Senin, 11 Desember 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #29








Sebelumnya



* * *


Dua Puluh Sembilan


Sisi...

Sander mendesah dalam hati sembari menatap layar tabletnya.

Kerinduan itu makin pepat. Kerinduan yang sesekali terpaksa dipenjarakannya di sudut hati selama ia menyibukkan diri mengikuti training. Sesekali pula ia membuka Instagram atau Whatsapp, gatal hendak mengirimkan sepotong tanya ‘apa kabar?’. Tapi semuanya nihil dihajar kenyataan bahwa bisa jadi sapaannya akan lebih menimbulkan rasa rindu yang lain. Rindu untuk berpanjang kata dengan gadis itu.

Maka, ia hanya bisa memuaskan diri untuk menatap foto-foto yang pernah diunggah Sisi di akun Instagram gadis itu. Ketika menyadari bahwa apa yang dilakukannya membuat ia makin merindukan Sisi, ia menghentikannya dengan rasa sakit hati yang luar biasa.

Sisi tidak baik-baik saja. Ia tahu hal itu dari pantulan raut wajah Sisi. Ada beberapa unggahan foto saat gadis itu sedang bersama kelima sahabatnya. Sisi memang tersenyum, tapi bukan senyum yang ‘biasanya’.

Apakah kamu juga menanggung rasa sakit yang sama? Ia mengerang dalam hati. Maafkan aku, Si. Maafkan aku...

Pintu kamar mandi yang terbuka dan tertutup kembali menyentakkan kesadaran Sander. Ia menatap sekilas. Wajah Raymond, rekan kerja sekaligus rekan sekamarnya selama menjalani training, tampak segar.

“Sudah selesai packing, San?” tanya Raymond sambil duduk bersila di atas ranjangnya.

Sander mengangguk. Malam ini adalah malam terakhir mereka di Los Angeles. Besok pagi, mereka akan kembali ke tanah air.

“Lu mau ikut anak-anak dugem?” tanya Raymond lagi.

“Enggak, Mas,” Sander menggeleng. “Gue mau tidur. Biar cepet besok.”

Raymond tertawa mendengar jawaban Sander.

“Oke,” Raymond merebahkan diri di ranjang tunggalnya. “Sama kalau gitu.”

Sander tersenyum.

* * *

“Jadi... boleh, Mbak?”

Lauren mengerjapkan mata sebelum gaung pertanyaan tamunya itu lenyap. Ditatapnya Sisi yang wajahnya masih terlihat linglung. Gadis itu balik menatapnya.

“Gimana?” senyum Lauren, terlihat begitu menenangkan.

Sisi sedikit tersentak. Ditatapnya Lauren dan tamu bundanya bergantian. Menimbang-nimbang. Pada ujungnya, tatapannya berlabuh di wajah sang bunda.

“Sebetulnya... aku banyak pekerjaan hari ini,” jawabnya, setengah menggumam. “Tapi... masih bisa aku tinggal, sih.”

“Nah!” senyum Lauren melebar.

Beberapa menit kemudian, Lauren menutup pintu depan. Tamunya sudah pergi. Membawa sejenak putrinya agar mereka saling mengenal dengan lebih baik. Lauren memejamkan mata sejenak. Berharap kali ini keputusannya tidak salah.

Selang beberapa menit, ia sudah duduk kembali di depan meja kerjanya. Diraihnya ponsel.

“Halo... Ya, Bun?”

“Yah... Mm... Sisi pergi sebentar. Sama Jeng Prisca.”

“Heh? Gimana ceritanya?”

Lauren mengulum senyum sebelum menjawab.

* * *

Lauren mengerutkan kening.

Mau apa lagi dia?

Tapi ia beranjak juga dari duduknya. Tamunya harus ditemui. Apa pun maksudnya.

Ia memaksa diri tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan. Perempuan itu menyambutnya dengan senyum juga.

“Apa kabar, Jeng?” sapanya.

“Baik, Mbak. Semoga saya tidak mengganggu Mbak Lauren.”

Lauren menyilakannya duduk kembali. Mereka bertatapan.

“Maaf, Mbak, saya datang tanpa pemberitahuan,” ucap Prisca, tamu itu, dengan wajah menyesal. “Saya hanya... merasa perlu bertemu dengan Mbak. Soal anak-anak. Semalam, kita tak ada kesempatan untuk bicara berdua. Jadi...”

“Oh... Ya, tidak apa-apa,” Lauren mengangguk sedikit. “Jadi, bagaimana?”

“Mm...,” Prisca terlihat ragu-ragu. “Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih pada Mbak, karena sudah bersedia untuk bertemu dan bicara dengan Erlanda.”

“Ya, sama-sama,” Lauren mengangguk lagi.

“Yang kedua,” lanjut Prisca dengan wajah terlihat lebih lega, “terima kasih karena Mbak sudah menyadarkan Erlanda, bahwa masa lalu hanya tinggal jadi masa lalu. Yang terpenting adalah masa kini dan masa depan. Masanya anak-anak.”

Untuk kesekian kalinya Lauren mengangguk.

“Yang ketiga..., saya minta maaf karena sudah pernah berlaku tidak sepantasnya terhadap Sisi,” wajah Prisca tampak diiputi penyesalan. “Seharusnya...”

“Saya juga,” potong Lauren tiba-tiba. “Sander pernah ke sini, dan saya tidak memperlakukan dia dengan layak. Maafkan saya...”

“Jadi... satu sama.”

Tawa Prisca seketika mencairkan kebekuan itu. Lauren ikut tertawa bersamanya. Sekat yang begitu tinggi pada akhirnya runtuh begitu saja. Keduanya saling menatap. Dan, begitu saja saling bercerita tentang banyak hal. Tentang keluarga. Tentang anak-anak.

