Kamis, 07 September 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #2

* * *


Dua


Orang tuanya kembali ke Jakarta setelah ayahnya purna tugas di Surabaya, tentu saja Sander merasa senang. Walaupun tak lagi serumah karena ia sudah memiliki apartemen sendiri, tetap saja ada rasa ‘tidak lagi sendirian’.

Tapi...

Baru dua bulan, ayahnya sudah ‘gatal’ melihat sang putra tunggal masih saja betah menjomlo pada usia nyaris di ujung angka 20-an. Maka laki-laki berusia 60 tahun itu kasak-kusuk dengan rekan sesama konsultan lepas yang kebetulan memiliki anak gadis yang sudah ‘siap panen’ dan sedang menjomlo pula.

Jadi di sinilah aku sekarang...

Sander mendesah pasrah. Para orang tua yang ngebet punya menantu dan cucu itu memutuskan untuk ngobrol santai di sebuah kedai kopi di kawasan Tebet. Dengan membawa ‘buntut’ masing-masing, tentunya.

Percuma ia berkilah ‘masih ingin sendiri’, ‘masih ingin membangun karier’, dan berbagai kalimat ngeles lain yang sejenis. Ayahnya tetap kukuh ingin memperkenalkannya dengan anak gadis seorang teman. Tentu saja ibunya mendukung keinginan itu, karena memang dalam hal yang satu ini, pendapat keduanya sama dan sebangun.

Bukannya ia tak pernah mencoba menjalin hubungan dengan lawan jenis, tapi semuanya – empat kali – berakhir hambar. Ia belum juga mendapatkan seorang perempuan yang pas di hati. Padahal keinginannya tak pernah muluk-muluk. Mendapat gadis cantik dan cerdas adalah bonus. Yang ia butuhkan adalah seseorang yang ‘pas’ untuk melengkapi puzzle sebelah jiwanya yang belum lengkap. Itu adalah masalah rasa. Dan ITU yang belum ia temukan.

“Sana, ngobrol berdua dulu, “ ucap Prisca, ibu Sander, dengan sangat halus.

Sander menghela napas tak kentara. Ditatapnya gadis cantik yang duduk di seberangnya itu.

“Yuk!” ucapnya sambil berdiri.

Anindya menuruti ajakan Sander. Keduanya kemudian menyisih ke sebuah sudut yang masih menyisakan meja dan kursi untuk berdua. Setelah duduk dan diliputi keheningan selama beberapa lama, akhirnya Anindya buka suara.

“Jujur, ya, aku sebetulnya nggak suka cara seperti ini,” ujarnya dengan nada datar.

“Sama,” Sander menanggapinya pendek saja.

Keduanya bertatapan, dan segera menemukan bahwa mereka sama-sama terjebak pada situasi serupa. Bahwa pada saat ini, mereka sama-sama tidak ingin mengecewakan orang tua yang sudah berusaha. Pada detik yang sama, keduanya mengulas senyum. Seketika suasana menjadi cair.

“Oke, ceritakan tentang dirimu,” Anindya mengerjapkan mata. “Itu juga kalau kamu bersedia.”

“Setelah itu dirimu?” Sander mengangkat alis.

Deal!” angguk Anindya.

“Hm...,” Sander memulai. “Aku anak tunggal, tinggal terpisah dengan ortu, bekerja di sebuah perusahaan asing sebagai staf IT, sekarang sedang meneruskan kuliah lagi di jenjang S2 saat akhir minggu. Jadi, jujur, fokusku saat ini belum ke arah sana,” Sander membuat isyarat tanda kutip dengan jemarinya.

Anindya manggut-manggut.

“Aku--,” gadis itu memulai, “—anak kedua dari tiga bersaudara. Punya satu abang, sudah menikah, dan satu adik perempuan. Saat ini masih tinggal sama ortu, sudah sekian tahun kerja sebagai staf sebuah bank asing. Aku diuber-uber untuk segera punya pasangan karena adikku sudah serius dengan pacarnya sejak SMA, bermaksud untuk bertunangan, dan...,” Anindya mengangkat bahu, “... di sinilah aku sekarang.”

Sander menatap gadis itu tanpa ekspresi. Anindya buru-buru melanjutkan sedikit penjelasannya.

