Tiga Belas
Pada detik itu, Kencana mendapati bahwa kerinduan dan pelukan hangatnya pada anak-anak bukanlah hal yang artifisial. Seutuhnya pertemuan itu begitu menghangatkan hati. Apalagi ketika Rika berbisik di telinganya, "Aku kangeeen banget sama Tante." Dan, Kencana menjawabnya dengan pelukan yang lebih erat lagi.
Hari Jumat kemarin, ia sudah mendarat kembali di tanah air. Belum seutuhnya pulih dari jet lag, tapi Kencana memberi sugesti pada dirinya sendiri. Agar ia dapat mengalihkan perhatian pada hal-hal lain yang lebih menarik, bukannya menuruti keinginan untuk berbaring dan memejamkan mata.
Ketika ia menegakkan badan, ia menemukan tatapan Handaru. Baru ia menyadari bahwa masih ada sosok lain di samping anak-anak. Laki-laki itu mengulas senyum sambil mengulurkan tangan.
"Apa kabar, Can?" suara beratnya mengelus lembut telinga Kencana.
"Baik," gadis itu dengan halus menyambut jabat tangan Handaru. "Cuma bertiga? Ayah mana?"
"Ada di rumah," jawab Handaru. "Dua minggu lalu sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit karena gangguan pencernaan."
"Oh?" rasa khawatir menyergap Kencana. "Terus?"
"Sudah nggak apa-apa," Handaru menggeleng samar. "Om lagi masa pemulihan sekarang."
"Ya, nanti selesai BIA aku mampir ke sana."
Anggukan kepala Handaru tak lagi bisa dilihat Kencana, karena gadis itu sudah diseret si kembar untuk masuk ke gereja. Handaru mengikuti dari belakang. Tidak seperti biasanya, kali ini si kembar berhasil menahan Kencana untuk duduk di dekat mereka, tepat di belakang Ndari dan Jati.
Samar, Kencana menggelengkan kepala. Tidak ada Owen duduk di sebelahnya pada misa kali ini. Berselisih satu hari sebelum kepulangannya dari Boston, Owen harus ke Surabaya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Itu artinya keinginannya untuk bertemu Owen harus diulur hingga akhir minggu depan.
Anak itu kadang nyebelin, tapi ngangenin juga, Kencana meringis dalam hati.
Ketika genta kecil berbunyi, tanda misa akan segera dimulai, Kencana segera membersihkan hati dan pikirannya dari semua rasa yang berkecamuk di dada. Ia mengheningkan diri sejenak. Siap untuk menyambut kehadiran Tuhan dalam hatinya.
* * *
Stella menyambut kedatangan Kencana dengan pelukan hangatnya. Gadis itu pun membalasnya dengan tulus.
"Suster cuti? Berapa hari?" tanya Kencana setelah mereka usai berbasa-basi tentang kabar, cuaca, dan lain-lain.
"Baru tiga hari ini, Can," jawab Stella sambil menggandeng tangan Kencana. "Itu juga Kamis besok aku harus pamitan sama Ayah. Ada tugas ke Belanda. Berangkat Jumat. Empat hari lalu aku juga baru pulang dari Solo. Besoknya langsung ke sini."
Stella mengambil jeda sejenak di antara langkahnya. Kaki Kencana pun turut berhenti bergerak. Stella menatapnya.
"Aku mantap dengan panggilan jiwa dan pilihan hidupku," ujarnya lirih. "Hanya saja kadang-kadang aku masih mengkhawatirkan Ayah. Ya, benar, ada Daru. Dia juga bisa menemani Ayah dengan baik. Tapi, kan, dia juga punya kehidupan sendiri," Stella menggeleng samar. Sedetik kemudian ia tersenyum tipis. "Mudah sekali mengatakan bahwa Tuhan akan menjaga Ayah sementara kami semua, anak-anaknya, memenuhi panggilan Tuhan, tapi..."
"Suster...," dengan lembut Kencana menukas. "Aku yakin Tuhan sudah menjaga Ayah dengan caranya sendiri. Aku minta maaf karena jarang meluangkan waktu untuk menengok Ayah."
"Bukan salahmu, Can," Stella menggamit lengan Kencana. Mengajaknya melangkah kembali menuju ke teras belakang. "Sama sekali bukan salahmu."
"Besok-besok aku akan lebih sering meluangkan waktu untuk menengok Ayah," tegas Kencana.
"Jangan jadikan sebagai beban, ya, Can," ujar Stella lembut, penuh pengertian. "Kamu punya kehidupan sendiri."
"Nggak akan pernah jadi beban, Suster," senyum Kencana. "Percaya, deh!"
Stella tertawa kecil.
