Kamis, 13 April 2017

[Cerbung] Affogato #28 (Tamat)









Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh Delapan


Maxi mengembuskan napas lega pelan-pelan. Pulang... Setelah enam belas hari dirawat akhirnya ia boleh pulang. Kondisinya sudah jauh membaik walaupun belum pulih seutuhnya. Masih harus hati-hati dalam bergerak. Ia duduk diam di sofa. Mengawasi Arlena yang sedang sibuk membereskan barang-barang mereka yang hendak dibawa pulang, dibantu oleh Pingkan. Sejak Maxi dipindahkan dari ICU, gadis itu nyaris tiap hari muncul.

“Ke, Tante mau selesaikan administrasi dulu, ya?” senyum Arlena sambil menegakkan badannya. “Bisa titip Maxi?”

Pingkan mengangguk. “Iya, Tante.”

Gadis itu kemudian menghampiri sofa, duduk di sebelah Maxi. Pemuda itu menoleh. Tatap matanya terlihat berkabut.

“Jadi Omar benar-benar ‘pulang’, ya?” gumam Maxi.

Pingkan menghindari tatapan itu. Tertunduk. Setiap kali ia mendengar nama Omar disebutkan, tiap kali pula ia diliputi perasaan bersalah. Ia salah satu orang yang diselamatkan Omar dan Maxi. Dan ia adalah orang yang membuat Maxi jadi orang yang salah di tempat yang salah.

Maxi memutar lagi memorinya. Menghentikannya pada titik pembicaraan dengan Prima kemarin menjelang malam.


“Papa senang kamu boleh pulang besok,” senyum Prima. “Tapi Papa nggak bisa jemput kamu, ya. Papa harus kerja. Biar Mama yang urus semuanya.”

Maxi mengangguk.

“Oh, ya,” sambung Prima. “Kamu sudah mulai pulih. Papa pikir sudah saatnya kamu tahu yang sebenarnya.”

Maxi menatap Prima. Dengan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba saja menjalari hatinya.

“Omar...,” Prima mengalihkan tatapannya ke samping. “Dia... sudah nggak ada, Max.”

Maxi ternganga. Benarkah? Tapi melihat ekspresi wajah Prima, sepertinya...

“Kapan?” ia hanya bisa berbisik.

“Pada hari kejadian itu. Tikamannya mengenai jantung.”

Maxi terhenyak. Ia memang cukup mengenal adik tingkatnya itu walaupun tidak terlalu akrab. Omar cukup baik. Cukup berprestasi. Sayangnya...

Rest in peace, Mar...

Ada genangan bening dalam mata Maxi.

“Kalau itu terjadi padamu, Papa nggak tahu apakah...”

Maxi menatap Prima yang menggantung ucapannya. Ia menemukan genangan bening yang sama. Tiba-tiba saja ia sadar. Betapa maut rajin mengintip setiap saat.


Maxi menghela napas panjang. Gerakan yang masih sedikit menggoreskan rasa nyeri di pinggang kirinya. Diambilnya kedua tangan Pingkan. Digenggamnya.

“Jangan lagi merasa bersalah, Ke. Omar dan aku melakukan apa yang harus kami lakukan, walaupun takdir bicara lain.”

Pingkan menggigit bibir bawahnya. Diakui atau tidak, ada yang berubah dalam hidupnya setelah kejadian itu. Menjadi lebih menghargai hidup dan sekitarnya. Menyadari pula bahwa ia...

Ah, kamu terlalu tinggi buatku, Max...

Dengan halus, ia menarik kedua tangannya dari genggaman Maxi.

* * *

Arlena hampir menabrak Olivia begitu ia menutup pintu kamar perawatan Maxi dari luar. Gadis itu baru saja datang. Tampak berpenampilan santai mengenakan kaus polo merah tua polos dipadu dengan celana jeans biru pudar dan sepatu flat yang berbahan sama dengan celananya. Arlena mengerutkan kening.

“Lho, kamu nggak kerja, Liv?”

