di atas sana.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Catatan :

Cerbung baru berjudul Perawan Sunti dari Bawono Kinayung akan mulai mengudara Kamis, 3 Mei 2018, dan akan tayang setiap Senin dan Kamis.
Saya juga punya akun di www[dot]plukme[dot]com. Isinya cerpen-cerpen ringan yang tidak saya copas ke sini. Silakan kalau berkenan ingin mengintip ke sana. Link-nya bisa klik di SINI.
Terima kasih...





3 komentar:

  1. Keren abis euy cerbungnya. Bikin gak bisa berhenti bacanya. Angkat topi ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mampirnya, Mbak Lea. Semoga isi blog ini nggak terlalu mengecewakan ya... 🙏💕

      Hapus
  2. Makasihhh banget jeng Luzzz...aku bacanya sampe nangis....ceritanya menyentuh hati benerrrr...
    Kutunggu karya2mu selanjutnya yo sayanggg

    BalasHapus