“Saya sungguh-sungguh menyukai Sisi,” ucap Prisca pada suatu detik dengan mata berbinar. “Saya berharap, Mbak bersedia untuk berbagi Sisi dengan saya. Sander memang belakangan ini tidak pernah lagi bercerita apa-apa. Tapi saya tahu perasaannya. Dia mencintai Sisi. Sangat.”

“Kenapa tidak tanya langsung saja pada Sisi?” Lauren menanggapi dengan antusias.

Sebelum Prisca menanggapi ucapannya, Lauren sudah berdiri dan segera meninggalkan ruang tamu untuk memanggil anak gadis kesayangannya.

* * *

Sander menatap langit menjelang siang di luar jendela pesawat Boeing 777 milik Singapore Airlines yang ia tumpangi. Mereka baru saja lima belas menit mengudara meninggalkan Los Angeles International Airport. Tadi saat melangkah memasuki pesawat, sekilas ia menatap keriangan di wajah keempat rekannya dengan perasaan teraduk.

Pulang.

Sepotong kata yang seharusnya berselimut kegembiraan karena mereka akan pulang ke tanah air. Akan bertemu lagi dengan keluarga yang sudah ditinggalkan tiga minggu lamanya. Akan menggenapi rindu yang sudah membuncah di hati.

Tapi...

Seketika dadanya terasa nyeri. Yang membuat hatinya mengerang adalah unggahan terakhir Sisi di Instagram. Foto sebatang kaktus berbentuk menarik dengan catatan yang menyiratkan harapan baru. ‘Selalu ada yang pergi dan yang akan datang di hati. Seperti koleksi kaktus-kaktus ini. Welcome to my life, Big Guy! Semoga kali ini dirimu yang terbaik untukku.’

Dihelanya napas panjang.

Jadi begini rasanya punya harapan yang terpaksa harus dipupus?

Catatan di bawah foto kaktus itu sungguh-sungguh menyiratkan harapan baru bagi Sisi.

Semudah itukah, Si?

Ia mengerjapkan mata. Mendapati hatinya mendadak terasa kosong luar biasa.

* * *

Narita menjelang siang pada tanggal yang sudah bertambah satu bilangan. Makin dekat. Sander menghela napas panjang ketika pesawat mengudara lagi menuju Singapura.

Lalu semua akan kembali seperti biasa.

Apartemen – kantor – apartemen – kantor...

Sesekali setor muka ke Mama-Papa... Atau dugem? Halah...

Sander menggeleng samar.

“Lu ada yang jemput nanti, San?” tanya Surya yang duduk di sebelahnya. “Kalau enggak, lu nebeng gue aja. Rumah gue, kan, lewatin apartemen lu.”

“Kemarin, sih, bokap gue bilang mau jemput,” Sander menoleh sekilas.

“Oh...”

* * *

Lewat tengah malam WIB, beriringan dengan rekan-rekannya, Sander mendorong troli berisi barang bawaannya. Ia hening di tengah celoteh riang rekan-rekannya. Dari semua akhir perjalanannya dinas ke luar negeri, detik inlah yang terasa paling kosong dan sepi.

Kenapa dahsyat sekali pengaruh Sisi dalam hidupku?

Sejenak Sander tersentak.

Sisi lagi!

Ia menggeleng samar. Masih ada kedua orang tua yang pantas untuk dirindukan. Dan kedua orang itu pula yang kemudian menyambutnya dengan senyum.

Prisca memeluk dan menciuminya penuh kerinduan. Erlanda berdiri, menunggu gilirannya dengan sabar. Dan ketika ia memeluk laki-laki itu, tatapannya yang jatuh melampaui bahu sang papa seketika terkunci.

Benarkah?

Ia mengerjapkan mata. Bayangan yang jatuh di matanya itu tak berubah. Itu Sisi. Sisi-nya! Gadis itu berdiri di sana. Lima meter di belakang Erlanda. Ada seulas senyum tersungging di bibir.

Sander buru-buru melepaskan pelukannya. Bergegas ia melangkah. Dalam sekejap saja ia sudah sampai di depan Sisi, yang masih berdiri diam dalam senyumnya.

“Si...,” bisiknya.

“Apa kabar, Mas?”

Sejenak ia terbuai oleh kelembutan suara Sisi.

“Si, kamu...”

“Ya,” gadis itu mengangguk. Seolah tahu apa yang dipikirkan Sander. “Aku ikut menjemputmu.”

Sander terpana.

“Mas baik-baik saja?” kelembutan itu menerpa telinganya lagi. “Sehat?”

Sander hanya sanggup mengangguk.

“Rindu padaku?” senyum cantik itu melebar.

Sander menjawabnya dengan dekapan hangat yang seolah tak akan pernah terlepaskan lagi. Masih banyak tanya yang bermain dalam benaknya.

Itu soal nanti...

Ia mengeratkan pelukannya, yang dibalas Sisi dengan kehangatan yang sama.

* * *

Thanks to Lie Susanto...

Selanjutnya (episode terakhir)

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



5 komentar:

  1. Dari pagi bolak-balik tak tengokin gk muncul2... Akhirnya menjelang bobo, muncul jg... God job mba lizz

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... (Sok) sibuk seharian kemarin, Mbak. Makasih mampirnya ya... 😘

      Hapus
  2. Huaaaa... akhirnya... ikut terharu 😢

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puk puk puuuk... *sodorin bakwan jagung 😁*
      Makasih singgahnya, Mbak... 😘

      Hapus
  3. Ouch !
    Endinge episod ini garai melted bin terkiwir".
    Te o pe cene pean mb Lis !
    Gemes aq !

    BalasHapus