Gadis itu menggeleng. “Tadi cuma antar Papa, terus mampir ke kantor sebentar. Kartu debit Papa masih di aku. Padahal nggak semua biaya ditanggung asuransi. Makanya tadi aku minta izin Pak Luken untuk urus kepulangan Maxi. Boleh sama dia.”

“Mama masih ada uang, kok, Liv.”

Olivia tercenung sejenak. Sepertinya ia harus membiarkan Arlena menyelesaikan soal administrasi itu. Bagaimanapun Arlena adalah ibu Maxi. Ibu mereka.

“Baiklah, Ma,” ia mengangguk. “Yang mau dibawa pulang sudah beres belum?”

“Sudah. Tadi Mama beres-beres dibantu Keke.”

“Keke ada di dalam?”

Arlena mengangguk.

“Oke, kalau begitu aku temani Mama.”

Arlena kembali mengangguk.

* * *

Setelah memastikan Maxi baik-baik saja di kamar bawah bersama Donner dan Pingkan, Olivia menyelinap keluar dan melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dilihatnya Arlena tengah duduk di depan island sambil menikmati secangkir kopi. Terlihat setengah melamun. Seutuhnya Olivia menangkap kelelahan yang menggantung pada wajah Arlena. Tanpa suara, Olivia mendekati Arlena.

“Ma...,” dengan halus ia menyentuh bahu kiri Arlena.

Perempuan itu tersentak kaget dan menoleh. “Ya?”

“Mama istirahat saja,” Olivia melangkah ke arah kulkas. “Kalau mau, aku panggilkan Mpok Ranti.”

Arlena mengangguk. “Iya, ini lagi tunggu dia datang. Sudah Mama suruh Muntik panggil dia.”

“Oh...”

“Donner dan Pingkan suruh makan dulu, Liv. Sudah disiapkan sama Muntik.”

“Iya, tadi sudah kusuruh. Nanti dulu, katanya.”

Pembicaraan yang baru saja dimulai itu terpaksa terputus karena Ranti sudah datang. Arlena kemudian mengajak perempuan itu ke kamar atas. Meninggalkan Olivia yang masih tercenung memegang gelas setengah penuh di depan pintu kulkas.

* * *

Hanya ada mereka berempat di sekeliling meja makan untuk menikmati makan malam. Arlena tidak keluar lagi dari kamar sejak diurut Ranti. Dan keempatnya berusaha mengabaikan ketidakhadiran perempuan itu.

Selesai makan, Prima menatap Carmela. “Mel, kamu masih ada PR atau harus belajar untuk ulangan besok?”

Carmela menggeleng. “Tapi aku mau baca-baca buku dan catatan saja, di kamar Papa.”

“Boleh,” angguk Prima. “Tapi tolong, kamu panggil Mama dulu, suruh makan.”

Carmela terlihat enggan. Tapi tatapan Prima memberi isyarat tak mau dibantah. Dengan sikap ogah-ogahan, gadis remaja itu naik ke lantai dua untuk memanggil Arlena sekaligus mengambil buku-buku yang diperlukannya.

Sepeninggal Carmela, di tengah-tengah gerakan Prima membantu Olivia menumpuk piring dan gelas bekas makan malam mereka, Maxi menatap Prima.

“Papa sudah bicara sama Mama?”

Prima mengangguk.

“Hasilnya?” kejar Maxi.

“Nanti kita bicara berempat,” jawab Prima sabar. “Sekarang Papa bantu kamu kembali ke kamar. Setelah itu Papa mau menggembok pintu pagar dan mengunci pintu garasi dulu.”

“Aku bisa jalan sendiri, kok, Pa,” senyum Maxi.

Prima menatap Maxi cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Ia tetap duduk sejenak untuk meminum obatnya sambil mengawasi Maxi yang pelan-pelan berjalan kembali ke kamar bawah. Kamar mereka sekarang, untuk sementara. Ketika ia hendak beranjak, Arlena muncul. Tapi ia berlalu begitu saja tanpa kata. Dan Arlena memaksa diri untuk menghadapi kenyataan itu. Bahwa ia sudah harus mulai menelan konsekuensinya. Ia ada, tapi tiada.

Bahkan seandainya aku dianggap tidak ada, aku akan terima. Asal masih bisa menatapmu tiap hari. Menatap anak-anak. Melakukan apa yang aku bisa. Bertahan di sampingmu...

Arlena mengerjapkan matanya yang sedikit mengaca.

* * *

Selesai mencuci peralatan bekas makan malam, Olivia mengeringkan kedua tangannya dengan sehelai serbet bersih. Ia duduk sejenak di depan island. Beberapa kali menghela napas panjang. Tadi pagi saat diantar Olivia berangkat bekerja, Prima memang sudah mengatakan padanya, bahwa hari ini akan ada pembicaraan tentang nasib mereka selanjutnya.

Sesungguhnya, Olivia bisa melihat penyesalan mendalam ada dalam diri Arlena. Juga kepasrahan. Arlena tidak lagi terlalu berusaha mendekat pada mereka. Kepercayaan diri perempuan itu seolah rontok tak bersisa. Membuatnya melakukan apa yang ia bisa lakukan hanya dalam hening.

Semua kemarahan Olivia sesungguhnya sudah lenyap. Berganti dengan perasaaan tawar dan hambar. Juga sedikit rasa iba pada Arlena. Ia teringat ucapan Sandra beberapa hari lalu, saat berdua menikmati makan siang di meja Sandra. Tanpa Luken, karena pada saat yang sama laki-laki itu lebih memilih untuk menikmati makan siang sendirian di dalam ruangan kantornya.

“Berumah tangga itu sama sekali nggak mudah, Mbak Liv,” ucap Sandra halus. “Keharmonisan harus diusahakan seluruh anggota keluarga. Terutama suami dan istri, ayah dan ibu, sebagai tiang utamanya. Kalau hanya salah satu saja, tentunya timpang. Tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Ya, tinggal niat baiknya saja bagaimana.”

Seutuhnya ia memahami bahwa Arlena tak bisa disalahkan sepenuhnya atas keruwetan dalam keluarga mereka. Pasti ada andil Prima juga. Bedanya, Arlena lepas kendali, sedangkan Prima tetap bertahan dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga.

Apa pun itu, asal nyaman buat Papa, aku terima.

Sekali lagi Olivia menghela napas panjang sebelum beranjak. Ketika ia menyelinap masuk ke kamar Prima, dilihatnya ayahnya itu tengah duduk bersebelahan dengan Carmela di sofa bed. Lengan kanan Prima melingkar di sekeliling bahu Carmela. Tampaknya ikut membaca buku catatan Carmela. Sedangkan Maxi duduk bersandar pada kepala ranjang. Sibuk dengan ponselnya.

Pelan-pelan Olivia menutup pintu di belakang punggungnya. Gerakan dan suara lirih itu membuat Prima mengalihkan tatapannya dari buku catatan Carmela. Bersamaan dengan itu, Carmela menutup bukunya.

“Oke, aku selesai,” ujarnya.

“Yuk, pindah ke ranjang saja, biar enak ngobrolnya,” ajak Prima.

Mereka kemudian mengambil posisi yang nyaman. Prima duduk bersila di sebelah Maxi, bersandar juga pada kepala ranjang. Carmela bersila juga agak di tepi menghadap ayahnya. Olivia duduk di belakang Carmela. Memeluk si bungsu itu dengan hangat.

Prima menatap satu demi satu putra-putrinya. Dihelanya napas panjang sebelum bicara.

“Beberapa hari lalu, Papa sudah bicara sama Mama. Seperti yang kalian tahu dan sudah pernah kita bicarakan sebelum ini, Papa pernah punya pikiran untuk berpisah dengan Mama. Kalau hal itu terjadi, sudah bisa dipastikan kalian akan ikut Papa.”

Prima berhenti sejenak. Seolah berpikir sebelum menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya. Beberapa detik kemudian ia kembali menatap satu per satu ketiga buah hatinya itu.

“Sepanjang hidup Papa, kalian adalah bagian yang paling indah. Sama sekali bukan beban buat Papa untuk membesarkan dan mendidik kalian. Tapi... kalau Papa dan Mama berpisah, dalam kondisi Papa seperti sekarang, perlu perhatian lebih soal kesehatan, Papa pasti memberi beban lebih pada kalian, terutama Mbak Livi. Sementara Mbak Livi punya kehidupan sendiri. Harus bekerja, mempersiapkan masa depan. Mas Maxi juga begitu. Perlu konsentrasi lebih untuk memulihkan kondisi, lanjut mengerjakan tugas akhir, dan mempersiapkan kelulusan. Mela pun demikian,” Prima menghela napas panjang lagi.

Sementara itu Carmela berusaha untuk menahan air matanya agar tidak runtuh. Olivia sepertinya mengerti apa yang terjadi pada Carmela. Pelan-pelan, ia mempererat pelukannya pada Carmela.

“Melihat Mama belakangan ini,” lanjut Prima, “Papa tahu ada penyesalan dalam diri Mama. Maka dari itu, Papa sudah memberi kesempatan pada Mama untuk memilih. Mau pergi silakan, mau tetap bersama kita juga silakan. Semua ada konsekuensinya. Dan... Mama memilih untuk tetap tinggal. Jujur, Papa masih membutuhkan Mama. Bukan berarti Papa ingin melupakan peran kalian bertiga yang begitu besar selama ini. Sama sekali tidak. Papa sungguh berterima kasih karena kalian tak pernah meninggalkan Papa. Sekarang, biarkan Mama mengemban tanggung jawabnya dalam keluarga ini sesuai porsinya. Kalian tak perlu terlalu memaksa diri untuk menerima kehadiran Mama. Biarkan semuanya mengalir saja. Tapi tolong, beri Mama kesempatan. Kalian mengerti?”

Prima mengulurkan tangan kanannya ke arah Carmela. Si bungsu itu pun meloncat ke pelukan ayahnya.

“Papa belajar banyak dari kamu, Mel,” Prima mengelus bagian belakang kepala Carmela. “Bagaimana seharusnya tetap melangkah ke depan karena ada banyak hal yang telanjur terjadi. Selama kita saling memiliki, maka semuanya akan baik-baik saja.”

Olivia dan Maxi saling menatap. Berbagi genangan bening yang sama. Satu episode dalam kehidupan mereka baru saja usai.

Atau justru sedang dimulai, Mbak?

Seutuhnya Olivia menangkap pesan yang dikirimkan Maxi. Ia mengangguk samar.

Selalu ada yang baru di depan, Max. Yang kita tidak tahu akan bagaimana dan berjalan seperti apa.

Maxi mengerjapkan mata. Mengerti.

“Sekarang kita semua istirahat,” ujar Prima lembut sambil melepaskan pelukannya pada Carmela. “Dan berharap besok jauh lebih baik daripada hari ini dan kemarin.”

Setelah mendapat satu kecupan hangat di kening, Olivia meraih bahu Carmela dan membimbing si bungsu itu keluar dari kamar. Rumah sudah hening dengan sebagian besar lampu sudah dimatikan. Dalam hening juga, keduanya naik ke lantai dua dan masuk ke kamar masing-masing.

* * *


Epilog


Olivia mematikan mesin espresso di sudut dapur. Sudah lewat dari pukul sepuluh malam. Acara mereka sudah usai beberapa puluh menit yang lalu. Seisi rumah sudah kembali bersih dan rapi seperti semula.

Navita sudah resmi dilamar oleh keluarga Gandhi. Sesuai keinginan Prima, acaranya diadakan di rumah ini, yang jauh lebih besar untuk menampung belasan tamu yang terdiri dari Gandhi, keluarga kakaknya, keluarga kakak tertua mendiang ayahnya, dan keluarga abang tertua mendiang ibunya. Acara pernikahan Navita dan Gandhi direncanakan akan dilakukan awal tahun depan.

Saat ini Arlena, Maxi, dan Carmela sedang mengantarkan Navita dan Minarti pulang. Sedangkan Muntik baru saja dijemput oleh suaminya. Hanya ada Olivia dan Prima di rumah.

Dengan hati-hati Olivia membawa secangkir espresso panasnya ke arah island. Saat itu Prima muncul. Olivia menoleh.

“Papa mau teh?” tawarnya.

