Kamis, 06 April 2017

[Cerbung] Affogato #26








Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh Enam


Olivia meluncurkan kembali mobil Arlena setelah menurunkan Carmela di dekat gerbang sekolah. Sebenarnya ia lelah sekali. Semalaman ia berkali-kali terjaga. Entah kenapa. Tadi pagi-pagi sekali harus sudah bangun untuk menyiapkan sarapan menu khusus bagi Prima. Walaupun ada Muntik, tapi ia tetap harus menyiapkannya sendiri. Muntik mengolah menu lain untuk sarapan Olivia dan Carmela, dan untuk dibawa bagi Arlena dan Donner.

Prima sempat mengerutkan kening ketika melihat Olivia tampak sudah siap berbusana kerja. Tapi dengan halus gadis itu menjelaskan, bahwa kantornya saat ini sedang sangat sibuk karena ada banyak pekerjaan untuk diselesaikan. Lagipula sudah ada Arlena yang kelihatannya bisa diandalkan untuk mengurus keperluan Maxi yang masih terbaring di ICU, dan juga Prima.

“Ma, setelah ini aku ngantor,” ucap Olivia begitu bertemu Arlena.

Perempuan itu mengangguk.

“Kerjaanku lagi banyak,” lanjut Olivia sambil mengeluarkan kotak bekal berisi sarapan untuk Arlena dan Donner dari dalam kantong non-woven yang ditentengnya. “Aku tadi ke sini pakai mobil Mama, biar bisa Mama pakai untuk pulang. Mama perlu mandi dan selesaikan urusan rumah dengan Bibik.”

“Terus, kamu ngantor naik apa?”

“Taksi. Lagipula mobilku kemarin kutinggalkan di kantor.”

“Sudah jam segini, apa nggak terlambat?” usik Prima.

Olivia menoleh sekilas. “Nggak apa-apa, daripada absen sama sekali. Pak Luken pasti mengerti.”

Setelah semua urusan beres, Olivia pun berpamitan.

“Mbak, aku antar, ya?” tawar Donner.

Tapi Olivia menggeleng. Tersenyum. “Don, kamu pulang saja. Makasih, kamu sudah semalaman menemani Mama.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Benar, Mbak Livi nggak mau kuantar?”

Olivia kembali menggeleng. “Aku sudah pesan taksi. Kamu pulang saja.”

“Ya, nanti aku pulang setelah Tante selesai mandi di rumah dan balik lagi ke sini. Biar Om nggak sendirian.”

Olivia kembali tersenyum. “Titip Papa, ya, Don?”

Donner mengangguk.

Dan setelah Olivia duduk di dalam taksi, terasa betapa lelah ia sebenarnya.

* * *

“Lho, Mbak Livi masuk kerja?”

Olivia menghentikan langkah. Gadis itu mengangkat wajah dan menemukan tatapan penuh tanya Sandra. Sedetik kemudian ia mengangguk. Tatapan Sandra berubah. Dan Olivia sama sekali tak bisa mengartikannya. Tapi ditemukannya keteduhan dalam mata Sandra. Membuatnya sejenak terseret dalam ketenangan.

Setelah semua yang harus kuhadapi kemarin-kemarin...

Dan gadis itu tersentak ketika pintu di belakang punggungnya terbuka tiba-tiba, diikuti suara Luken yang menggema di seantero ruangan itu. Suara yang selalu terdengar hangat di telinga.

“Bu Sandra, saya bisa minta tolong...”

Olivia berbalik.

“Liv?” laki-laki itu mengalihkan fokus tatapannya dari Sandra ke Olivia.

Olivia segera menemukan tatapan yang sama dengan tatapan Sandra ketika ia muncul tadi. Olivia segera mengangguk dengan wajah takzim.

“Maaf, Pak Luken, saya datang terlambat,” ucapnya lirih, dengan nada menyesal. Sudah hampir pukul 9 ketika ia menginjakkan kaki di kantor.

“Oh... Tidak, tidak apa-apa,” Luken menggeleng cepat.

Hening sesaat sebelum Sandra memecahkan kebekuan itu dengan suara lembutnya, “Maaf, Pak Luken, apa yang harus saya lakukan untuk Bapak?”

Luken sedikit tersentak. Ia kembali menatap Sandra.

“Berkas untuk pengiriman ke Taiwan, Bu, tolong disiapkan.”

“Saya yang akan menyiapkan,” Olivia buru-buru melangkah ke arah mejanya. Tak sempat lagi melihat bahwa Luken dan Sandra bertatapan sejenak.

Beberapa saat kemudian, Olivia sudah sibuk di depan laptopnya, dan dalam hitungan belasan menit, berkas yang diminta Luken sudah selesai dicetaknya, dan dimasukkannya ke dalam map bening. Ia segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah ruangan Luken. Diketuknya pintu tiga kali dengan ritme dan volume ‘sopan’.

“Masuk!”

Setelah terdengar jawaban itu, barulah Olivia membuka pintu pelan-pelan.

“Berkasnya, Pak,” Olivia melangkah mendekati Luken. Diulurkannya map di tangannya pada Luken.

“Ya, terima kasih. Duduk dulu, Liv,” ujar Luken sembari menerima map dari Olivia.

Olivia menuruti permintaan Luken. Sang boss meneliti sejenak berkas itu sebelum menutup dan menyisihkannya. Sikapnya menjadi sempurna dengan melipat kedua tangan di atas meja, di depan dada. Ditatapnya Olivia dalam-dalam.

“Liv, kalau kamu memang belum bisa masuk kerja, jangan memaksakan diri,” ucap Luken lembut. “Bu Sandra masih bisa menangani pekerjaanmu walaupun tidak segesit dirimu. Dan kami memahami sepenuhnya.”

Olivia tercenung sejenak. Tatapannya jatuh pada sebidang kecil meja di depannya, tepat di hadapan Luken. Beberapa detik kemudian ia menggeleng sambil mengangkat wajahnya.

“Saya tidak apa-apa, Pak,” ucapnya, berusaha meyakinkan Luken dengan suara yang terdengar mengambang.

“Yakin?” tegas Luken.

Olivia mengangguk.

Just take your time, Liv. Kapan pun kamu membutuhkannya.”

Olivia kembali mengangguk. “Terima kasih banyak, Pak.”

“Ya, sama-sama,” senyum Luken. “Oh, ya, siang ini jam 12 ada meeting di luar. Terserah siapa yang akan mendampingiku. Kamu atau Bu Sandra. Tolong, bicarakan dengan dia.”

“Baik, Pak. Ada lagi?”

Luken menggeleng sedikit. “Sementara ini sudah cukup.”

“Baik, Pak. Saya permisi dulu,” Olivia bangkit dari duduknya.

Luken mengangguk. Diawasinya sosok ramping Olivia, yang terbalut blazer dan rok selutut berwarna coklat tua, berjalan menjauh hingga menghilang di balik pintu. Sejenak kemudian dihelanya napas panjang sebelum meraih map yang ditinggalkan Olivia dan menekuninya lagi.

* * *

Ia memang membutuhkan kesibukan itu. Untuk melupakan sejenak keruwetan yang membelit hidupnya akhir-akhir ini. Terlibatnya Maxi sebagai korban dalam perkelahian antar fakultas di kampusnya cukup membuat kehidupannya makin limbung.

Belum selesai masalah lain, masalah baru sudah menimpa lagi. Tak hanya satu. Tapi beberapa bertubi-tubi. Membuatnya nyaris tak punya tenaga lagi untuk menyelesaikan pekerjaan.

“Kalau memang harus aku yang berangkat dengan Pak Luken, beritahu apa saja yang harus kucatat, Mbak Liv...”

Suara lembut itu menyentakkan kesadaran Olivia. Ia mengerjapkan mata dan buru-buru meraih sebuah catatan di depannya.

“Tapi kurasa... lebih baik kamu saja yang berangkat, Mbak.”

Olivia mendongak. Sandra menatap Olivia dengan bibir mengulas senyum teduh. Perempuan itu kemudian duduk di kursi seberang meja, tepat di depan Olivia.

“Bagaimana, Mbak Liv?”

Sesungguhnya, ia tahu bahwa Sandra pasti dapat menggantikan tugasnya dengan baik. Tapi mendampingi Luken mengadakan meeting di luar adalah tugasnya. Ia haruslah tetap bersikap profesional. Jadi...

