Sebelumnya
* * *
Empat Belas
"Mm... Aku sedang memikirkan untuk pindah kantor."
Gumaman Kencana itu seketika membuat perhatian Owen teralih dari chicken pie-nya. Ditatapnya Kencana lekat-lekat. Tak ada ekspresi main-main dalam wajah Kencana. Gadis itu terlihat serius. Bahkan sangat serius.
"Resign? Atau kesempatan mutasi?" Owen memastikan.
"Resign dan pindah kerja," jawab Kencana, tetap menyerupai gumaman.
"Bukannya kariermu bagus banget di kantormu sekarang, Can?" Owen mengerutkan kening. "Atau kamu ada masalah?"
Kencana mengangguk sekaligus menggeleng. Yang pertama, pembenaran soal karier cemerlangnya di bank tempat ia saat ini bekerja. Yang terakhir, untuk masalah di kantor.
"Mm... Aku dapat tawaran kerja baru. Ya, gajinya dua setengah kali lipat dari yang kudapat sekarang. Tapi bukan soal itu," Kencana menatap Owen. "Aku mau ditarik Pak Paul untuk masuk ke perusahaannya. Membantu Mas Daru, terutama mengurus masalah finance. Supaya Mas Daru punya waktu lebih untuk anak-anaknya."
Seolah ada pukulan telak yang menghantam dada Owen. Dikerjapkannya mata.
Mereka lagi... Dia lagi...
Ditatapnya Kencana. Tajam-tajam.
"Lalu kenapa kamu masih ragu-ragu?"
"Aku...," Kencana menelan ludah.
Berhari-hari ia memikirkan hal itu. Berhari-hari pula ia dilanda resah. Keinginannya jelas bercabang. Satu ke arah keinginan untuk bertahan, karena sesungguhnya ia sangat menyukai pekerjaannya. Arah lain ke pikiran untuk memenuhi permintaan Paul, karena ia paham maksud Paul benar adanya. Dua-duanya terasa sangat penting. Dan, ia tak bisa membelah diri jadi dua badan dan pikiran yang sama. Tetap harus memilih salah satu.
Merasa belum bisa mengambil keputusan yang tepat, ia pun meminta pertimbangan pada kedua orang tuanya.
“Yang menjalaninya nanti kamu sendiri, Can,” begitu ucap Jati. “Ayah sendiri percaya, di mana pun kamu nanti berkarier, kamu pasti dapat menjalaninya dengan baik dan tetap profesional. Hanya saja Ayah ingatkan, kalau kamu memilih untuk pindah ke perusahaan Pak Paul, tak akan ada U turn yang memungkinkan kamu untuk kembali ke kantormu sekarang. Tapi sebaliknya, Ayah pikir Pak Paul akan tetap menantimu walaupun kamu tetap bertahan di tempat kerjamu saat ini.”
Kesimpulannya, Jati netral. Apa pun yang putrinya putuskan, laki-laki itu mendukung saja. Sedangkan Ndari lebih cenderung menggiring putri bungsunya ke arah 'lain' itu, dengan berbagai pertimbangan yang juga terasa benar adanya.
“Pak Paul memintamu, pasti ada alasan,” ujar Ndari. “Yang pertama, beliau sudah mengenalmu dengan sangat baik. Yang kedua, beliau percaya pada kemampuanmu. Percaya bahwa kamu bisa bekerja secara profesional. Yang ketiga, Ibu lihat Daru memang makin repot dengan anak-anaknya. Si kembar makin besar. Tentunya butuh perhatian yang lebih besar juga. Dia pun butuh mengembangkan diri melalui usahanya.”
Dan, dia kelihatan lebih kurus daripada sebelum aku ke Boston, gumam Kencana dalam hati.
Antara keinginannya sendiri dan kepentingan anak-anak. Dua-duanya setimbang.
"Aku...," Kencana menghindari tatapan Owen. "Karierku sekarang dan anak-anak... sama beratnya untukku."
Owen mengembuskan napas cukup keras. Terlihat agak sulit menyembunyikan kekesalannya.