“Padahal aku sudah ikhlas seribu persen kalau memang harus dilangkahi adikku,” ia mengerjapkan mata. “Lagipula aku memang masih senang sendiri seperti sekarang.”

Sander mengangguk. Paham seutuhnya apa yang ada di kepala Anindya tentang sebuah status single.

Kalau memang ‘belum minat’, mau diapakan?

Gadis itu, Anindya, bukannya gadis yang tidak menarik. Sosoknya tinggi ramping dengan kulit terang terawat. Secara keseluruhan terlihat cukup modis dengan rambut bermodel bob pendek dicat coklat keemasan dengan highlight berwarna pirang. Cara bicaranya pun runtut, mencerminkan kecerdasan dan kepercayaan dirinya.

Seandainya perkenalan ini diawali dengan sesuatu yang tanpa beban, sepertinya akan jauh lebih menyenangkan.

Sander menghela napas panjang. Sejenak ia mengalihkan tatapan. Tapi yang tertangkap oleh matanya justru tatapan Prisca. Ada senyum dan harapan tergambar nyata di sana. Maka laki-laki itu buru-buru mengembalikan arah tatapan pada gadis cantik di depannya.

Now what?” gumamnya kemudian, bernada putus asa.

“Aku nggak tahu,” suara Anindya terdengar jujur.

“Aku nggak bisa memaksamu untuk begitu saja menuruti kemauan orang tua kita,” Sander menggeleng. “Tapi jujur, aku suka berteman. Dan aku merasa kamu teman yang menyenangkan.”

Anindya mengulas senyum. Jujur pula, ia merasakan hal yang sama.

Idem,” ujarnya. “Kupikir juga, nggak ada salahnya kita berteman. Perkara kita nanti akan ke mana, itu soal belakangan.”

“Setuju,” angguk Sander.

* * *

Erlanda menyeruput kopinya dengan nikmat. Dengan ekor matanya, ia bisa melihat bahwa Sander dan Anindya mulai terlibat dalam percakapan yang disertai senyum dan sesekali tawa.

“Semoga mereka cocok, ya, Er?” rupanya Edwin melihat hal yang sama.

“Amin...,” senyum Erlanda.

“Supaya kalau Mia harus melangkahi Nindya, aku nggak terlalu khawatir lagi karena sudah ada calon,” lanjut Edwin.

“Memangnya kapan rencananya, Mas?” tanya Prisca.

“Mia sudah dari awal tahun ini bilang, kekasihnya sudah siap untuk melamar. Ya, memang sudah sama-sama bekerja. Jarak usia Nindya dan Mia, kan, memang cuma satu setengah tahun. Mia sudah pacaran sejak SMA. Awet, sama-sama serius. Sedangkan Nindya memang lebih tak perduli soal begituan. Lebih serius ke urusan kuliah dan karier. Jadi, ya...,” Edwin mengangkat bahu. “Tampaknya aku dan mamanya--,” laki-laki itu sekilas menatap Rima, istrinya, “—memang harus turun tangan.”

Erlanda manggut-manggut.

“Kalau Sander memang aku tahu pernah beberapa kali pacaran,” ujarnya. “Tapi cuma satu yang pernah dibawanya ke rumah. Yang terakhir. Kelihatannya cukup serius. Hanya saja terbentur masalah beda keyakinan. Setelah pikir-pikir lagi, mereka putuskan untuk berpisah. Setelah itu Sander kosongan sampai sekarang.”

Ganti Edwin yang manggut-manggut.

“Tapi semua terserah anak-anak, lho, Mas, Jeng,” celetuk Rima. “Kita hanya bisa kasih jalan. Selanjutnya biar anak-anak yang memutuskan, karena mereka sendiri yang akan menjalaninya.”

“Betul, Jeng,” angguk Prisca. “Sudah nggak jamannya lagi memaksakan kehendak pada anak. Mereka bersedia untuk bertemu seperti ini saja, kita sudah seharusnya bersyukur.”

“Benar, Jeng,” senyum Rima.

Keasyikan mereka mengobrol sedikit terusik ketika serombongan anak muda muncul dan duduk mengelilingi meja sebelah mereka yang memang masih kosong. Pada jeda itu, tanpa sengaja tatapan Erlanda jatuh ke arah rombongan lima orang pemuda dan seorang pemudi yang cukup berisik itu. Terutama pada sosok satu-satunya gadis di sana.