Prima menggeleng. Ia langsung menuju ke sudut lain untuk mengambil segelas air putih hangat. Olivia mengambil satu scoop besar es krim vanila dari dalam kotak di freezer dan diletakkannya dalam sebuah cangkir besar. Gadis itu kemudian kembali ke depan island dan duduk di sana. Prima mengambil tempat di sebelahnya.

“Bikin apa, Liv?” Prima terlihat mengamati Olivia yang dengan hati-hati menuangkan espresso panasnya ke cangkir es krim.

Affogato, Pa,” senyum Olivia. “Papa icipin es krimnya saja. Jangan kopinya.”

Prima tergelak ringan. Ia kemudian meraih piring berisi bolu gulung dan mengambilnya sepotong. Dicuilnya sedikit, kemudian dicolekkannya ke es krim dalam cangkir Olivia sebelum dimasukkan ke dalam mulut.

“Enak?” Olivia terkekeh.

Prima meringis lucu. Sejenak kemudian wajah laki-laki itu berubah jadi serius.

“Papa selalu berpikir, acara lamaran pertama di rumah ini adalah untukmu, Liv,” gumamnya kemudian.

Olivia tertegun sejenak sebelum meraih tangan kanan Prima. “Bukannya Mbak Vita anak Papa juga?”

Prima membalas genggaman hangat itu. “Ya. Harapan Papa, masih akan ada acara lamaran yang berikutnya. Untukmu dan Mela.”

Olivia tercenung.

Acara lamaran untukku...

Ingatannya melayang pada sebentuk pesan yang masuk ke ponselnya tadi pagi.

‘Semoga acaranya lancar, ya, Liv. Semoga berikutnya adalah kamu. Dan semoga nanti aku yang akan melakukannya untukmu.’

Ia belum membalas pesan itu. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Sedetik kemudian ia mengangkat wajah. Menoleh ke kiri. Menatap Prima.

“Pa... Aku ingin bicara sama Papa,” Olivia mengerjapkan mata. “Soal Pak Luken.”

“Hm...,” Prima terdiam menatap permukaan island. Sejenak kemudian ia kembali menatap Olivia. “Ya,” angguknya, tersenyum. “Bicaralah. Tapi habiskan dulu affogato-mu. Nanti keburu nggak enak. Papa tunggu di ruang baca, ya?”

Ada yang meleleh dalam hati Olivia ketika Prima mengelus lembut kepalanya sebelum beranjak. Sepeninggal Prima, Olivia kembali menikmati affogato-nya. Membiarkan lidahnya mencecap rasa berlawanan yang lumer sempurna. Pahit dan manis. Sisa-sisa panas dan dingin beku. Ia kemudian mengangkat wajah. Menatap pantulan samar dirinya pada permukaan pintu kulkas.

Seperti hidupmu, Liv. Selalu ada pahit dan manis yang bercampur jadi satu.

Olivia mengerjapkan mata.

Dan Pak Luken...

Ia tak tahu apakah masih mampu mencecap rasa pahit yang mungkin masih akan muncul lagi dalam hidupnya.

Tapi setidaknya masih ada Papa...

Seorang laki-laki yang selalu mencintainya tanpa syarat, dan kini sudah menunggunya untuk bicara dari hati ke hati. Olivia pun beranjak.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Cerbung ini berlanjut ke cerbung Infinity


Catatan :

Hari Kamis yang akan datang, akan tayang prolog cerbung baru berjudul “Caramel Flan for Ronan”.
Terima kasih atas kesabaran para Pembaca dalam mengikuti cerbung “Affogato” yang jauh dari sempurna ini.
Mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada.

Salam,
Lizz

22 komentar:

  1. Mbak Lizz ceritanya gantung aaah...olivia sm pak luken gmn atuh ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan jadi ada alesan bikin sekuelnya, Mbak 😁😁😁

      Hapus
  2. Asikkk happy ending 😘😘😘😘

    BalasHapus
  3. Msh ada sekuelny livi dan luken,, Asseeekkkk....
    Tapi kapan????


    Stay tune di blog...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nantiii... Cerbung baru ditamatkan dulu 😁

      Hapus
  4. Harus sabar nunggu sekuel Olivia,Maxi,Navita,dan Carmela pasti lebih seru

    BalasHapus
  5. Lha.... tamaat. Mbrebes mili aku. Sekuelnya moga2 cepet tayang jg. Caramelnya si ronan kesting dienteni lho mbak.....

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Hahaha... Makasiiih, Mbak Bekti 😘😘😘

      Hapus
  7. Cerita fiksi tapi penuh makna....tks buat cerita bagusnya mba Lizz...:-)

    BalasHapus
  8. Trimakasih, Mbak Lis.
    Sajian cerita yang inspiratif.
    Hidup di keseharian kita
    Banyak hal yang menjadi pembelajaran

    Akhirnya tamat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih juga, Mbak Umi, sudah berkenan singgah... 😊😊😊

      Hapus
  9. Hai Mbak.. Saya new reader nih. Hehe.. Saya udah baca cerbung2nya Mbak Lis. Saya ga seberapa suka cerita cinta segitiga segibanyak dsb., sukanya yg dr awal baca ngiranya udh sama itu, ya sampe akhir sama itu jg.
    Makanya saya paling suka cerbung Miss Cempluk. Krn suka sama kekeluargaannya, sempat ada org ketiga tp ga banyak drama, trus jg org dr masa lalu udh ga ada. Jd ga ada yg ganggu.
    Kedua, saya suka Vendetta. Ini suka juga krn dr awal sampe akhir pasangannya jelas ga melenceng kemana2.
    Ketiga, Letta sama Leandra. Krn ga ada pihak2 lain yg ganggu jg.
    Tp semua karya2 Mbak mantap jaya kok. Emosinya dapet semua. Tp saya pribadi sukanya ya 3 itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai juga, Mbak Lenny, salam kenal 😊
      Terima kasih atas kunjungan Mbak ke blog ini. Semoga semua yang tersaji di sini tidak terlalu mengecewakan.

      Saya pribadi sebenarnya juga kurang menyukai jalinan drama yang terlalu ruwet dan klise. Sayangnya, justru di situ biasanya letak klimaks suatu cerita. Jadi bisa dibilang, semua cerita yang saya buat cenderung 'datar'. Itu saya sadari betul. Makanya saya banting setir coba main di emosi, dan berusaha cari celah hal apa yang bisa 'dijadikan masalah', apa yang bisa dijadikan twist, tanpa terjebak hal-hal klise. Nggak selalu berhasil sih, namanya juga cuma penulis amatiran, hehehe...

      Yah, semoga Mbak Lenny betah camping di blog ini, ya?

      Salam,
      Lizz

      Hapus
    2. Cerita Mbak Lizz bagus2 semua kok Mbak. Menurut saya-sbg masyarakat awam yg hobi baca-'Oh inilah yg dinamakan fiksi'. Krn, maaf, selama ini sy bacanya cerita2 dr penulis2 yg umurnya seusia saya, di atas saya dikit, atau di bawah saya. Which is, under 30 writers. Klo' yg 30++ br Mbak Lizz ni. Jd 'emosi' nya tuh beda. Klo' baca cerita2 Mbak Lizz emosi nya dapet, trus 'mateng'. Hehe.. Aduh ngomong apa ntah saya ni. Ya pokoknya gitu lah menurut saya Mbak. Hehe

      Hapus
    3. Lho, saya baru umur 17 lho, Mbaaak... 😆😆😆
      17 plus sprint sampai tengkurep ngos-ngosan 😁😁😁

      Pada prinsipnya, saya suka menulis (sejak kecil), saya menjalani hobi ini dengan senang hati, nggak ada target tertentu kecuali berusaha menyelesaikan cerita yang sudah saya mulai/tulis, berusaha menyajikan yang terbaik (walaupun masih banyak juga bolong di sana-sini. Jujur, saya suka ogah kalau baca cerita yang acak-acakan penulisannya), dan berusaha disiplin walaupun cuma hobi.
      Kalau ada yang suka membaca karya saya, ya puji syukur pada Tuhan. Itu support yang luar biasa buat saya.

      Makasih ya... 😊😊😊

      Hapus