* * *
Ada sepotong hati yang serasa tercabik ketika Kencana mencium punggung tangan Paul. Sosok itu, walaupun menatapnya dengan mata dipenuhi binar, tampak jauh lebih kurus daripada ketika mereka terakhir bertemu pertengahan bulan lalu. Juga tampak jauh lebih tua dan letih.
Pelan-pelan Kencana duduk di sebelah Paul di sofa panjang itu. Digenggamnya kedua tangan Paul. Stella diam-diam meninggalkan mereka berdua.
"Maafkan Ican, Ayah," bisik Kencana, sedikit tercekat. "Ican kurang perhatian pada Ayah."
"Hei!" senyum Paul. "Nggak ada sedikit pun kesalahanmu, Can. Ayolah..."
Mata Kencana tampak mengaca saat menatap Paul. Dihelanya napas panjang. Lagi-lagi, kata 'seandainya' itu melintas di benaknya. Paul sepertinya memahami apa yang ada di kepala gadis itu. Dengan halus, ia membebaskan sebelah tangannya dari genggaman Kencana, lalu mengulurkannya dan membelai kepala Kencana. Beberapa detik kemudian, laki-laki sepuh itu menghela napas panjang dan mengalihkan tatapannya.
"Kadang-kadang, kita memang harus kehilangan sesuatu untuk mendapatkan hal lain yang lebih baik," gumam Paul, seolah bicara pada dirinya sendiri. "Sayangnya, tidak seketika itu juga kita bisa memahami. Selalu perlu waktu."
Kencana mengerjapkan mata ketika Paul kembali menatapnya.
"Can, boleh Ayah menyampaikan sesuatu?" begitu lirihnya suara Paul.
"Ya, Yah," angguk Kencana. "Katakan saja."
Paul terdiam sejenak. Tetap menatap Kencana. Tampak menimbang-nimbang. Pada akhirnya, di ujung helaan napasnya, laki-laki itu kembali bersuara.
"Can, seandainya Ayah memintamu untuk membantu Daru di perusahaan, bisakah?"
Seketika Kencana tercenung.
Dulu, dulu sekali, Denta sudah begitu jauh membicarakan soal itu dengannya. Bahwa suatu saat nanti, kelak bila mereka sudah menikah, Kencana diharapkan mendampinginya mengelola perusahaan yang sudah dibesarkan Paul dengan segala tenaga, keringat, dan air mata. Tentu saja Kencana bersedia.
Tapi sekarang? Kencana mengerjapkan mata.
"Maaf, Can, sepertinya permintaan Ayah berlebihan," gumam Paul, penuh sesal.
Kencana mengangkat wajah. Pelan-pelan didapatinya sesuatu. Bahwa sepertinya salah satu penyebab Paul sampai jatuh sakit adalah karena memikirkan hal ini.
"Apakah... Mas Daru kurang mampu, Yah?" bisiknya kemudian. Sangat berhati-hati.
"Oh, bukan...," Paul menukas lembut. "Sama sekali bukan. Dia sangat kompeten dan profesional, Can. Tak perlu diragukan lagi. Dia banyak menerapkan perubahan di perusahaan. Semuanya sangat positif dan membuat perusahaan jadi bergerak lebih maju lagi. Hanya saja, dia jadi kurang punya waktu untuk anak-anak. Apalagi sekarang sedang mempersiapkan usahanya sendiri di Cikarang. Jadi..."
Kencana kembali tercenung.
"Kamu ada pengalaman soal pengelolaan finansial perusahaan," lanjut Paul. "Ayah pikir... kamu bisa membantu menahkodai perusahaan sementara Daru fokus mengembangkan usahanya sendiri. Agar dia masih punya waktu untuk anak-anak. Berapa pun gaji yang kamu mau, Can."
"Mm...," Kencana kembali mengalihkan tatapan matanya pada Paul. Dihelanya napas panjang sebelum menanggapi dengan sangat halus. "Yah, untuk saat ini, Ican belum bisa menjawab permintaan Ayan. Ican perlu waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Karena buat Ican, ini hal yang sangat besar, menyangkut masa depan karier Ican. Gimana, Yah?"
"Ya, Can," tangan Paul kembali terulur. Membelai lembut kepala Kencana. "Just take your time. Ayah juga nggak mau kamu terlalu terburu mempertimbangkannya."
"Tapi Ayah janji, ya? Apa pun keputusan Ican, Ayah jangan sakit-sakit lagi."
Demi melihat tatapan memohon dalam mata Kencana, Paul segera meraih dan menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Apa pun yang telah terjadi, tak pernah mengubah perasaan Paul terhadap Kencana. Bahwa gadis itu adalah putrinya juga. Dengan atau tanpa menyandang status sebagai istri Denta.
* * *
Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar