Senin, 09 April 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #17








Sebelumnya  



* * *


Tujuh Belas


Dengan penuh haru, Ndari mengeluarkan sepasang jarik truntum garuda berprada dari dalam lemari. Diciumnya jarik itu dengan air mata menggenang. Ditariknya napas dalam-dalam. Membiarkan aroma khas sepasang jarik itu melekat selamanya dalam ingatan.

Betapa perjalanan sepasang jarik itu begitu berliku sebelum pada akhirnya kelak harus berpindah tangan. Pada akhirnya pula harapannya terpenuhi dengan sangat sempurna. Mengenakan jarik itu pada pernikahan putra-putrinya. Pernikahan si sulung Hanandito dengan panggilannya, dan si bungsu Kencana dengan pilihannya, yang berselang hanya sekitar tujuh bulan.

Tapi tugas jarik itu belum selesai dalam dekapannya. Masih ada satu pernikahan lagi sebelum semuanya benar-benar sempurna. Setidaknya, itulah yang ia harapkan. Sebuah pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi.

Ndari beringsut setelah menutup rapat lemari. Pelan-pelan, ia duduk di depan meja riasnya. Sejenak ia tercenung.

Sekitar enam tahun lalu, ia ingat betul Kencana menghadap padanya dan Jati. Dengan suara terbata mengatakan bahwa ia sudah mengambil keputusan untuk menikah. Sudah bersiap menghadapi apa pun yang akan menjadi risikonya.



"Aku akan belajar untuk mencintainya, dan akan berusaha untuk seutuhnya menunaikan janji nikahku kelak," begitu ucap Kencana.

Ia dan Jati saling menatap sejenak sebelum sama-sama mengangguk. Lalu ia merengkuh putri bungsunya itu dengan air mata menggenang, yang pelan-pelan tumpah dan menggelincir di pipinya.

“Siapa pun pilihanmu, Ibu selalu menerima dan akan menganggpnya seperti anak Ibu sendiri. Ibu rasa, Ayah pun demikian juga,” bisiknya.

Perlu waktu hampir setahun untuk mempersiapkan semuanya. Di tengah-tengah kesibukan itu, ada kabar bahwa Nanan - yang sudah menyelesaikan TOP-nya di Cikarang - sudah dianggap layak dan akan segera ditahbiskan menjadi seorang pastor.

Ndari pun segera menyiapkan sepasang jarik truntum garuda berprada miliknya. Memilih bahan dan menjahit sendiri kebaya dan
surjan[1] sarimbit yang akan ia dan Jati kenakan pada acara 'pernikahan' Nanan. Tak terperi rasa bangga dan bahagia yang berbaur jadi satu dalam hati saat melihat Nanan tampak begitu gagah dan tampan dalam balutan jubah putihnya. Rasa haru pun menyergapnya seusai misa tahbisan. Nanan memeluknya erat seraya berbisik, "Doakan aku, ya, Bu..."



Ndari mengusap butiran air mata yang tiba-tiba saja meluncur di pipi. Ia menunduk dan menatap sepasang jarik yang masih terlipat rapi di pangkuannya.



Kemudian, pernikahan Kencana tujuh bulan kemudian. Serangkaian prosesi yang setiap detailnya masih ia ingat dengan baik. Pernikahan yang hampir saja batal karena satu sebab. Padahal persiapan sudah nyaris menyentuh angka sembilan puluh persen. Tapi dengan keteguhan hati Kencana, pernikahan itu jadi diresmikan. Pun bisikan putri bungsunya itu ketika sungkeman di tengah-tengah  misa pemberkatan perkawinan. Sama persis seperti bisikan abangnya : "Doakan aku, ya, Bu..." Ketika ia menengadah sejenak ke arah altar, tertangkap oleh pandangannya bening yang menggenang dalam mata Nanan.

Untuk pertama kalinya Nanan menerimakan sakramen perkawinan sejak ditahbiskan menjadi seorang pastor. Pasti sangat berkesan baginya. Apalagi ini adalah pernikahan adik kesayangannya sendiri.