Seketika ia ternganga.

* * *

Sejak pertama tatapannya jatuh pada sosok gadis itu, Sander merasa bahwa waktu seolah melaju dalam gerak lambat. Gadis itu awalnya tersembunyi di antara lima tubuh laki-laki muda yang bergerombol menyerbu sebuah meja. Hingga akhirnya gadis itu seolah turun dari langit, lengkap dengan sorot cahaya terang dan halo yang melingkar di atas kepala, dan hinggap pada sebuah kursi yang kebetulan menghadap ke arahnya.

Gadis itu terlihat begitu bening. Sander kesulitan untuk menemukan kata yang tepat. Kulitnya begitu putih dan bersih, dengan mata lebar di bawah naungan bulu mata yang sangat lentik, dan bibir mungil berwarna merah muda yang menggemaskan. Terlihat seperti boneka porselen. Indah, sekaligus rapuh. Sebuah boneka porselen yang dijaga oleh lima orang bodyguard.

“Hm... Ternyata seleramu seperti itu, ya?”

Suara rendah itu seketika memadamkan sinar yang menyoroti si boneka porselen. Sander sedikit tersentak. Dialihkannya tatapan ke arah Anindya. Wajah gadis itu terlihat biasa-biasa saja. Tanpa kesan mencela.

“Aku belum pernah melihat gadis seperti itu,” gumam Sander kemudian.

“Seperti apa?”

“Seperti boneka porselen,” Sander menatap si boneka porselen itu lagi.

“Oh...,” senyum Anindya. “Kukira memang seleramu seperti itu.”

Sander menggeleng sambil mengembalikan arah tatapannya pada Anindya. Keduanya berbincang lagi. Sesekali tatapan Sander jatuh pada si boneka porselen. Membuat Anindya tersenyum lebar pada akhirnya.

“Kamu benar-benar mau berkenalan dengannya, eh?” usik Anindya tiba-tiba.

Sander menyipitkan mata. Ditatapnya Anindya dengan curiga. Gadis itu justru tertawa ringan.

“Coba nanti kutanyakan pada adikku,” lanjut Anindya. “Kalau nggak salah ingat, salah seorang cowok di sana itu adik pacar adikku. Tenang saja, nanti aku carikan informasi.”

Sander sedikit ternganga.

“Serius?” gumamnya.

“Serius,” Anindya mengangguk. “Asal dengan satu syarat.”

Just tell me!” suara Sander terdengar bernafsu.

“Kalau sekiranya ada temanmu yang bisa cocok denganku, tolong, berbaik hatilah untuk mengenalkannya padaku.”

“Wooo...,” senyum segera merekah di  bibir Sander. “Sekarang katakan padaku, laki-laki seperti apa yang menarik hatimu.”

Pembicaraan itu kembali menghangat, dengan tatapan Sander tetap sesekali jatuh pada si boneka perselen. Tanpa malu-malu, Anindya memaparkan keinginannya. Sesuatu yang wajar di mata Sander. Perempuan berkualitas seperti Anindya tentunya tak mau laki-laki sembarangan. Ia pun bukan laki-laki sembarangan, sebetulnya. Tapi kembali lagi ke masalah rasa.

Rasa-rasanya, ia dan Anindya bisa berteman baik. Hanya saja, sepertinya tidak akan bisa lebih.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com


Catatan :

PO III novel “Eternal Forseti” kembali dibuka hingga tanggal 11 September 2017. Caranya masih sama dengan yang di SINI. Pemesanan dan konfirmasi pembayaran ditunggu hingga 11 September 2017 pukul 23.59.
PO II sudah sampai ke meja Penerbit Jentera Pustaka.
PO I sudah meluncur ke para pemesan, bahkan sebagian sudah ada yang menerimanya.
Terima kasih...



3 komentar:

  1. eng ing eng.... kyknya tokoh tokoh yg ada pernah muncul di cerbung laen yo mbak? cewek porselen kayak apa ya?
    jaan, apik tenan iki.... lanjoottt mbak.

    BalasHapus
  2. Jadwal tayangnya 2xseminggu ya mbk hiks

    BalasHapus