"Anak-anak?" desisnya. "Anak-anak itu masih punya orang tua, masih punya keluarga, Can. Kenapa harus repot sekali kamu ikut memikirkannya?"
"Anak-anak?" desisnya. "Anak-anak itu masih punya orang tua, masih punya keluarga, Can. Kenapa harus repot sekali kamu ikut memikirkannya?"
Seketika Kencana kembali menatap Owen. Ada bara dalam sorot matanya.
"Wen, anak-anak itu hanya punya seorang papa sebagai orang tua mereka," sekuat tenaga Kencana berusaha menahan suaranya agar tidak menggelegar dalam ruang kafe itu. "Dan papa mereka saat ini sangat sibuk hingga kekurangan waktu buat mereka. Butuh bantuan. Sedangkan aku bisa memberikan bantuan itu secara profesional. Dengan imbalan, tentu saja. Cukup besar, bahkan. Salahnya di mana?"
"Ya, sudah," Owen menggeleng gusar. "Sudah jelas pilihanmu condong ke mana. Kenapa masih juga ragu? Putuskan saja. Habis perkara."
Kencana terhenyak. Owen terlihat tidak senang. Sama sekali tidak senang. Padahal ia berharap pemuda itu bisa memberinya pandangan lain yang mungkin saja terlewat dari pikirannya.
Padahal..., bahu Kencana turun seketika.
Salah satu alasan untuk berat meloncat ke perusahaan Paul adalah Owen. Kalau ia pindah kerja, itu artinya ia tak akan satu gedung lagi dengan Owen. Tak akan bisa lagi menyelaraskan waktu istirahat siang yang mereka punya untuk makan bersama.
Dan mungkin juga aku akan kehilangan Jumatan seperti ini kalau tidak satu gedung lagi, pikir Kencana, sangat sedih.
Ditatapnya Owen. Pemuda itu kembali sibuk dengan chicken pie yang masih tersisa setengah bagian. Dihabiskannya makanan itu tanpa menawari Kencana dengan manis untuk mencicipi seperti biasanya.
"Kenapa kamu harus marah, sih, Wen?" usik Kencana, tiba-tiba.
Owen nyaris tersedak karenanya. Ditatapnya Kencana.
"Ngapain aku marah?" bantah Owen. "Aku cuma merasa kamu sudah terlalu jauh masuk ke sana. Itu saja."
Kencana mengerjapkan mata. Benarkah ia sudah terlalu jauh? Sementara anak-anak itu bukanlah siapa-siapanya?
Tapi...
Kembali ditatapnya Owen. Sejenak ia menimbang-nimbang, hendak mengatakannya pada Owen ataukah tidak. Sampai akhirnya ia menggumamkan sesuatu. Dengan terbata-bata.
"Anak-anak... ingin aku... jadi mama mereka. Aku..."
Seketika, Owen hampir lupa mengatupkan bibirnya.
* * *
Dengan sorot mata kosong, Owen menatap sebentuk cincin emas putih bermata berlian dua karat di depannya. Cincin yang masih tersimpan utuh dalam sebuah wadah berwarna putih mutiara berbentuk hati berlapis kain beledu merah. Cincin yang dibelinya sekitar tiga minggu lalu saat ia pulang dari Surabaya. Cincin yang membuatnya gelap mata dan tak lagi berhitung berapa banyak uang tabungannya akan berkurang. Cincin untuk Kencana. Cincin yang bersama wadahnya hingga detik ini masih tergeletak di atas meja. Cincin bersama wadahnya yang beberapa menit lalu baru saja dikeluarkannya dari saku celana panjang.
Sedianya, cincin itu hendak disematkannya di salah satu jari Kencana sore ini tadi. Saat mereka menikmati momen Jumatan mereka. Beserta sebaris pertanyaan manis, apakah Kencana bersedia menjadi kekasih hati dan belahan jiwanya untuk selamanya? Tapi...
Owen mendesah panjang.
Semuanya meleset. Rencana yang sudah dipikirkan dan dirancangnya berhari-hari gagal total. Sebabnya sepele. Kencana mengemukakan maksud hatinya untuk 'meloncat' ke perusahaan Paul.
Sepele? Owen menggeleng gusar.
Baginya, itu adalah masalah besar. Secara kasat mata ia akan kehilangan Kencana. Diakui atau diingkari. Seutuhnya ia tak pernah keberatan Kencana mengembangkan diri dengan tekun bekerja, berprestasi, dan membangun karier hingga setinggi apa pun. Tapi menapakinya di perusahaan Paul?
Owen mendegut ludah. Naluri sudah meniupkan sebuah ketidaknyamanan di hatinya. Bagaimanapun ia tahu betul sejarah hubungan Kencana dengan keluarga Paul. Hubungan yang tampaknya hingga detik ini masih terjalin erat walaupun sudah tak ada hubungan istimewa lagi di antara Kencana dengan Denta.
Dan apa katanya tadi? Owen terhenyak. Anak-anak itu ingin Ican jadi mama mereka?
Anak-anak itu... Ia bukannya tak menyukai keduanya. Ia sering membantu Kencana dan pembina BIA lainnya. Di situ ia banyak berinteraksi dengan anak-anak dengan berbagai sifat dan tingkat keaktifan. Dan, ia harus angkat topi melihat betapa kooperatif, aktif, dan manisnya sepasang anak kembar itu dalam berbagai kegiatan yang melibatkan mereka. Pada titik itu, ia memahami seutuhnya bahwa jatuh hati pada sosok Rika dan Neri adalah hal yang tidak terlampau sulit.
Anak-anak itu... Ia bukannya tak menyukai keduanya. Ia sering membantu Kencana dan pembina BIA lainnya. Di situ ia banyak berinteraksi dengan anak-anak dengan berbagai sifat dan tingkat keaktifan. Dan, ia harus angkat topi melihat betapa kooperatif, aktif, dan manisnya sepasang anak kembar itu dalam berbagai kegiatan yang melibatkan mereka. Pada titik itu, ia memahami seutuhnya bahwa jatuh hati pada sosok Rika dan Neri adalah hal yang tidak terlampau sulit.
Dan Handaru?
Sebagai sesama laki-laki, Owen tak melihat adanya 'ancaman' bagi perempuan mana pun yang kelak menjadi pendamping hidup Handaru. Jelas Handaru bukan type laki-laki ringan tangan yang gemar menyiksa istri. Soal laki-laki itu punya sejarah pernikahan yang tak mengenakkan, itu perkara lain. Gosip yang didengarnya, istri Handaru sebelum meninggal ‘lari’ dengan laki-laki lain. Tanpa KDRT pernah sekali pun dilakukan Handaru.
Sikap laki-laki itu dilihatnya baik. Begitu juga sifatnya. Hal-hal yang memang sudah melekat dalam pribadi laki-laki itu, dan bukan pencitraan yang bersifat semu. Rivalnya atau bukan, Owen secara jantan harus mengakui bahwa Handaru adalah laki-laki yang baik. Titik. Tanpa embel-embel apa pun lagi. Tapi...
Kenapa harus Ican, sih?
Dalam hening, Owen mengerang dalam hati dan memejamkan mata. Sungguh, kali ini, untuk kesekian kalinya, ia menyesali diri sendiri. Ia menyesal kenapa tadi kurang bisa mengendalikan emosi dengan baik. Ia menyesali momen yang terbuang percuma karena ia kurang bisa berkepala dingin. Ia menyesal karena sudah berharap banyak. Bahkan mungkin terlalu banyak.
Beberapa detik kemudian ia kembali membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya masihlah sebentuk cincin bermata berlian itu. Cincin yang entah apakah jadi berlabuh di jari Kencana ataukah tidak. Dan, yang dipikirkannya saat ini adalah apakah momen yang seharusnya 'pas' seperti acara Jumatan mereka tadi akan terulang kembali hadirnya ataukah tidak.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar