Senin, 24 April 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #1

Satu


Buuufff...

Sambil mengembuskan napas kuat-kuat, Ronan menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang di ruang tengah. Menjelang berakhirnya hari keempat, pekerjaan mereka tuntas sudah. Semua sudah rapi, tepat pada tempatnya. Lebih tepatnya lagi, persis seperti keinginan sang nyonya rumah. Dan saat ini perempuan itu tengah mondar-mandir dengan sehelai kertas dan bolpoin berada di kedua belah tangannya. Ronan menatapnya dengan lelah. Apalagi ketika kedua pasang mata mereka bertemu.

What’s next?
 
“Kamu mau makan apa, Ron?”

Laki-laki itu langsung menghela napas lega. Ternyata sang ibu hanya menawarinya untuk memilih menu makan malam, bukan menyuruhnya memindahkan perabot lagi.

“Apa sajalah, Ma,” jawabnya pasrah.

Sejenak kemudian Wanda sudah menempelkan ponsel ke telinganya dan mulai memesan ini-itu pada sebuah restoran cepat saji. Hal paling praktis yang bisa mereka lakukan selama empat hari ini di tengah kesibukan menata perabotan di rumah baru. Berseling dengan pesanan makanan melalui jasa Great Food Delivery, sebuah diversifikasi jasa ojek online Great-jek.

Baru saja Ronan hendak memejamkan mata, sebuah sentuhan dan goyangan di kakinya membuatnya terbelalak kembali. Ternyata Pradana yang mengusiknya. Ia menatap ayahnya itu dengan sorot mata bertanya.

“Mandi...,” ujar Pradana. “Sudah jam segini.”

“Iya...,” sahut Ronan.

Sekilas dilihatnya jam dinding yang tergantung di atas LED TV berukuran 50 inci di seberang sofa dan coffee table. Hampir pukul enam petang. Ia kemudian mengangkat punggungnya dari sofa dengan gerakan ogah-ogahan. Seluruh tubuhnya terasa penat. Kerja rodi selama empat hari membantu kedua orang tuanya pindah rumah cukup membuatnya merasa seperti habis digilas tank sepasukan musuh. Apalagi seminimalis apa pun selera ibunya, sang nyonya rumah, tetap saja banyaaak sekali perabot yang harus mereka atur ulang.

Sambil menguap, Ronan pun melangkah ke arah kamar mandi. Ia masih setengah linglung. Mencoba mengingat-ingat di mana ia meletakkan perlengkapan pribadinya.

Ah, ya! Di kamar Gaby!

Setelah mengingat itu, ia pun mengubah arah langkahnya ke kamar sang adik. Tapi baru saja membuka pintu dan setapak masuk, sebuah teriakan kencang menyambutnya. Membuat kantuk dan lelahnya lenyap seketika.

“AAARGH!!! Abaaang! Ketuk pintu dulu napa??? Aku belum pakai baju, niiih!!!”

Ups!

Sorry, By...”

Ronan nyengir sambil kembali menutup pintu. Dengan sabar ia menunggu di luar. Ia tersenyum ketika menyadari bahwa adiknya sudah bukan lagi bayi menggemaskan yang biasa ditimang-timangnya. Gaby kini sudah jadi remaja tanggung berusia lima belas tahun.

Gaby adalah hal paling indah yang pernah diperoleh Ronan. Setelah empat belas tahun lamanya puas menjadi anak tunggal, akhirnya ia memiliki seorang adik. Uniknya lagi, keduanya berbagi tanggal ulang tahun yang sama. Jadi ia selalu menganggap si adik adalah hadiah ulang tahun untuknya.

Pintu terbuka dan Gaby melangkah melewatinya dengan wajah masam. Ronan terkikik karenanya.

“Nggak ingat, apa? Dulu aku yang bersihin dan ganti popokmu tiap kali kamu pup-in,” ledek Ronan.

Gaby hanya melirik sadis dengan bibir mengerucut. Ronan terbahak sambil masuk ke dalam kamar adiknya. Ketika keluar lagi dan hendak masuk ke kamar mandi, didengarnya sebuah percakapan yang terasa menggelitik telinga.

“Ada apa, sih? Berisik banget, By?” tegur Wanda.

“Itu, Abang main selonong saja masuk ke kamarku,” jawab Gaby dengan nada mengadu. “Aku belum selesai pakai baju.”

“Hehehe...,” Pradana terkekeh. “Kamu ini kebiasaan nggak kunci pintu kamar, sih.”

“Ya, kan, aku lupa kalau Abang di sini. Lagian biasanya juga dia ketuk pintu dulu.”

Ronan mengulum senyum. Memang sudah hampir lima tahun ini ia menjadi ‘orang luar’ karena pindah tinggal di sebuah apartemen yang lebih dekat dengan kantornya. Hanya pulang ke rumah saat akhir minggu atau hari libur. Sekarang pun, saat keluarganya ‘terpaksa’ pindah, ia belum memperoleh kamar yang pasti di rumah satu lantai berkamar lima ini. Jadi sementara ia tidur di kamar Gaby. Sedangkan si pemilik kamar berlagak jadi bayi lagi dengan nyempil tidur di tengah ayah-ibunya.

Air yang dibiarkannya mengalir dari shower dan membasahi tubuhnya dari puncak kepala hingga ujung kaki sedikit demi sedikit meluruhkan rasa penatnya. Kesegaran mulai ia rasakan datang menggantikan keletihannya. Beberapa menit kemudian ia pun menyudahi acara mandinya.

* * *

Setelah memastikan makanan yang terhidang di island dapur tidak kurang untuk kedua orang ART mereka, Wanda kembali ke ruang makan. Ia mengerutkan kening ketika melihat ketiga orang tercintanya masih sibuk bercakap.

“Lho, belum mulai makan?” tegurnya.

“Tunggu Mama-lah...,” sahut Gaby, tersenyum manis. “Lagian belum berdoa.”

Perempuan berusia 53 tahun yang masih sangat gesit dan cantik itu pun tergelak ringan sambil mengusap kepala si bungsu. Ia kemudian duduk di sebelah Pradana, di seberang kedua putra-putrinya. Setelah Ronan memimpin doa, mereka kemudian mulai menyantap makanan yang terhidang di meja.

“Bang, Abang kapan balik ke apartemen?” tanya Gaby dengan nada jahil, sambil menggigit sepotong chicken drumstick.

Ronan segera menanggapinya dengan kedua telapak tangan tertangkup di dada. Wajahnya disetel se-‘terluka’ mungkin.

Ouch! Jadi begini rasanya habis manis sepah dibuang?” ratapnya lebay.

Tawa meriah segera pecah di sekeliling meja makan.

“Itu sebenarnya pertanyaan Papa,” ujar Wanda di ujung tawanya. “Papa sudah nggak kuat tidur bareng Gaby. Sudah tempatnya jadi sempit, Gaby kalau tidur hadeeeh... Gayanya macam-macam.”

“Memangnya dikira aku kuat apa, bobok sama Papa?” sungut Gaby dengan bibir maju sekian sentimeter. “Papa ngoroknya kenceng banget gitu.”

Meledak lagi tawa mereka. Obrolan beralih ke banyak hal lain lagi. Hingga tak terasa makanan yang cukup untuk enam sampai tujuh orang itu habis oleh mereka berempat.

“Besok pagi kita mulai kenalan sama tetangga,” ucap Pradana sambil meletakkan gelas air putihnya yang sudah kosong. “Mumpung akhir pekan. Paling tidak, yang sederetan dulu, dari ujung ke ujung. Sekalian Papa mau tanya di mana rumah ketua RT-nya.”

“Aku ikut?” tanya Ronan.

“Ya, iyalah...,” sergah Wanda. “Biar kamu kalau ke sini nggak dianggap sebagai penyusup.”

Si anak sulung meringis lucu. Wanda kemudian memanggil kedua ART mereka yang sudah selesai makan untuk membantunya membereskan meja makan. Setelah selesai, mereka berempat beriringan menuju ke teras depan untuk menikmati suasana malam di rumah baru dalam suasana yang betul-betul santai.

Pendar redup lampu taman menemani mereka mengobrol. Ditemani empat cangkir teh lemon dan satu stoples besar keripik singkong asin-manis. Teras seluas 5x3 meter persegi itu terasa lega karena hanya berisi seperangkat sofa dan sebuah coffee table, dengan jajaran pot berisi tanaman suplir koleksi Wanda di kedua tepinya. Tepi lainnya berbatasan langsung dengan carport berpayungkan atap fiber bening yang menghubungkan pintu pagar dengan garasi.

Rumah mereka sekarang berada di kompleks perumahan yang cukup elit. Pradana dan Wanda memutuskan untuk pindah karena ingin rumah lama mereka dipakai untuk perluasan panti asuhan yang didirikan oleh keduanya beserta dua pasang sahabat mereka. Saat ini panti sudah membutuhkan rumah terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Pradana dan Wanda memilih untuk menempati rumah baru yang lebih dekat dengan sekolah Gaby, apartemen Ronan, dan kantor Pradana. Kompleks yang sebetulnya ‘milik’ Pradana sendiri karena perusahaan propertinyalah yang membangun kompleks itu.

“Kayaknya aku nggak bakal punya teman di sini,” celetuk Gaby tiba-tiba.

Ketiga orang lainnya terdiam. Kompleks seelit itu, sepertinya menyimpan permasalahan sendiri. Di mana para penghuni kelihatannya jauh lebih individualistis daripada orang-orang di kompleks kelas menengah yang terpaksa mereka tinggalkan.

“Nanti kalau sudah masuk sekolah lagi, pulangnya kamu bisa tetap pulang ke rumah lama,” Wanda mengelus kepala putri bungsunya. “Kan, Mama tetap ngantor di sana. Kamu masih tetap bisa main sama sohib-sohibmu. Sorenya, baru kita pulang ke sini. Senyampang kamu sekarang masih libur, kalau kamu mau ikut Mama ke sana, ya, ikut saja.”

Gaby mengangguk. Menyembunyikan helaan napas panjangnya. Ia tengah belajar untuk berkorban sekarang. Berkorban untuk hal yang lebih baik. Ia masih punya rumah yang hangat dengan cinta orang tua yang lengkap, dan juga seorang abang yang penuh kasih dan perhatian.

Sementara anak-anak di panti? Hm...

Tek! Tek! Tek!

“Permisi...”

Keempatnya menegakkan punggung ketika melihat ada orang yang mengucap salam sambil mengetukkan gembok ke besi pagar. Ronan segera beranjak, berinisiatif untuk membuka pintu pagar.

“Selamat sore...”

“Iya, selamat sore,” Ronan menyambut sapaan itu dengan ramah sambil membuka lebar-lebar pintu pagar.

Seorang laki-laki sebaya dirinya segera mengulurkan tangan, mengajak berjabat.

“Maaf, mengganggu, Mas,” ucap laki-laki itu. “Saya Era, dari rumah sebelah,” ditunjuknya rumah di sebelah kiri. “Saya lihat beberapa hari ini ada kesibukan pindahan. Kebetulan saya lewat, lihat lagi pada santai. Saya pikir sekalian saya mampir untuk memperkenalkan diri. Tapi kalau mengganggu...”

“Oh, enggak, Mas Era,” senyum Ronan. “Sama sekali nggak mengganggu, kok. Iya, baru ini tadi semuanya beres. Ayo, masuk dulu, yuk!”

Ronan menggiring tamu itu masuk, kemudian memperkenalkannya pada keluarganya. Sejenak kemudian mereka sudah tenggelam dalam obrolan akrab. Dalam hati Wanda tersenyum. Setidaknya mereka punya seorang tetangga yang cukup ramah. Gaby menyelinap masuk untuk membuatkan tamu mereka secangkir teh.

“Sebetulnya besok kami mau kelilingan, Mas,” ucap Pradana. “Kenalan sama para tetangga. Mas Era sendirian tinggal di sebelah? Atau sudah berkeluarga?”

“Mm... Sebenarnya KTP saya sekarang sudah KTP Bandung, Om,” jawab Era. “Tiga hari ini saya diminta Papa untuk kontrol usaha kami di sini. Papa sama Mama lagi ke luar negeri. Besok pagi-pagi saya balik lagi ke Bandung. Kebetulan saya pegang cabang usaha di sana.”

“Oh...,” Pradana manggut-manggut. “Kalau boleh tahu, usahanya di bidang apa, Mas?”

“Kuliner, Om,” senyum Era.

“Wah, berarti Mas Era ini chef, ya?” Ronan menanggapi dengan nada antusias.

“Bukan, Mas,” Era tertawa. “Saya cuma mengawasi operasional saja. Yang asli chef itu Papa sama abang sulung saya. Tapi kami punya beberapa chef yang loyal dan handal. Makanya Papa memutuskan untuk buka cabang di beberapa kota.”

“Di mana saja, Mas?” Wanda nimbrung sambil tangannya sibuk menghidangkan secangkir teh yang baru saja dibawa keluar oleh Gaby. “Ayo, Mas, silakan diminum.”

“Wah, repot-repot saja,” wajah Era terlihat rikuh. “Terima kasih, Tante, Dik...”

“Enggak repot...,” senyum Wanda. “Jadi, di mana saja, Mas?

“Mm... Pusatnya di Jakarta sini, Tante,” Era kemudian melanjutkan jawabannya. “Di Kemang. Masih dipegang Papa, tapi mulai disiapkan untuk adik bungsu saya. Di Bandung ada, saya yang pegang. Di Denpasar dipegang abang sulung. Di Surabaya jatah saudara kembar saya.”

“Wuih, hebat, Mas!” Pradana mengacungkan jempol. “Saya saja kesulitan untuk merayunya menggantikan saya,” Pradana meringis menatap Ronan. Yang ditatap pura-pura tidak paham. Justru menengok ke arah lain. “Malah punya pilihan sendiri. Ya, sudahlah. Siapa tahu yang bungsu ini nanti mau,” Pradana merengkuh bahu Gaby yang duduk di sebelahnya.

Era tertawa ringan. Obrolan mereka masih panjang lagi hingga Era minta diri hampir setengah jam kemudian. Laki-laki itu berjanji untuk memberitahu kedua orang tuanya bahwa mereka kini punya tetangga baru. Keempatnya mengantar sang tetangga sampai ke pintu pagar.

“Hm... Kalau semua tetangga ramah kayak dia, bisa kerasan, nih, kita,” gumam Gaby setelah Era menghilang dari pandangan.

Pradana memeluk bahu Gaby sambil melangkah kembali ke teras. “Mungkin nggak semua. Tapi paling tidak, ada yang ramah.”

Gaby balas melingkarkan lengan kirinya ke sekeliling pinggang sang ayah.

* * *


Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

1. Cerbung ini mungkin tidak sepanjang cerbung yang lalu. Jadi penayangannya hanya hari Senin dan Kamis saja, KECUALI harus ada bab yang dipecah.

2. Mau tahu nasib calon novel “Eternal Forseti”? Silakan mampir ke sini...




6 komentar:

  1. Eng ing eng..... mas era abangnya wati ya? Blasteran dunks.... nuwus mbak. Ditunggu lanjutannya.. .

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Makasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊

      Hapus