Pada detik itu, Ndari merasa bahwa seluruh harapannya tunai sudah. Pernikahan itu sudah terlaksana dengan sangat sempurna. Nanan dengan panggilannya, Kencana dengan pilihannya sendiri. Impiannya mengenakan jarik truntum garuda bersama Jati sudah menjadi nyata.

Tanpa pernah berpikir bahwa akan ada lagi pernikahan lain yang harus dihadirinya dan Jati, dengan tetap mengenakan sepasang jarik truntum garuda berprada miliknya. Walaupun sesungguhnya mereka sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk.



Ndari mengusap air mata yang tiba-tiba saja sudah meleleh di pipi.

Dan ‘kemungkinan terburuk’ itu adalah pernikahan kedua Ican. Ican-ku...

Ndari tergugu tiba-tiba, sembari tangannya membelai sepasang jarik truntum garuda yang masih tetap terlipat rapi di pangkuan.

* * *

Perjalanan hidupku, siapa yang tahu? Siapa juga yang bisa meramalkan?

Kencana menatap sosok gagah yang terpantul dalam cermin besar di seberang ruangan. Guliran waktu membuatnya menyadari bahwa sesungguhnya benar ia sudah jatuh cinta pada sosok itu. Sosok yang dulu, enam tahun lalu, tak jadi dipilihnya karena suara hati. Tapi suara hatinya tak salah. Dan, ia bersyukur sudah bersedia membuka diri untuk mendengarkan dan menuruti suara hati itu.

Walaupun ada yang berakhir menyedihkan... Kencana mengerjapkan mata. Sangat menyedihkan...

Tapi di balik semua hal yang harus ia alami, ia percaya bahwa Sang Penguasa Hidup pasti punya maksud tertentu. Sedikit demi sedikit ia berusaha untuk memahaminya.

"Anak-anak mana, Can?"

Kencana tersentak, dan terpaksa harus membebaskan diri dari lamunan. Fitting baju pengantin laki-laki sudah selesai, rupanya. Ia mengerjapkan mata sebelum menjawab, "Ada sama Ussy dan Arnold. Lagi makan es krim di seberang."

Laki-laki itu mengangguk sambil mengulurkan tangan. Kencana menyambutnya dengan sepenuh hati, kemudian berdiri dari duduknya. Sebuah genggaman yang terasa hangat hingga merasuk hati.

Setelah berpamitan kepada penjahit terkenal itu, keduanya kemudian keluar dan menyeberangi jalan. Di dalam kedai es krim di seberang, si kembar bersama Ussy dan Arnold sudah menunggu di sebuah sudut. Si kembar, yang sudah berusia hampir sebelas tahun itu, mengulas senyum lebar melihat keduanya muncul.

"Kirain masih lama," Rika kemudian menggelendot manja pada Kencana yang mengambil posisi duduk di sebelahnya.

"Kenapa memangnya?" Kencana tersenyum, mencolek ujung hidung mancung Rika.

"Tuh, si Embul mau nambah lagi es krimnya," Rika nyengir sambil menatap Neri.

"Lho, pesan saja," ujar Kencana. "Ini Mama juga belum makan es krimnya. Papa Owen juga."

Owen, yang duduk di seberang Kencana, di sebelah Neri, tersenyum lebar. Diraihnya buku menu.

"Ayo, Neri, mau pilih yang mana lagi es krimnya?" tanyanya sambil menyodorkan buku menu pada Neri.

"Aku... juga mau, Pa...," gumam Rika malu-malu.

Owen tergelak seketika. Neri langsung mencibir.

"Sendirinya juga pengen. Gitu ngatain orang," gerutu perjaka kecil itu. "Dasar, Cungkring!"

Rika meleletkan lidah dengan ekspresi jenaka. Kencana pun menggelengkan kepala dengan mimik geli.

Si kembar yang benar-benar mewarnai duniaku...

