Senin, 03 April 2017

[Cerbung] Affogato #25-1










* * *


Dua Puluh Lima


Sudah lima hari sejak Prima pulang dari rumah sakit, tapi sikap laki-laki itu pada Arlena belum juga berubah. Tak banyak cakap, tetap dingin dan datar. Arlena sendiri maklum sepenuhnya. Ia merasa pantas mendapatkannya.

Masih bagus aku tidak ditendangnya keluar dari rumah...
  
Sebetulnya ada rasa iba dalam hati Prima. Hanya saja tiap kali ia menatap Arlena dan bayangan foto yang pernah dilihatnya itu melintas dalam benak, seketika rasa sakit hati dan amarah itu timbul kembali. Tapi ia tahu, bahwa cepat atau lambat, mau atau tidak, semua hal yang masih mengganjal itu harus dibicarakannya dengan Arlena.

Sepeninggal ketiga anaknya pagi itu, Arlena segera menyiapkan perlengkapan mandi Prima. Setelah selesai, ia masuk ke kamar Prima tanpa suara. Laki-laki itu dilihatnya tengah membuka tirai dan jendela.

“Pa, ayo, mandi dulu,” ujar Arlena halus. “Setelah itu sarapan, minum obat, dan kita berangkat kontrol.”

Prima menoleh sekilas. Tanpa suara, ia keluar dari kamar dan masuk ke kamar mandi. Arlena membuka lebar-lebar pintu kamar dan semua jendela agar ada pertukaran udara. Tak berapa lama Muntik datang membawa seperangkat sprei dan bed cover batik bersih. Dengan cekatan ia kemudian mengganti sprei dan merapikan tempat tidur, sekaligus menyapu dan mengepel kamar itu.

Selesai mandi, Prima yang melihat kamar sedang dibersihkan melanjutkan langkah ke ruang makan. Sarapannya sudah siap. Seporsi nasi ayam hainan yang baru keluar dari microwave, tumis sawi, tahu kukus, dan sebutir apel. Arlena mengikuti langkah Prima dengan segelas susu rendah lemak di tangannya. Diletakkannya gelas itu di dekat piring Prima. Ia meninggalkan Prima sejenak sebelum kembali lagi dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri.

Seusai sarapan bersama yang begitu hening itu, Prima dan Arlena sama-sama beranjak. Prima ke kamar bawah untuk berganti pakaian, sedangkan Arlena naik ke kamar atas. Sudah ada sehelai kemeja lengan panjang kotak-kotak putih-biru dan celana jeans biru gelap terhampar rapi di atas ranjang ketika Prima masuk. Tanpa banyak pernik, ia mengganti celana pendek dan kaos oblongnya dengan  setelan baju yang sudah disediakan Arlena itu.

Ia terpaksa mengunci ikat pinggangnya dua lubang lebih kecil daripada biasanya. Lalu ia bercermin.

Memang sedikit lebih slim...

Napasnya masih agak terengah setelah selesai berpakaian, sehingga ia pun duduk sejenak di tepi ranjang sambil menggulung lengan kemejanya hingga di bawah siku. Saat itu pintu kamarnya diketuk dan segera terbuka dari luar. Arlena menyembulkan kepalanya.

“Papa sudah siap?”

Prima menatap Arlena sejenak.

“Ya,” angguknya kemudian.

“Aku siapkan mobil dulu,” Arlena pun menutup pintu kembali.

Prima tercenung sejenak. Arlena yang baru saja ditatapnya sekilas hanya berdandan sekadarnya, tidak heboh seperti biasanya bila hendak keluar.

Tapi dia tetap cantik.

Prima menghela napas panjang. Ia mengangkat wajahnya. Menatap ke depan. Menatap dirinya pada pantulan cermin yang menempel di pintu lemari pakaian.

Apakah aku benar-benar bisa hidup tanpa dia?

Ia mengerjapkan mata. Tapi sejenak kemudian ia tersadar. Arlena pasti sudah menunggunya di luar. Ia pun berdiri dan beranjak.

* * *

Keduanya duduk bersisian di ruang tunggu pengambilan obat seusai kontrol. Prima duduk sambil sibuk memainkan gadget, sedangkan Arlena hanya duduk diam di sebelahnya. Tatapannya yang jatuh ke lantai apotek tampak menerawang jauh. Kosong.

