Kamis, 14 Desember 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #30 (Tamat)







Sebelumnya



* * *


Tiga Puluh


Sisi menguap untuk kesekian kalinya. Sander tertawa melihatnya.

“Sudah, bobok saja,” ucapnya. “Ayo, kuantar ke kamar.”

Tapi Sisi menggeleng. Sander mengerutkan kening.

Hanya tinggal mereka berdua di ruang tengah. Prisca dan Erlanda sudah hampir dua jam yang lalu berpamitan untuk tidur. Mereka sempat mengobrol berempat hingga menjelang pukul dua dini hari.

“Tanggung, sudah mau pagi,” ujar Sisi.

Sander tertawa.

Semua yang dijumpainya sepulang dari Los Angeles seolah mimpi. Tidak sekadar mimpi, tapi mimpi yang menjadi nyata.

Sisi... Ya, Tuhan... Sisi...

“Ya, sudah, kamu rebahan saja.”

Sisi menurut. Ia merebahkan dirinya di sofa. Berbaring miring. Meletakkan kepalanya di sandaran tangan. Matanya tak putus menatap Sander. Laki-laki itu tersenyum.

“Kamu benar-benar kangen padaku, ya?” senyumnya berubah jadi tawa.

“Ish!” Sisi melengos dengan wajah tersipu. “Padahal sendirinya yang kangen berat.”

“Memang,” Sander jujur mengakui. Nyengir dengan wajah polos.

Sisi ikut tertawa. Jelas tak ada lagi perasaan lain yang bersemayam di hatinya kecuali bahagia, bahagia, dan bahagia.

Lalu mereka saling menatap. Ada banyak cerita yang sudah terungkap. Bagaimana rentang waktu tiga minggu sudah berhasil mengubah nasib mereka. Terkadang masih sulit bagi keduanya untuk mempercayai. Tapi, mimpi itu sudah menjadi nyata. Sisi mengerjapkan mata.

“Mm... Ayo, sekarang ceritakan tentang training-mu di sana, Mas,” ucapnya kemudian.

Dengan antusias, Sander pun mendongengi Sisi. Tapi suaranya berangsur melirih, seiring dengan kelopak mata Sisi yang kian mengatup. Baru sampai ke kalimat kelima, Sisi kelihatannya sudah terlelap. Meringkuk di sofa. Sander tersenyum melihat wajah Sisi yang begitu suci seperti boneka malaikat terbuat dari porselen.

Pelan-pelan Sander beranjak ke kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah bantal dan dua helai selimut. Dengan hati-hati, diselimutinya Sisi. Lalu, ia sendiri membaringkan tubuhnya di atas karpet, tepat di depan sofa tempat Sisi terlelap.

Selamat tidur, Si... Semoga sebentar lagi hati kita bertemu di alam mimpi...

* * *

Prisca

Kokok ayam bekisar dari halaman belakang tiba-tiba saja membangunkan aku. Sejenak aku mengerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih menggantung di kelopak mataku. Kulirik jendela. Tampaknya pagi sudah merekah di luar sana. Kualihkan tatapanku ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul setengah delapan pagi. Aku menguap. Rasanya kantuk ini masih benar-benar menjeratku. Bahkan Erlanda masih terlelap di sampingku.

Erlanda dan aku tidur larut semalam. Bahkan ketika bulan purnama sudah menggelincir ke langit Barat. Sepulang dari bandara, kami berempat asyik mengobrol. Sander, Erlanda, aku, dan... Sisi. Ah, Sisi!

Aku sudah jatuh cinta pada gadis serupa boneka itu saat pertama kali melihatnya. Dan makin jatuh cinta saat mendapat kesempatan untuk melewatkan waktu bersamanya sepanjang siang, dua hari yang lalu.



Sisi kembali lagi ke ruang tamu. Kali ini penampilannya terlihat jauh lebih cantik dan rapi. Dan aku tak perlu menunggu terlalu lama untuk itu. Ia berdandan cukup kilat. Aku sungguh-sungguh lega Mbak Lauren mengizinkanku untuk membawa Sisi menikmati makan siang di luar. Sambil mengobrol, tentunya. Saling mengenal lebih dekat.

“Sebentar, Si, Tante pesan taksi online dulu,” ucapku saat langkah kami sudah mencapai teras. Jujur, keluar rumah tanpa Erlanda atau Sander, aku lebih memilih untuk menggunakan jasa ojek atau taksi online karena aku masih buta peta Jakarta.

“Mm... Pakai mobil saya saja, Tante,” ucapnya lirih, terdengar ragu-ragu. “Mau?”

“Oh?” aku menoleh cepat. “Nggak merepotkanmu?”

Ia buru-buru menggeleng. Lalu ia menggandeng tanganku, menuju ke garasi. Dan tak lama kemudian, ia sudah mengendarai mobil mungilnya, dengan aku berada di samping kirinya, melaju di jalan raya.

“Tante, kita mau ke mana?” tanyanya halus.

“Mm... Tahu Kedai Kopi Om James di Tebet?” aku balik bertanya.

Ia mengangguk.

“Kita ke sana, ya? Atau... terlalu jauh?”

“Oh, enggak,” sahutnya cepat. “Saya suka suasana di sana. Makanan dan minumannya juga enak-enak. Mm... Tapi... saya rakus, lho, Tan,” tawa kecil memungkasi ucapannya.

Seketika aku tertawa. Senang sekali rasanya ia sudah bersedia mengakrabkan dirinya seperti ini.

“Rakus sama Mama sendiri ini, nggak apa-apa,” sahutku.

Sejenak hening dalam kabin mobil. Mungkin ia kaget mendengar ucapanku. Aku kemudian menoleh.

“Si...,” gumamku.

“Ya?” ia menoleh sekilas, kemudian kembali serius dengan kemudinya.

“Mulai sekarang panggil Mama saja, ya? Jangan Tante.”

“Ya,” angguknya.

Dan, suasana nyaman Kedai Kopi Om James membuat kami lebih santai lagi. Aku menyukai keterbukaan Sisi. Ia banyak bercerita tentang kehidupannya. Sesekali kutimpali dengan menceritakan masa kecil Sander, juga tentang Erlanda.

Pada suatu detik, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Sander pulang besok. Pesawatnya mendarat sekitar tengah malam. Kamu mau ikut Papa dan Mama menjemputnya? Nanti Mama mintakan ijin pada orang tuamu.”

Ia tak langsung mengangguk walaupun aku tahu ada keinginan yang begitu besar tergambar dalam matanya. Kelihatannya ia perlu waktu untuk berpikir. Tapi pada akhirnya ia mengangguk. Membuatku ingin menenggelamkannya dalam pelukanku.



Gerakan halus di sampingku membuatku tersentak. Aku menoleh. Mendapati Erlanda sudah berubah posisi dari telentang menjadi miring ke arahku. Kelihatannya masih terlelap. Sejenak, kutatap wajahnya.

Impianku untuk menua bersamanya sepertinya akan tercapai. Ia setia pada pernikahan ini. Mungkin sebagian kecil hatinya sudah telanjur hilang, menyangkut pada Mbak Lauren. Tapi aku tahu hatinya sebagian besar untukku dan Sander. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Lagipula sudah lewat masanya. Sekarang adalah masanya anak-anak. Sander dan Sisi.

Pelan aku beranjak dari ranjang. Hm... Di mana kedua anak itu? Jangan sampai mereka melakukan hal yang ‘tidak-tidak’ saat Erlanda dan aku tidur tadi!

* * *

Erlanda

Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa dingin. Sekejap aku membuka mata. Ternyata aku sendirian di atas ranjang. Prisca, entah di mana dia. Mataku menyipit ketika menyadari bahwa hari di balik jendela dan tirai kamar sudah sedemikian terangnya. Sambil menguap, kutatap jam dinding. Hah? Sudah hampir pukul delapan.

Kuregangkan tubuhku. Terasa lebih nyaman sekarang. Prisca belum mematikan pendingin ruangan, maka kutarik lagi selimutku.

Hm... Sander-ku sudah pulang. Utuh, sehat, selamat. Lebih kurus daripada tiga minggu lalu saat ia berangkat, tapi aku tahu ia baik-baik saja. Apalagi setelah bertemu Sisi.

Ah, gadis itu... Benar-benar bintang indah yang mampu menerangi kehidupan putra tunggalku. Jujur, aku mengagumi kebesaran hati Himawan dan Lauren yang sudah mengizinkan putri tunggal mereka ikut kami untuk menjemput Sander di bandara, sekaligus menginap di rumah kami karena pesawat Sander baru mendarat menjelang tengah malam.

Sempat kujumpai penolakan dalam mata Lauren ketika Prisca mengutarakan keinginannya itu. Tapi Himawan berhasil menghapus penolakan itu. Aku sendiri sempat takjub ketika Prisca meneleponku menjelang sore hari, dua hari lalu. Memintaku menjemputnya di rumah Lauren. Ia baru saja menghabiskan siang harinya bersama Sisi. Hah! Seharusnya aku menyadari bahwa Prisca memang penuh sentuhan keajaiban.

