Kamis, 27 April 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #2

Dua


“Saaasyaaa...”

Panggilan dalam suara lembut berirama itu menggelitik pendengaran Sasya. Tapi rasanya kelopak matanya masih lengket. Sulit sekali terbuka.

“Tante Sasya... Bangun, dong... Sudah hampir jam sepuluh, nih!”

Aroma wangi khas bayi menyelinap masuk ke hidung Sasya yang masih memejamkan mata dalam posisi tengkurap di atas ranjang. Sedetik kemudian terasa ada beban yang hinggap di punggung dan belakang kepalanya. Pun usikan di pipi yang berasal dari garukan jemari mungil yang membuatnya geli.

Sasya mengerang, “Aku masih ngantuuuk...”

Beban di punggungnya lenyap. Sasya membalikkan badan. Kali ini si beban langsung hinggap di dada. Ia memeluk benda hidup berbentuk bayi montok beraroma harum menyenangkan itu. Diciuminya hingga bayi perempuan berusia tujuh bulan itu terkekeh geli.

“Kamu ini, ya... Bisa aja bikin Tante bangun!” Sasya menekankan ujung hidungnya ke pipi bulat bayi itu.

Ibu si bayi tertawa sambil duduk di tepi ranjang. Ditatapnya Sasya.

Jetlag berat, ya?” tangan perempuan berusia 30 tahun itu terulur, mengusap kening Sasya.

Sasya memeluk baby Alta yang terngkurap dengan sangat nyaman di dadanya. Ditatapnya Kirana dengan sorot mata masih belum sepenuhnya ‘waras’. Kirana tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Alta. Seketika bayi itu menggeliat dan balas mengulurkan tangan.

“Eits! Enak aja!” Sasya berguling sambil terkekeh. Menjauhkan Alta dari tangan kakak iparnya. Tak dipedulikannya rengekan Alta. “Sudah bangunin Tante, sekarang Alta mau lepas tanggung jawab, mau kabur sama Mama? No way!

Kirana tergelak menatap keduanya. Alta mulai berteriak, tapi Sasya meng-uyel-uyel-nya lagi hingga bayi itu kembali terkekeh.

“Sasya sudah bangun?”

Seorang laki-laki tinggi besar melongok dari balik pintu kamar. Sasya mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia ‘masih hidup’. Laki-laki itu tersenyum lebar sambil melangkah masuk. Melihat sang ayah, Alta merengek lagi sambil mengulurkan tangan.

“Hadeeeh...,” gerutu Vin sambil meraih bayinya. “Ini anak cantik Papa, kok, jadi bau jigong gini, yaaa...”

Kirana kembali tergelak, sementara Sasya beringsut bangun dengan bibir mengerucut. Gadis itu menyelonong keluar untuk masuk ke kamar mandi di sebelah kamarnya. Merasa tanggung hanya cuci muka dan gosok gigi, ia sekalian mandi. Setelah selesai, dibukanya sedikit pintu kamar mandi. Dengan hati-hati dijulurkannya leher, melihat ke sekitar. Sepi. Buru-buru ia melilitkan handuk lebar menutupi tubuh telanjangnya, dan berlari masuk ke kamar.

* * *

Suasana ruang makan cukup meriah menjelang siang ini. Sasya menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Yuliani sambil mengucapkan salam selamat pagi, "Goedemorgen..."

“Wuidiiih... Anak perawan jam segini baru bangun,” ledek Era. "Untungnya sebelum jam 12 siang masih morgen, ya?"

Jetlag, Er, jetlag...,” sahut Vin dengan nada menyindir.

Tawa kedua laki-laki itu meledak, sementara si adik bungsu yang tengah di-bully memasang wajah lempeng sambil tangannya bergerak lincah mengambil jatah sarapan dan menikmatinya. Tidak peduli. Dan sebenarnya masih belum ‘sadar’ sepenuhnya.

Jetlag... Yuliani mengulum senyum.

Mereka berenam – Fritz, ia, Sasya, Vin, Kirana, dan Alta – memang baru semalam kembali ke rumah setelah berlibur selama dua minggu ke Belgia, tanah air Fritz. Sore nanti, Vin akan membawa keluarga kecilnya pulang ke Denpasar. Oleh karenanya, Fritz seolah tak mau dipisahkan dari cucu pertama yang baru satu-satunya itu. Sejak bangun tadi, laki-laki itu sibuk membuai Alta. Hanya terpisah sebentar saat Fritz mandi dan Alta diajak Kirana membangunkan Sasya.

Saat ini pun Fritz seolah tenggelam dalam dunianya sendiri bersama Alta. Duduk memangku Alta, mengajak Alta bercakap, dan mencandai bayi montok itu. Walaupun Alta belum bisa bicara, tapi respons berupa tawa terkekeh dan ocehan-ocehan lucunya sudah membuat hati Fritz mengembang dan meleleh sedemikian rupa.

Sejenak Yuliani seolah terbawa jauh ke masa lalu. Titik waktu hampir 21 tahun ke belakang. Saat Sasya seusia Alta kini. Si bungsu mereka itu hadir saat si sulung Asvin sudah berusia 11 tahun dan si kembar Varuna-Kuvera berusia 7 tahun. Saat harapan mereka untuk punya anak perempuan hampir pupus karena Yuliani sudah memasuki usia cukup beresiko untuk punya bayi lagi.

Tapi Tuhan ternyata bermurah hati pada mereka. Yuliani hamil lagi pada usia 35 tahun dan bayi mereka kemudian terlahir perempuan. Sarasvati. Melengkapi kebahagiaan mereka yang telah memiliki tiga orang anak laki-laki. Segera saja Sasya menjadi kesayangan Fritz. Sedikit ‘tersingkir’ ketika Alta lahir. Tapi Sasya menanggapinya dengan tawa. Alta terlalu imut untuk dijatuhi rasa iri karena harus berebut perhatian Fritz. Lagipula, usia Sasya sudah cukup ‘tua’ saat harus memiliki keponakan. Alta pun tinggal cukup jauh di Denpasar bersama Vin dan Kirana.

“Kamu balik ke Bandung kapan, Er?” celetuk Vin tiba-tiba.

“Nanti habis antar kalian ke bandara, aku langsung balik ke Bandung.”

Vin manggut-manggut.

“Oh, ya, ada tetangga baru di sebelah,” ujar Era. “Bapak, ibu, sama anak sepasang. Anaknya yang sulung sudah dewasa. Kayaknya sudah seumur aku. Yang bungsu masih remaja.”

“Sejak kapan?” Yuliani menatap Era.

“Akhir minggu lalu sudah beres pindahannya, Ma,” Era balas menatap Yuliani. “Aku sempat iseng mampir sebelum besoknya balik ke Bandung. Takutnya mereka ke sini, tapi nggak ada orang di rumah. Dan ternyata memang mereka bermaksud kelilingan besoknya itu. Aku juga sudah kasih tahu kalau ketua RT kita Om Riawan.”

“Oh...,” Yuliani manggut-manggut. Ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Fritz. “Kita sore nanti ke sana, Pa?”

“Kenapa tidak besok saja?” Fritz menoleh sekilas. Masih sibuk dengan Alta. “Nanti sore kita mau ke bandara, kan?”

“Oh, iya,” Yuliani menepuk keningnya. “Aku lupa.”

Era kemudian berpamitan untuk mengontrol resto mereka di Kemang. Baru Senin lusa Fritz akan aktif lagi di resto. Tapi sebelum benar-benar pergi meninggalkan ruang makan, Era mencium pipi bulat Alta, kemudian melambaikan tangan, yang dibalas oleh Alta dengan gaya sangat menggemaskan.

Kleine Sasya,” gumam Fritz sambil mengecup lembut kening Alta. Sasya kecil.

Vin tersenyum menatap ayah dan bayinya. Alta memang mirip sekali dengan Sasya pada usia yang sama dulu. Bibir mungilnya berwarna merah muda menggemaskan. Matanya bundar dengan iris berwarna coklat, dinaungi jajaran bulu mata yang panjang dan lentik. Hidungnya mencuat lucu, bangir. Pipinya mulus dan bulat. Rambutnya sewarna dengan iris matanya. Bedanya, rambut Sasya lurus seperti rambut Yuliani, sedangkan rambut Alta ikal seperti rambut Fritz. Alta masih terlihat memiliki garis wajah Eropa yang cukup kental walaupun tinggal seperempat darah saja. Ketika Vin berdiri dan mengulurkan tangan untuk meminta Alta, Fritz menepis halus tangan itu.

“Kamu nanti masih punya waktu yang panjang dengannya,” gerutu Fritz sambil beranjak pergi menggendong Alta.

Vin mencebik sambil menggelengkan kepala. Ketiga perempuan yang masih duduk di sekeliling meja segera terkikik melihat kejadian itu.

* * *

Sekembalinya dari mengantar Vin sekeluarga ke bandara, Yuliani segera meraih kantong kertas di atas console table di sebelah rak hias yang sudah disiapkannya sejak siang tadi. Ia menoleh ke arah Fritz yang tengah menyesap secangkir teh hijau buatan Marsih di ruang tengah.

“Pa, aku ke rumah Retno sebentar, mau antar oleh-oleh,” ucapnya.

Ja,” angguk Fritz. “Salamku, ya?”

“Oke!” Yuliani mengedipkan sebelah mata.

Perempuan itu kemudian melangkah keluar dan menyeberangi jalan di bawah langit yang sudah beberapa puluh menit menggelap sempurna. Di dalam rumah, Sasya yang baru saja berganti baju keluar dari kamarnya dan menghampiri sang ayah. Sambil duduk di sebelah Fritz, gadis itu meraih remote dan menghidupkan TV.

“Mama ke mana, Pa?” Sasya membungkuk untuk mengambil stoples berisi speculoos Jules Destrooper kesukaannya.

“Ke rumah tantemu,” Fritz mengulurkan tangan, meminta juga biskuit beraroma rempah itu.

“Wah, tahu begitu aku ikut,” gumam Sasya sambil mengunyah.

“Susul saja, belum lama, kok.”

Rumah Retno, adik Yuliani, memang hanya terletak di seberang jalan kompleks selebar kira-kira sepuluh meter. Tepat segaris lurus dengan rumah tetangga sebelah kiri.

“Hm... Nee. Besok saja aku ke sana. Sekarang mau jadi kleine Sasya saja,” Sasya merebahkan kepala ke lengan kekar Fritz.

Laki-laki itu tergelak. Direngkuhnya bahu si anak bungsu.

“Merasa tersisih selama ada Alta kah?” Fritz mengecup puncak kepala Sasya.

“Hahaha... Sedikiiit.”

Keduanya kemudian bercakap tentang banyak hal. Cukup serius. Terutama tentang rencana Sasya untuk mulai magang di EuropeSky, resto milik mereka. Juga keharusannya untuk bisa membagi waktu antara pekerjaan dan studi S2-nya yang akan dimulai beberapa minggu lagi.

Sasya tahu sebesar apa cinta ayahnya pada EuropeSky. Restoran yang dirintis Fritz dan Yuliani hampir 30 tahun lalu itu adalah sepertiga belahan jiwa Fritz. Laki-laki itu dengan berani mengundurkan diri dari jabatan mapannya sebagai chef kepala sebuah hotel bintang lima berjaringan internasional demi mewujudkan mimpi memiliki rumah makan sendiri. Dengan berani pula Yuliani menjual sekian belas hektar tanah kebun dan sawah warisan dari mendiang kedua orang tuanya untuk mewujudkan mimpi Fritz.

Dari rumah makan kecil dan sederhana yang khusus menyediakan masakan Eropa, EuropeSky berkembang menjadi besar dan terkenal. Konsistensi rasa dan berbagai variasi penyajian adalah kunci Fritz yang tidak boleh diutak-atik siapa pun. Dengan sabar laki-laki itu mendidik para chef yang dimilikinya untuk teguh memegang kunci itu. Pelanggan mereka terus bertambah, sehingga Fritz mengutus dua orang chef andalannya untuk merintis cabang di Denpasar pada tahun ke-20 usia EuropeSky Kemang-Jakarta.

Asvin yang sejak kecil sudah kelihatan memiliki minat yang sama dengan sang ayah mulai diarahkan untuk mendalami bidang itu. Delapan tahun yang lalu, setelah lulus sebagai chef dari Le Cordon Bleu Paris dengan prestasi gemilang, Vin mulai mengendalikan EuropeSky Denpasar. Si sulung itu kemudian membantu sang ayah untuk mulai merintis cabang di Surabaya, bersamaan dengan ekspansi Fritz ke Bandung. Fritz berani melakukannya karena melihat ketertarikan si kembar Varuna dan Kuvera pada bisnis kuliner mereka.

Sejak awal Runa dan Era memang tidak tertarik untuk menjadi chef seperti sang ayah dan si abang sulung. Tapi Fritz melihat bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk mengelola sebuah resto dengan nama besar seperti EuropeSky. Dan naluri Fritz terbukti benar. Didukung oleh para chef senior mereka yang sangat loyal, baik EuropeSky Bandung maupun Surabaya, yang sejak tiga tahun lalu masing-masing dikelola oleh Era dan Runa, menunjukkan hasil yang lebih dari cukup menggembirakan.

Fritz tak pernah memaksa keempat putra-putrinya untuk ikut terjun menangani EuropeSky. Tapi dengan tanpa malu-malu dan ragu-ragu, ia membiarkan Vin, Runa, Era, dan Sasya memahami bahwa EuropeSky adalah kehidupan mereka yang tak lagi bisa dipisahkan. Bahwa mereka bisa hidup layak karena adanya EuropeSky. Bahwa ada sekian banyak orang yang juga bisa hidup karena berdiri tegaknya EuropeSky. Hal itu membuat keempatnya mencintai EuropeSky sama seperti sang ayah.

Dan Fritz sudah merencanakan untuk beristirahat. Ingin menikmati buah perjuangannya bersama Yuliani. Ingin melihat EuropeSky hanya dari kejauhan saja. Tahun ini usianya sudah merangkak masuk ke angka 63. Ia berharap bisa pensiun tepat saat ulang tahun ke-65-nya. Melihat bagaimana minat, kemampuan, dan semangat si bungsu Sasya, tampaknya semua harapan itu akan terpenuhi.

“Papa! Sasya!”

Fritz dan Sasya berbarengan menoleh ke arah pintu penghubung ruang tengah dengan garasi. Yuliani bergegas menghampiri mereka.

“Aku tadi bertemu dengan bapak sebelah yang baru pindah itu di rumah Retno,” ucap Yuliani sambil menghempaskan tubuhnya di sebelah Fritz. “Dia lagi melaporkan secara resmi kepindahannya pada Riawan. Terus dia tanya, ‘boleh nggak sekalian ke sini buat kenalan?’. Aku bilang ‘monggo’, dan dia sekarang lagi panggil keluarganya.”

“Oh...,” Fritz manggut-manggut. Ia kemudian menoleh ke arah Sasya dan berucap lembut, "Ganti bajumu, schat.” Sayangku.

Sasya tersenyum. Segera melompat berdiri dan menghilang sejenak ke dalam kamarnya. Ia hanya mengganti celana gemes-nya dengan celana capri katun berwarna coklat gelap. Kaos oblong humor khas Bali berwarna putih yang dipakainya tetap dipertahankan karena terlihat masih cukup sopan untuk menyambut tamu.

Tepat ketika ia keluar dari kamar, bel pagar berbunyi. Dengan gesit, Marsih segera berlari keluar untuk membuka pintu pagar. Fritz, diikuti Yuliani dan Sasya, membuka pintu ruang tamu lebar-lebar. Bersiap untuk menyambut tamu mereka, yang ternyata datang berempat.

Dan pada satu titik waktu yang seolah tersimpul, Sasya terbengong melihat siapa salah satu anggota keluarga tetangga baru itu.

* * *


Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)


Thanks to Josephine Kartika Sari and Mbak Indriati See 😘

10 komentar:

  1. Pagi mbak lizz...

    Pagi2 sdh sarapan caramel...

    Lanjut... Mbak lizz

    BalasHapus
  2. Nama2 yg familiar...
    Aku ingat!
    Sasya, yg pernah jdi infal!!
    Gak sabar nunggu kelanjutannya mba...
    Mmmuaacchhh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Iya, Mbak Yenny. Makasih singgahnya. Salam kenal ya... 😘😘😘

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih banyak, Pak Subur... 😊😊😊

      Hapus
  4. Good morning to 😘

    Aku jd laper bayangin kuenya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuuuk makan, Sylla 😘😘😘

      Hapus