Sambil menunggu tambahan pesanan es krim, keenamnya mengobrol dengan hangat. Berkali-kali derai tawa menambah meriah suasana di salah satu sudut kafe. Ussy dan Arnold, suaminya, pun ikut larut dalam keakraban itu.

Kencana menghela napas lega menatap binar dalam mata Owen saat melempar canda akrab pada si kembar. Owen yang selalu suka dan sabar dalam menghadapi anak-anak itu tampak begitu lepas dan tulus.

Tanpa sadar ada genangan bening dalam telaga mata Kencana. Sejenak kemudian ia mengerjapkan mata untuk mengusir tirai berair itu. Tapi genangan itu kembali ketika ingatannya berlabuh pada sosok ayah si kembar.

Mas, aku janji anak-anak akan baik-baik saja. Owen dan aku akan menjaga mereka...

Kencana mengerjapkan lagi matanya. Pada detik itu ia melihat Owen tengah menatapnya. Seketika ia menangkap pesan yang dikirimkan oleh bening mata laki-laki itu.

"Aku mencintaimu dan anak-anak, Can..."

Kencana tersenyum, dengan rasa damai melingkupi hatinya.

* * *

Pada akhirnya...

Owen mengerjapkan mata ketika mata dan telinganya menangkap celoteh si kembar Rika dan Neri yang asyik menikmati es krim ekstra mereka. Kesedihan itu nyaris pupus dari diri anak-anak.

Sudah tiga tahun lebih...

Tapi, masih terasa segar dalam benaknya, obrolan terakhirnya dengan Handaru, saat laki-laki itu masih dirawat di rumah sakit. Hanya beberapa belas hari sebelum kepergiannya.



"Boleh aku minta tolong padamu, Wen?" mata Handaru mengerjap lemah.

"Apa pun, Mas," ia menanggapi setulus-tulusnya.

"Tolong, jaga baik-baik anak-anak dan istriku," bisik Handaru. "Milikku yang paling berharga."

Perlu waktu sekian belas detik bagi Owen untuk memahami sepenuhnya ucapan Handaru. Perasaan dan pikirannya sangat sinkron kali ini. Membuatnya mengangguk.

"Kalau Mas memang mengizinkan, aku akan melakukannya."

"Tetap cintai Ican, dan tolong cintai juga anak-anakku. Hanya kalian yang bisa kutitipi anak-anak."

Owen hanya bisa mengangguk dengan leher terasa sakit dan seolah tersekat batuan masif.

Dan, Handaru melengkapi permintaannya dengan bukti hitam di atas putih beberapa jari berikutnya. Sehelai surat wasiat bermaterai yang ditandatanganinya sendiri di hadapan notaris terpercaya. Bahwa secara sadar ia menyerahkan hak asuh anak-anak sepenuhnya pada Kencana, yang nantinya diharapkan akan didampingi secara resmi oleh Owen. Hak asuh yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk keluarganya sendiri dan keluarga mendiang Angela dengan dalih apa pun.

Kemudian Handaru pergi dengan tenang dan damai dalam pelukan Kencana dan anak-anaknya. Dengan kepercayaan penuh bahwa anak-anak kesayangannya akan berada dalam penjagaan orang yang tepat.


Setelah itu masih ada penantian yang cukup panjang. Sekitar tiga tahun. Tapi Owen dengan sabar menghadapinya. Karena kali ini ia tahu, bahwa penantiannya akan berujung sesuai harapan yang pernah digantungnya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja, untuk membuat segala sesuatu indah baginya, Kencana, dan anak-anak.



Owen menghela napas panjang. Sedikit tersentak ketika mendapati Neri menatapnya.

"Habis ini, kita jadi ke makam Papa?"

"Ya," Owen mengangguk tegas. "Kita kirim doa buat Papa, ya? Supaya Papa bisa tetap menjaga kita dari Surga."

* * *


[1] Surjan = baju jas laki-laki khas Jawa berkerah tegak dan berlengan panjang, biasanya terbuat dari bahan lurik atau kain bermotif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar