Senin, 04 September 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #1









Satu


Mobil boks berisi seribu terrarium mini itu sudah meluncur pergi. Sisi menghela napas lega. Setidaknya satu lagi pekerjaannya sudah beres pada pukul sepuluh pagi ini. Tapi ketika ingat bahwa masih ada antrean pesanan lain di belakang punggungnya, ia tahu bahwa ia tidak lagi bisa bersantai.

Begitu ia memajang gambar koleksi kaktus dan terrarium dalam berbagai kemasan menarik di laman Instagram hampir dua tahun lalu, pesanan mulai berdatangan. Pada awalnya hanya sekadar eceran atau partai kecil untuk hadiah, cendera mata acara ulang tahun ataupun acara kantor, dan sejenisnya, hingga akhirnya merambat ke pesanan partai besar untuk cendera mata pernikahan maupun berbagai event. Bahkan pernah pula sebuah stasiun televisi swasta memesan ratusan terrarium mini untuk cendera mata bagi para undangan sebuah acara talk show dengan topik lingkungan hidup.

Sudah tidak ada lagi acara bersantai. Sisi beranjak ke bagian belakang paviliun tempatnya memulai usaha. Di sana, tiga orang pegawai tengah mensterilkan ratusan botol kaca berbentuk silinder berdiameter tujuh sentimeter setinggi dua belas sentimeter untuk cendera mata yang harus mereka garap berikutnya. Akhir-akhir ini, entah kenapa terrarium mini seolah menjadi trend cendera mata pernikahan. Aneka kaktus pun masih cukup laku, tapi terrarium mini lebih booming.

Sisi mencolek bahu salah seorang pegawainya, Dio. Pemuda itu menoleh.

“Tolong, isi dulu lima puluh paket. Nanti bawa ke mejaku,” ucap Sisi dengan artikulasi jelas sekaligus membuat isyarat sederhana dengan tangannya.

Dio mengangguk mengerti. Pemuda tuna rungu-wicara itu kemudian mulai memenuhi permintaan Sisi untuk mengisi lima puluh botol kaca dengan dasar terrarium berupa lapisan kerikil mini dan humus serapi-rapinya.

“Mbak, saya suruh Oggy untuk siapkan sukulennya, ya?” celetuk Martha.

Sisi mengangguk sekaligus mengucapkan terima kasih. Martha memutar kursi rodanya, kemudian mencolek Oggy yang berdiri tak jauh, memunggunginya. Sisi melangkah ke arah meja besar di sudut. Tak lama sesudah ia duduk, Oggy datang  membawa sebuah dos besar berisi aneka sukulen untuk mengisi terrarium mini.

“Terima kasih,” senyum Sisi, kembali dengan artikulasi jelas. “Yang sudah diselesaikan Dio, tolong kamu bawa ke sini, ya?”

Oggy mengangguk dan berbalik. Tak ada hitungan menit, pemuda berkebutuhan khusus sama seperti Dio itu kembali lagi dengan membawa nampan plastik berisi lima belas botol kaca yang sudah siap diisi sukulen. Segera saja Sisi dan Oggy sibuk menangani botol-botol itu. Sisi yang menata sukulen, Oggy yang menambahkan pasir zeolith dan batu hias.

Ketika pekerjaannya selesai, Dio membawa sisa botol yang sudah diisinya dan bergabung membantu Sisi dan Oggy. Dengan telaten dibersihkannya dinding botol dan helai-helai sukulen yang sedikit tertempeli pasir zeolith.

“Sekalian dikasih air, Mbak Si?” tanya Martha, mendekati meja besar itu dengan kursi rodanya.

“Iya, Mbak Mar,” Sisi menoleh sekilas. “Suruh Dio saja ambil air, Mbak Mar siapkan kemasannya.”

“Siap, Mbak.”

Kesibukan itu berlanjut hingga tiba saatnya istirahat makan siang. Lauren muncul dan menepukkan tangannya.

“Ayo, istirahat dulu, makan dulu!” serunya.

Sisi menoleh, menatap ibunya. “Menunya apa hari ini, Bun?”

“Asem-asem daging, perkedel kentang, tahu walik, sambal, krupuk udang,” Lauren mengedipkan sebelah mata sambil menyebutkan sederet menu kesukaan putri tunggalnya.

Senyum Sisi merekah. Hati Lauren meleleh ketika melihat cahaya bintang dalam wajah gadis berusia dua puluh empat tahun itu. Cahaya yang membuatnya jatuh cinta sejak pertama kali berusaha menghafalkan wajah bayi Sisi supaya tidak tertukar dengan bayi lainnya. Sebuah kilasan peristiwa yang membuatnya selalu susah untuk menahan tawa.

Setelah menjadi seorang ibu, ia merasa bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hal yang tolol. Tapi sebelumnya, ia selalu merasa bahwa semua wajah bayi adalah sama. Sehingga ia sempat takut akan salah mengenali bayi cantik yang baru saja dilahirkannya. Dan ia merasa lebih tolol lagi karena empat bayi lain yang lahir dalam periode yang bersamaan dengan Sisi semuanya laki-laki.

Gerakan di depan matanya membuat Lauren terlepas dari lamunan yang sempat mendekapnya sekejap. Dilihatnya keempat orang yang baru saja disuruhnya istirahat dan makan kini sudah beranjak dari kesibukan masing-masing. Lauren kemudian mendahului langkah mereka menuju ke ruang makan di sebelah dapur rumah utama. Ruang makan khusus Sisi dan para pegawainya pada siang hari.

* * *

Sore menghening dalam ruangan itu. Lauren masih sibuk menghadapi layar laptopnya di meja tulis kecil di dekat jendela, melanjutkan proses editing sebuah novel yang menjadi pekerjaannya. Sedangkan Sisi duduk menghadap meja tulis besar milik Himawan yang terletak di seberang meja Lauren, juga sibuk dengan laptopnya. Ada beberapa DM di akun Instagramnya yang memerlukan respons. Keduanya sama-sama mengangkat wajah ketika mendengar bunyi klakson ringan di luar sana, diikuti dengan suara pintu garasi yang terbuka.

“Tumben Ayah jam segini sudah pulang?” gumam Sisi sambil berdiri.

Lauren tersenyum simpul. Dengan ringan ia menggelengkan kepala sambil sekilas menatap langit yang masih terang di luar jendela. Baru lewat sedikit dari pukul lima sore.

“Kamu ini...,” ujarnya dengan nada menggerutu. “Ayahnya pulang bukannya disambut, malah ditumben-tumbenkan.”

Sisi terkekeh. Keduanya kemudian keluar beriringan dari ruang kerja itu. Keletihan yang menggantung di wajah Himawan seketika terurai melihat senyum yang diulas Lauren dan Sisi. Dihadiahinya Lauren sebuah kecupan di pipi, dan Sisi di kening.

“Tumben sudah pulang, Yah?” sambut Lauren.

Seketika Sisi tergelak. Himawan menatapnya heran.

“Bunda, tuh, ya,” ujar Sisi dengan masih diselimuti tawa, “tadi aku bilang ‘tumben’, ditegur. Sendirinya juga bilang begitu.”

Lauren pun ikut tergelak. Himawan tersenyum lebar sambil merengkuh bahu Lauren.

“Habisnya, biasanya kalau belum jam enam belum sampai rumah,” tangkis Lauren.

“Iya, aku memang ‘tengbur’ ini tadi,” Himawan menanggapi. “Makanya jam segini sudah nongol.”

“Ha! Kebetulan!” mata Sisi tampak berbinar-binar. “Bunda ada temannya di rumah sore ini. Soalnya aku mau keluar.”

Himawan duduk di sofa ruang tengah. Melepas sepatu. Sisi duduk di dekatnya.

“Mau ke mana?” sekilas Himawan menatap anak gadisnya.

“Biasa... Keluar sama geng,” Sisi nyengir.

Himawan tersenyum. “Jangan pulang terlalu malam,” pesannya kemudian.

“Iyaaa...,” Sisi beranjak.

Ketika hendak masuk ke kamar, ia berpapasan dengan Lauren yang membawa semug teh hijau hangat.

“Kamu jadi pergi?” tanya Lauren.

“Iya,” angguk Sisi. “Nih, mau ganti baju.”

Lauren mengangguk. Sepeninggal Sisi, Lauren duduk di sebelah Himawan yang duduk bersandar di sofa dengan sikap santai. Keduanya kemudian bertukar obrolan hangat tentang pengalaman seharian ini tadi.

Belasan menit kemudian, terdengar bel menggema lembut. Miatun bergegas melangkah dari arah belakang untuk membuka pintu. Tak butuh waktu lama bagi segerombolan pemuda untuk menyerbu masuk. Kelima pemuda dengan berbagai macam gaya penampilan dan postur tubuh itu kemudian menyalami tuan dan nyonya rumah. Himawan dan Lauren pun menyambut mereka dengan hangat dan ramah.

Dion, Danny, Reza, Jonggi, dan Marco bukan orang lain lagi bagi Himawan dan Lauren. Kelimanya adalah sahabat Sisi sejak TK. Ada yang kemudian masih satu SD, bertemu lagi pada satu SMP yang lain, bergabung dengan yang lainnya lagi saat SMA, dan tetap ada yang satu kampus saat kuliah. Tapi kendati sempat berpencar posisi, keenamnya masih tetap memelihara persahabatan dengan sangat baik. Tak peduli hanya Sisi satu-satunya perempuan dalam ‘geng’ itu.

“Mau ke mana, memangnya?” senyum Himawan.

“Biasa, Yah...,” jawab Danny. “Mau kongkow saja di mana gitu. Sudah lama nggak kumpul bareng.”

“Hm...,” Himawan manggut-manggut.

“Titip Sisi, ya?” sambung Lauren.

“Jangan khawatir, Bun,” Jonggi mengedipkan sebelah mata. “Rugi banget kami kalau Sisi sampai kenapa-napa.”

“Iya, nggak bakalan lagi ada yang jadi rujukan soal cewek cem-ceman,” sahut Sisi yang tiba-tiba saja muncul.

Kelima pemuda itu mengumandangkan tawa mereka. Himawan dan Lauren tersenyum lebar. Memang tak ada yang perlu dikhawatirkan saat melepas Sisi bersama kelima pemuda itu. Semuanya pemuda baik-baik. Selalu menjaga Sisi dan memperlakukannya dengan baik pula, seperti yang sudah berlaku selama belasan tahun ini. Bahkan mereka pun ikut Sisi memanggil ‘ayah’ dan ‘bunda’ terhadap Himawan dan Lauren.

Sejenak kemudian keenamnya berpamitan. Jonggi membuka pintu kiri depan mini MPV Marco sebelum duduk di jok tengah bersama yang lain.

“Siap?” Marco menatap ke belakang melalui spion tengah.

Begitu ada sahutan kompak dari arah belakang, pemuda itu menghidupkan mesin mobilnya dan meluncurkannya pergi. Sisi membungkuk sedikit untuk menyetel radio.

“Usaha lu lancar, Si?” usik Marco.

“He eh,” Sisi mengangguk ringan.

“Sisi kelihatannya aja jadi pengangguran di rumah,” sahut Danny, “tapi duit ngalir terus.”

“Pengangguran terselubung,” timpal Jonggi. “Sama kayak Reza.”

“Pengacara,” Reza tertawa. “Pengangguran banyak acara.”

Semua tertawa.

Di antara keenam sahabat itu, Sisi dan Reza memang memilih untuk membuka usaha sendiri. Sesekali Sisi membantu ayahnya mengerjakan proyek rancang bangun sesuai dengan gelarnya sebagai seorang sarjana arsitektur. Sesekali membantu ibunya juga sekaligus belajar untuk menjadi seorang editor.

Reza sudah memulai usahanya sejak awal kuliah. Dari menerima pesanan desain unik dan printing kaos dari teman-teman kuliah, hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah perusahaan desain grafis dengan klien bertebaran di mana-mana. Marco sudah diplot untuk menjadi pengganti ayahnya memimpin sebuah perusahaan retail besar. Danny masih harus menyelesaikan tahap co-ass sebelum sah menjadi seorang dokter. Dion sedang meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 dan tampaknya serius untuk meraih impiannya menjadi seorang dosen. Sedangkan Jonggi sudah bekerja sebagai staf kreatif di sebuah stasiun televisi swasta selepas menyelesaikan D3-nya, dan saat ini tengah melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti program S1 ekstension.

“Ini jadi ke Tebet, kita?” celetuk Marco.

“Hajaaarrr...,” jawab Dion.

“Pakai duit kas, kan?” Reza nyengir.

“Gimana, Bu Bendahara?” Marco melirik sekilas, tersenyum lebar.

“Masih aman...,” Sisi menepuk sling bag-nya. “Asal jangan lupa iuran lagi.”

“Bereeesss!” terdengar sahutan kompak dari arah belakang.

Beberapa puluh menit kemudian Marco membelokkan mobilnya masuk ke area parkir sebuah kedai kopi di daerah Tebet. Kedai itu belum lama dibuka, tapi peminatnya sudah mengalir deras. Nasi uduk beserta lauknya di sana juara. Khas masakan rumahan yang seolah belum tersentuh kapitalisme. Belum lagi aneka kue basah yang bisa melaparkan mata dan menggoyangkan lidah. Dan yang lebih menarik adalah kopi yang dihadirkan di sana. Lengkap aneka jenis dari seluruh Indonesia. Karena kedai itu berafiliasi dengan sebuah perusahaan ekspor kopi terkemuka Coffee Storage, yang terletak tepat di seberangnya.

Marco segera menggiring rombongan berisik itu ke lantai atas. Ada meja-meja besar di sana. Cocok untuk kongkow geng seperti mereka. Tak perlu waktu lama sebelum mereka asyik bercerita, membahas aneka topik, bercanda, sambil ngopi, dan menikmati aneka cemilan dan makanan.

Tanpa Sisi tahu ada tatapan dari arah sebuah sudut yang berkali-kali jatuh padanya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com

Catatan  : pre order novel "Eternal Forseti" melalui Penerbit Jentera Pustaka sudah dibuka lagi mulai hari ini (4 September 2017).
PO pertama melalui saya akan serentak dikirim ke pemesan pada hari ini.
PO kedua sudah ditutup tanggal 31 Agustus kemarin. Bagi yang sudah memesan tapi belum melakukan konfirmasi pembayaran, saya tunggu hingga tengah malam nanti.
PO ketiga melalui saya juga sudah terbuka kembali. Bagi yang masih berminat untuk memesan, silakan klik DI SINI untuk mengetahui caranya.
Terima kasih...




5 komentar:

  1. Penasaran, lanjutannya. Terimakasih untuk cerita manis ini. Nemenin lembur buat soal UTS. Salam hangat dari Jakarta, mbak Liz.

    BalasHapus
  2. Saya suka Bu Lizz.. kayanya habis ini bakal ngubek-ubek isi blog ini. Nyari yang sudah tamat juga. Hehe

    BalasHapus