Lauren... Pada awalnya aku ketakutan bila harus bertemu dengannya lagi. Apakah aku akan jatuh cinta lagi padanya? Hm... Aku tidak jatuh cinta lagi padanya. Aku memang masih mencintainya. Seumur hidupku. Tapi aku juga mencintai Prisca. Dengan kadar yang jauh lebih besar. Karena pada akhirnya aku mengenal hatiku sendiri, dan menyadari bahwa memang Prisca-lah sebenar-benarnya belahan jiwaku.

Aku menguap dan beringsut. Kubuka tirai dan jendela, kemudian kumatikan pendingin ruangan. Setelah menuntaskan ‘kebutuhan’ di kamar mandi, aku pun keluar dari kamar. Berusaha menemukan di mana Prisca saat ini.

Dan, ia kudapati tengah berdiri terpaku di ruang tengah. Tatapannya jatuh ke satu titik. Sofa. Aku mendekat, dan segera tahu apa yang membuatnya hampir tak bisa berkedip. Sisi meringkuk di sofa dalam balutan selimut yang biasa dipakai Sander kalau menginap di sini. Terlihat begitu nyaman. Wajahnya tampak begitu suci seperti bayi. Mengingatkanku pada bayanganku tentang seorang gadis kecil yang kupikir bakal hadir dalam kehidupanku bersama Prisca. Sander sendiri sama seperti Sisi. Meringkuk di bawah selimut, terlihat nyaman di atas karpet tebal, di depan sofa yang ditempati Sisi.

Prisca rupanya menyadari kehadiranku. Ia menoleh. Menatapku sambil tersenyum.

“Sekarang, kita punya sepasang anak,” bisiknya dengan mata berbinar.

Aku tidak tahan untuk tidak memeluknya. Ia benar. Semuanya nyaris lengkap kumiliki. Seorang Prisca yang penuh kasih, sepasang Michael Sander dan Proxima Centauri yang pernah kuimpikan, dan... kenangan cintaku bersama seorang Laurentia Wuryandani.

Hal yang terakhir ini, biarlah kusimpan untuk diriku sendiri.

* * *

Laurentia

Untuk kesekian kalinya, terpaksa harus kubiarkan Mas Himawan mengambil keputusan. Ia mengizinkan Sisi ikut Erlanda dan Prisca menjemput Sander di bandara, sekaligus menginap di rumah mereka. Prisca sudah berjanji padaku untuk menjaga Sisi baik-baik. Sungguh, aku percaya padanya. Aku sudah melihat ketulusan dalam matanya. Bahkan, aku sama sekali tak keberatan berbagi Sisi dengannya. Harusnya, kubuang jauh-jauh kekhawatiran itu.

Tapi sejujurnya, aku sudah lelah dengan kehidupanku belakangan ini. Roller coaster yang kutumpangi baru saja melalui titik tertinggi. Letaknya tepat pada pertemuan kembali dengan Erlanda. Dan selanjutnya, siap menghempaskanku ke titik entah.

Aku pernah membencinya. Sedemikian rupa. Sekaligus mencintainya. Sedemikian dalam. Hingga ketika Mas Himawan masuk ke dalam kehidupanku, aku masih juga tak kuasa untuk mencabut dan membersihkan akar cinta itu dari hatiku. Aku hanya bisa menggali di sisi lain, dan menancapkan cinta terhadap Mas Himawan di sana. Membiarkannya mengakar dengan sendirinya, entah sedalam apa. Membiarkannya menjaga kehidupanku, entah dengan cara bagaimana.

Saat ini, kehidupan memang memiliki jalannya sendiri-sendiri. Aku percaya Tuhan mempertemukan Sisi dan Sander dengan maksud tertentu. Entah apakah karena mereka memang sudah jodoh, ataukah ada tujuan lain. Yang jelas, aku memang harus mulai dari nol lagi.

Bertemu kembali dengan Erlanda, bertatap muka dengannya, mendengar lagi suaranya, sesungguhnya cukup membuatku porak-poranda. Aku seolah dilemparkan kembali ke titik awal di mana aku berusaha untuk mengingkari rasa cinta itu terhadapnya. Selamanya aku sendirian. Berterus terang pada Mas Himawan? Aku sudah tahu jawabannya. “Hadapi!” Maka, aku harus diam. Seolah aku baik-baik saja.

Dan, aku tak keberatan harus mulai lagi dari titik nol dan tak bisa meraba apakah aku akan berhasil ataukah tetap gagal. Asalkan Sisi dan Mas Himawan bahagia. Asalkan bintang dan matahariku tetap memancarkan sinarnya.

* * *

Himawan

Terkadang, membiarkan Lauren tetap menyimpan rahasia dalam relung-relung hatinya adalah cara yang terbaik untuk mempertahankan pernikahan ini. Aku tak bisa memaksa Lauren untuk seutuhnya memberikan cintanya padaku. Aku cuma ‘pendatang kemudian’ yang bernasib baik karena bisa menikahinya. Masih untung bagiku, ia teguh memegang komitmen untuk menjalani pernikahan yang baik. Pernikahan yang menyenangkan. Sebesar apa usahanya untuk memenuhi komitmen itu, aku sangat tahu. Itulah yang membuat cintaku makin mengakar padanya.

Erlanda... Sejak awal aku tahu risiko yang harus kuhadapi setelah ia dan Lauren dipaksa untuk bertemu kembali dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan di antara mereka. Jauh di kedalaman mata Lauren, aku masih mendapati ia menyimpan kerlip itu. Sesamar apa pun. Kerlip yang bukan untukku.

Tak apa. Aku yakin Lauren tak akan mempertaruhkan pernikahan ini hanya demi sisa romantisme masa lalu. Lauren tidaklah sekekanakan itu. Ia perempuan paling logis dan realistis yang pernah kukenal.

Sekarang dan seterusnya adalah masa bagi Sisi dan Sander. Aku percaya Lauren sungguh-sungguh menyadari hal itu. Yang bisa kulakukan saat ini adalah menyiapkan diri. Untuk kehilangan Sisi, dan kembali menopang Lauren, beserta semua relung rahasia tersembunyi dalam hatinya.

* * *

Danny

Seandainya tidak lagi punya gengsi dan rasa malu, ingin aku menangis sekeras-kerasnya. Pesan pendek Sisi kemarin sore sudah berhasil memporak-porandakan hidupku. Dia berbahagia, dan aku hancur. Masih kuingat setiap kata yang terpampang di layar ponselku.

‘Dan, makasih atas semuanya. Berkat lu, gue jadi kenal Mas Sander. Sekarang semua yang menyangkut masa lalu Bunda dan papa Mas Sander sudah selesai. Sudah beres.
Mas Sander pulang dari Amrik ‘tar malem. Gue mau ikutan jemput di bandara. Gue kemarin sudah ngobrol banyak sama mama Mas Sander. Beliau merestui hubungan kami. Bunda juga gitu. Lu bilang gue kalau lagi longgar yak? ‘Tar kita kumpul semua biar resmi nambah satu lagi bandit di grup kita. Tinggal nunggu lu nambahin satu bidadari lagi, hihihi... Cap cusss!’

Ada dua pilihan di depan. Tenggelam dan tetap berharap suatu saat Sisi bisa jadi milikku, atau tetap tegak dan memelihara persahabatan dengannya entah bagaimana caranya.

Pilihan pertama, that’s not me! Pilihan kedua... rasa-rasanya aku harus belajar dari sekarang. Maka, kuraih ponselku untuk membalas pesan Sisi.

Sorry, Si, kemarin gue sibuk banget sampai nggak sempat balesin WA lu. Wuiiih! Ada yang lagi bahagia bener rupanya. Kudunya ada traktiran besar khusus buat gue nih! Gue tunggu kabarnya yak! Gue seneng banget lihat lu ending-nya happy kayak sekarang. Pertahanin, Si. Inget, kalau ada apa-apa, gue dan the bandits selalu ada buat lu.’

Send.

Selesai. Mau apa lagi sekarang? Aku mengangkat bahu. Yang bisa kulakukan adalah kembali menyibukkan diri. Hospital, I’m coming...

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :
- Terima kasih kepada semua teman yang sudah bersedia membantu penulisan cerbung ini. Sayangnya, pada nggak mau disebut namanya, hehehe...
- Blog FiksiLizz libur dulu sampai tahun berganti. Syukur-syukur kalau lagi mood nanti bakal menayangkan cerpen. Tapi nggak janji ya...
- Sudah terjadwal penayangan cerbung baru mulai tanggal 8 Januari 2018, banner-nya ada di bawah sana.
- Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua komentator yang komentarnya belum terbalas (penyakit ini sih...).
- Terima kasih. Selamat menyambut Natal bagi yang merayakan, dan selamat menyambut datangnya tahun baru bagi semua...






4 komentar:

  1. kereen mbak...
    tetap di tunggu cerita-ceritanya...

    #your_silent_reader... :)

    BalasHapus
  2. Akhirnya happy end ����
    Tapi koq nunggu cerbung selanjutnya lama sekali ya, setahun ��
    Btw biar saktaun tak tunggu dgn sabar... Sukses buat mba lizz, met natal 2017 n met tahun baru 2018

    BalasHapus
  3. Pas moco judule mbiyen tak kiro kisahe tentang sisi ro konco2ne jebule mleset.. Tebakane salah haha

    BalasHapus
  4. Kayaknya cerbung selanjutnya tentang si danny nih...

    cariin yang ganteng, eh... cantik lho yaaaaa...
    ga boleh kalah cantik dari sisi !!!

    BalasHapus