“Hm... Ya, Bu, aku yang akan berangkat,” ucap Olivia, akhirnya.

Sandra mengangguk dengan wajah lega. “Sepertinya, begitu lebih baik.”

Olivia tersenyum tipis.

“Tapi kamu baik-baik saja, kan?” Sandra menatap Olivia dengan sorot meneliti.

Olivia menghela napas panjang. “Aku harap, Bu...”

“Apa pun yang bisa kulakukan untukmu, Mbak Liv...”

Sebuah pelukan...

Olivia mendegut ludah.

Bahu untuk menangis...

Olivia mengerjapkan matanya.

Kehidupan yang lain...

Dan kedua hal pertama segera diperolehnya begitu pertahanannya runtuh. Ia terisak dalam pelukan Sandra. Tanpa bisa terkendali. Sementara Luken hanya bisa menatap kejadian itu tanpa suara. Dari depan pintu ruang kantornya.

* * *

“Mau langsung kuantar ke rumah sakit, Liv?” tawar Luken begitu meeting dengan klien mereka selesai.

Tapi Olivia menggeleng. “Terima kasih, Pak. Tidak usah.”

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya,” angguk Olivia.

Luken menekan pedal gas dan mulai melajukan mobilnya. Olivia menatap ke luar jendela kiri.

“Aku rasa kamu tidak baik-baik saja,” gumam Luken.

“Maaf?” Olivia menoleh cepat ke arah kanan.

Luken menoleh sekilas. “Bebanmu sudah terlalu berat, Liv.”

“Apa saya punya pilihan lain, selain menerima dan menjalaninya?”

Luken terdiam.

“Setidaknya berbagilah denganku, Liv,” ujarnya kemudian.

Olivia tercenung.

“Aku bukannya ingin mencampuri urusanmu,” lanjut Luken. “Aku hanya... tak mau melihatmu terlalu berat menanggung beban. Seperti sekarang ini.”

Olivia mencoba untuk tersenyum. “Terima kasih, Pak, atas semuanya. Jujur, kehadiran Bapak sudah banyak sekali mengurangi beban saya. Saya tidak berhak meminta lebih.”

“Liv, kamu tak pernah minta apa-apa,” tukas Luken lembut. “Kamu tahu itu. Kita berdua tahu.”

Olivia menggigit bibir bawahnya.

“Ada kabar tentang Maxi?” Luken mengalihkan pembicaraan.

“Ya, Pak,” angguk Olivia. “Papa sempat kirim pesan, Maxi sadar sekitar jam sebelas tadi. Tapi hanya sebentar. Tekanan darahnya belum stabil.”

“Semalam aku baca berita online. Kabarnya korban satunya meninggal?”

“Ya. Dan bisa saja itu Maxi, Pak,” ucap Olivia lirih.

Luken setengah tercenung menatap kemacetan di depannya. Semakin tercenung ketika mendengar ucapan lirih Olivia berikutnya.

“Sejak Papa sakit, teman saya berbagi hanya Maxi. Karena dia memahami semua yang terjadi pada kami dengan sangat baik. Mela masih terlalu muda. Kalau Maxi tidak bisa bertahan, saya habis, Pak...”

Sebuah perasaan dan pengalaman yang tak pernah ia miliki sebagai anak tunggal. Sebetulnya ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tampaknya butuh waktu dan suasana yang lebih tepat lagi.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

16 komentar:

  1. OH NO...

    jangan senin... Besok saja, plisssss

    BalasHapus
  2. Lope" kambek pa Luken qiqiqiqiqiq
    Langsung digibeng sandal kambek papae arek" wakwakwakwak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mocok ceh ate tego nggibeng? Lek ngambung ncen iyo wakwakwakwakwakwak
      Sesuk takganti jeneng dadi Lukenyut ae es.

      Hapus
  3. Selalu sabar menunggu hingga Senin ☺

    Karna hanya sabar hingga waktunya tiba 😂

    BalasHapus
  4. akhirnya rapelan bacaku....nyampe juga Mbak Lis....

    terima kasih...

    BalasHapus