Prima sudah makin pulih. Senin depan sudah boleh mulai masuk kerja lagi. Dan Arlena sama sekali tak punya bayangan bagaimana nasibnya ke depan ketika Prima sudah tak perlu lagi penjagaan dan perawatan. Mungkin akan tiba saatnya ia akan benar-benar terdepak dari kehidupan keluarganya.

Karena kamu terlalu bodoh, Len! Bodoh, tolol, gila, dan tak pernah bersyukur!

Arlena mendegut ludah ketika hati nuraninya berteriak.

Aku sudah mendapat kesempatan kedua. Sayangnya kusia-siakan begitu saja dengan begitu angkuh.

Sejak Prima sakit, Arlena sudah mengembalikan semua set perhiasan milik Anggara yang masih tersisa padanya. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk kembali pada bisnis perhiasan berlian seperti semula. Tidak lagi menoleh ke arah perhiasan lain-lain. Pada awalnya Anggara keberatan. Tentu saja karena Arlena adalah sales yang sangat handal. Tapi Arlena bersikukuh, sehingga Anggara tak bisa berbuat apa-apa lagi.

“Bapak Prima Arbianto!”

Arlena tersentak. Ia buru-buru berdiri dan melangkah tergesa menghampiri loket pengambilan obat. Sejenak kemudian ia sudah kembali lagi ke dekat Prima yang sudah berdiri. Keduanya kemudian melangkah menuju ke tempat parkir di basement.

“Mau langsung pulang?” tanya Arlena, siap untuk melajukan mobil. Melirik sekilas ke arah jam digital di dashboard yang menunjukkan angka 11:48. “Atau Papa mau ke mana lagi?”

“Pulang saja. Sudah siang.”

“Oke,” Arlena mengangguk. Apa pun itu, Pa, untuk membuatmu senang...

Prima mengancingkan sabuk pengaman dan menatap lurus ke depan.

Pada akhirnya waktu itu akan datang juga...

Sudah tiba saatnya untuk bicara dengan Arlena. Nanti, di rumah. Ia tahu Carmela pulang awal hari ini. Keluar pukul 12 siang karena ada rapat guru. Tapi ia sudah meminta si bungsu itu untuk mengunjungi Minarti sepulang sekolah. Nanti agak sore barulah Maxi akan menjemputnya ke sana sepulang dari kampus. Sehingga ia punya waktu untuk berdua saja dengan Arlena.

Bahkan hingga detik ini pun aku belum bisa memutuskan apa-apa...

Prima mengerjapkan mata. Menyandarkan kepalanya pada headrest. Sementara itu Arlena tetap mengemudikan mobil dalam sunyi. Tak berani mengusik keheningan Prima.

* * *

“Mel!”

Gadis remaja yang mulai melangkah setelah melambaikan tangan pada Betty itu menoleh. Dilihatnya seorang remaja laki-laki seusianya berjalan cepat menyusulnya. Seketika jantungnya berdebar kencang.

Kak Luzar? Mau apa dia?

Luzar, remaja dari kelas 12 itu diam-diam sering membuat hatinya terguncang. Bukan cowok yang terlalu top, tapi termasuk golongan ‘papan atas’. Walaupun  ketampanannya ‘cuma’ masuk dalam golongan ‘lapis kedua’, tapi yang naksir juga bukan cuma satu-dua gadis saja. Banyaaak... Termasuk dirinya.

“Kamu mau ke mana? Tumben jalan kaki?” Luzar sudah menjajari langkahnya.

“Mm... Ke rumah Budhe.”

“Di mana?”

“Dekat sini saja, kok. Di daerah belakang situ. Aku nggak tahu alamat pastinya, cuma dikasih tahu patokannya saja.”

“Sebelumnya belum pernah?”

Carmela menggeleng. “Ketahuan punya budhe tinggal di situ juga baru saja, kok.”

“Oh...,” Luzar mangut-manggut. “Oh, ya, papamu sudah sehat?”

“Sudah.”

“Syukurlah...”

Hening sejenak. Carmela berbelok ke kiri. Begitu juga Luzar.

“Mm... Kak Luzar mau ke mana?”

“Pulang. Tapi ambil catering dulu.”

“Kok, catering-nya nggak dianterin?”

“Nggak apa-apa, dekat rumah ini, kok. Sekalian jalan pulang.”

“Oh...”

Mereka terus melangkah. Luzar mulai lebih aktif mengajak Carmela mengobrol, yang ditanggapi dengan hangat. Tapi Carmela tetap waspada dengan langkahnya. Matanya tetap aktif mencari-cari patokan yang pernah diberikan Minarti dan diingatnya betul dalam benak.

Nah, itu toko buahnya! Nah, itu minimarketnya!

“Eh, Kak, aku ke toko buah sebentar, ya? Mau beli oleh-oleh buat Budhe. Kak Luzar kalau mau lanjut, nggak apa-apa, silakan.”

Tapi Luzar memilih untuk tetap menemani Carmela membeli apel dan melon. Juga ketika Carmela mampir lagi ke minimarket. Alasan Luzar, mau membeli sesuatu juga.

“Memangnya rumah budhemu sudah dekat?” celetuk Luzar sambil membukakan pintu minimarket untuk Carmela.

“Katanya, sih, masuk gang sebelah minimarket ini,” jawab Carmela sambil melangkah masuk dan mengambil keranjang belanja.

“Oh... Aku juga mau ke situ,” gumam Luzar sambil meletakkan kantong plastik berisi buah ke meja penitipan barang.

Kok, rasanya terlalu banyak kebetulan? Carmela membatin sambil berbelok ke arah bahan kebutuhan rumah tangga. Ia mulai memasukkan dua botol sirup yang berlainan rasa ke dalam keranjang, diikuti dengan sekaleng Danish biskuit, sekaleng wafer susu-vanila, dan sebotol besar minuman ringan bersoda rasa jeruk yang diambilnya dari dalam kulkas. Setelah selesai, ia membawanya ke kasir. Luzar sudah menunggunya di sana.

Carmela menurunkan kantong belanjaan dari meja ke lantai sambil menyelesaikan pembayaran. Ketika hendak beranjak, belanjaannya ‘hilang’. Ternyata Luzar sudah menentengnya sambil menunggu di dekat pintu keluar.

“Sini, Kak, aku saja yang bawa,” Carmela berusaha meraih kantong belanjaan di tangan Luzar.

“Sudah, nggak apa-apa, aku yang bawain,” Luzar menjauhkan sedikit tangannya dari Carmela. “Kamu bawa kantong buahnya saja, lebih ringan.”

Carmela tak punya pilihan lain. Mereka kembali melangkah. Ketika sudah membelok masuk ke dalam gang, cowok itu mengulurkan sebatang coklat kepada Carmela.

“Ini buatmu,” gumamnya.

Carmela sempat ternganga, tapi diterimanya juga coklat itu sambil mengucapkan terima kasih dengan lirih dan malu-malu.

“Rumah budhemu di mana? Sekalian saja aku antar. Catering-ku dekat ini.”

“Nomor tiga dari ujung belakang minimarket, sebelah kiri, biru muda.”

“Hah? Rumah Bu Minarti, bukan? Aku ambil catering di situ!”

Carmela dan Luzar saling menatap sejenak sebelum tawa mereka pecah. Ternyata tujuan mereka sama.

“Oh, jadi kamu keponakannya Bu Min?” celetuk Luzar di ujung tawanya.

“Iya,” Carmela tersenyum lebar. “Ayah Mbak Vita itu abangnya Papa. Cuma setelah Pakdhe meninggal, kami kehilangan kontak. Nggak tahunya selama ini Mbak Vita sama Papa itu sekantor, satu divisi pula! Ketahuannya juga karena beberapa hari lalu Budhe Mimin ikut Mbak Vita jenguk Papa ke rumah sakit.”

“Ah, keren! Seneng banget sekarang sudah ketemu lagi, ya?” suara Luzar terdengar antusias.

“Iya, makanya aku sempatin nengok Budhe sekarang. Mumpung pulang awal. Nggak jauh juga dari sekolah.”

Mereka sudah sampai. Luzar mendorong pintu pagar pipa besi dan jalinan kawat bercat putih yang sudah pudar setinggi setengah meter itu pelan-pelan.

“Permisi, Bu Min, selamat siang...,” sapanya sopan.

Pintu depan terbuka. “Iya, Luzar, masuk saja.”

Ketika Minarti membuka pintu lebih lebar lagi dan melihat siapa yang datang bersama Luzar, mata Minarti langsung terbelalak. Carmela meletakkan kantong buah yang dibawanya di atas meja terdekat.

“Budhe...,” Carmela tersenyum manis.

“Mela!” seru Minarti gembira. Segera dipeluknya gadis remaja itu.

“Aku nggak nyasar, Budhe,” Carmela tertawa girang.

“Hahaha... Ayo, masuk! Masuk! Luzar, ayo, masuk dulu.”

Carmela mengambil alih kantong belanjaan dari tangan Luzar dan memberikannya pada Minarti, sekalian juga dengan kantong buah. “Budhe, ini buat Budhe dan Mbak Vita.”

“Aduh... kamu repot-repot saja, Mel...,” Minarti mengelus kepala Carmela sebelum menerima kantong-kantong itu. “Kamu mau main ke sini saja Budhe sudah seneng banget. Terima kasih, ya, Nak.”

Minarti menggiring Carmela dan Luzar masuk ke dalam rumah. Rantang Luzar sudah siap di meja ruang tamu.

“Ini rantangku, ya, Bu?” Luzar meraih rantang itu.

“Iya,” angguk Minarti.

Luzar kemudian buru-buru berpamitan. Tak mau mengganggu pertemuan Minarti dan Carmela. Ia tersenyum ketika Carmela mengucapkan terima kasih sekali lagi atas coklat dan bantuannya membawakan kantong belanjaan.

“Kamu kenapa nggak ngabarin Budhe kalau mau mampir ke sini?” sesal Minarti. “Kan, Budhe bisa masak lebih buat makan siangmu.”

“Nggak kepikiran, Budhe,” Carmela nyengir. “Lagian nanti Budhe malah repot.”

Minarti mencubit pipi Carmela dengan gemas. Keduanya kemudian sibuk mengobrol. Minarti senang sekali melihat Carmela – yang ia tahu biasa hidup sangat berkecukupan dan nyaman – tak terlihat canggung atau risih berada dalam rumah mungil sederhana seperti itu. Bahkan sambil tertawa-tawa gadis remaja itu membagi coklatnya dengan Minarti.

“Eh, kamu makan di sini, ya?” celetuk Minarti. “Tapi Budhe cuma punya nasi hangat, semur ayam sama tahu, tumis buncis, telur balado, sambal, sama krupuk udang. Itu juga sisa catering-nya Luzar.”

Air liur Carmela hampir menetes karenanya, kemudian mengucap tanpa sadar, “Mau...”

Minarti tertawa. Digandengnya tangan Carmela, masuk ke ruang makan. Perempuan itu menemani Carmela dengan ikut makan. Terlihat gadis remaja itu lahap sekali menikmati makan siangnya. Keasyikan itu terjeda sejenak ketika ada orang yang datang untuk memesan nasi box. Carmela jadi punya kesempatan untuk menghubungi Prima. Mengabarkan bahwa ia sudah sampai di rumah Minarti.

* * *

Prima memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja. Ia menarik napas lega. Carmela sudah berada di tempat yang aman dan kelihatannya nyaman untuk menunggu jemputan Maxi menjelang sore nanti.

Ia sedikit tersentak ketika ponselnya berbunyi lagi. Sekilas dilihatnya layar.

“Ya, Max?” sapanya.

“Om Prima?”

“Iya?” Sebersit perasaan tak nyaman perlahan menjalari Prima. Kok, bukan Maxi? Apalagi terdengar suara berisik di seberang sana. Bahkan samar-samar terdengar bunyi sirene. “Ini siapa?”

“Donner, Om. Ini, Om, mau kasih kabar, Maxi di Carolus, kecelakaan.”

“Hah???” jantung Prima seakan berhenti berdetak. “Maxi kecelakaan di mana?”

Arlena yang sudah membelokkan mobil ke ujung jalan blok rumah mereka buru-buru menepi. Ditatapnya Prima dengan was-was.

“Nanti saya ceritakan, Om. Semua barang Maxi ada sama saya. Om cepat datang, ya?”

Dengan tatapan kosong, Prima menurunkan ponsel dari depan telinganya.

“Pa,” Arlena menggoyangkan tangan Prima. “Siapa? Kenapa?”

“Putar balik,” Prima menggelengkan kepala. “Maxi kecelakaan. Sekarang di Carolus.”

Dengan mengucap nama Tuhan berkali-kali, Arlena segera memutar balik mobilnya dan mengebut ke arah Salemba. Prima memejamkan mata.

Jangan Maxi, Gusti... Jangan Maxi... Tolonglah, jangan anak-anakku...

* * *



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Maxi hilang kendali atas motornyakah?

    BalasHapus
  2. 😕😕😕😨😨😨😭😭😭😭


    Baperbangetdeh....


    Lanjut besok...

    Penasaran bapernya nih...

    BalasHapus
  3. Maxi..... kok ora ngati2 sih? Mbak Lis kejam, kok Maxi ampe kecelakaan sih? Nggak rela diriku. Maxi khan baek, ganteng...

    BalasHapus