Selasa, 21 April 2015

[FA] Keinginan Rimo





Sudah lama Rimo menginginkan Kiji untuk menjadi santapannya. Rimo adalah seekor harimau besar yang sangat galak. Sedangkan Kiji adalah kijang yang paling lincah dan gesit yang hidup di sekitar telaga di dalam hutan.

Selama ini belum  pernah ada seekor pemangsa pun yang berhasil menangkap Kiji. Rimo jadi penasaran. Ah, masak cuma seekor kijang saja tak bisa kukalahkan? pikirnya.

“Ah, sudahlah,” kata Tigo, harimau yang lain. “Daripada susah-susah menangkap Kiji, lebih baik menangkap yang lain. Kan masih banyak hewan yang larinya tidak secepat Kiji.”

“Iya,” timpal Maco, adik Tigo. “Yang penting kan kita bisa mendapat makanan.”

Tapi Rimo tetap pada pendiriannya. Aku harus bisa menangkap Kiji, tekad Rimo.

* * *

Berkali-kali Rimo memburu Kiji, tapi berkali-kali pula ia gagal. Kiji memang benar-benar kijang yang gesit. Larinya kencang sekali. Rimo dibuatnya hampir kehabisan napas tiap kali mengejarnya dan gagal menangkapnya.

Sebenarnya Rimo lapar sekali. Saat beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, dilihatnya di balik gerumbul semak Maco dan Tigo sedang asyik menikmati santapan mereka. Sejenak terbit air liur Rimo.

Rupanya Tigo menyadari kehadiran Rimo. Ia melambaikan cakarnya.

“Sini, Rimo,” ajak Tigo. “Maco dan aku baru saja mendapat kerbau liar yang besar. Cukup untuk kita makan bertiga.”

“Iya, Rimo,” ucap Maco. “Makanlah!”

Tapi Rimo menolak. Ia tetap pada keinginannya menangkap Kiji. Walaupun ia merasa lapar, tapi ditahannya rasa lapar itu sekuat tenaga. Dan keinginannya untuk memburu Kiji makin kuat saja.

“Aku akan mengejar Kiji sampai dapat,” geram Rimo.

Tigo dan Maco bertatapan sejenak. Kemudian mereka sama-sama mengangkat bahu.

* * *

Kiji tahu bahwa Rimo mengincarnya terus. Keadaan itu membuatnya makin berhati-hati. Ia selalu waspada akan keadaan di sekelilingnya. Bahkan bau Rimo pun sudah dihafalnya betul.

Seperti juga siang ini. Kiji sedang menghirup segarnya air telaga. Angin berhembus. Kepala dan telinga Kiji langsung tegak. Ia mengendus aroma bahaya. Samar-samar ia bisa mencium bau Rimo.

Huh, belum menyerah juga rupanya harimau nekad yang satu ini, gerutu Kiji dalam hati. Ketika aroma bahaya itu kian kuat tercium, Kiji langsung berlari sekencang-kencangnya.

Benar saja! Rimo kemudian pontang-panting mengejar Kiji. Tubuhnya yang besar tak mampu menandingi gesitnya tubuh Kiji yang ramping. Kiji seenaknya saja menyelip ke sana-sini, meloncat kian kemari. Di antara pepohonan, di antara rimbunnya semak belukar.

Makin lama Rimo makin jauh tertinggal. Dengan napas yang hampir habis pula. Akhirnya Rimo cuma bisa tergolek lemas di sela-sela rerimbunan semak. Ia lelah sekali. Dan juga sangat lapar. Sudah berhari-hari ia tidak makan.

Sebenarnya banyak juga hewan lain yang bisa dimangsanya. Mereka sebetulnya berada dalam jangkauan Rimo. Kemarin ada segerombolan rusa yang melenggang santai di depan hidungnya. Tiga hari yang lalu malah ada serombongan kerbau hutan yang gemuk-gemuk melintas di dekatnya.

Tapi semua itu sama sekali tidak menarik perhatian Rimo. Yang ada dalam pikirannya cuma Kiji, Kiji, Kiji, dan Kiji. Pokoknya kalau tidak Kiji, aku tidak mau makan, pikir Rimo keras kepala.

Tigo dan Maco sampai geleng-geleng kepala melihat begitu besarnya keinginan Rimo untuk menangkap Kiji. Diam-diam mereka juga prihatin melihat keadaan Rimo yang kian kurus kering.

“Sudahlah, Rimo,” kata Maco. “Makanlah apa saja yang bisa kamu jangkau. Sulit sekali untuk menangkap Kiji.”

“Sadari itu, Rimo,” sambung Tigo.

Tapi Rimo tetap menggeleng dengan teguh.

Pokoknya Kiji! Kiji! Kiji! Titik!” seru Rimo jengkel.

Rimo segera pergi meninggalkan kedua temannya. Langkahnya gontai.

“Dia bisa mati kalau tetap memelihara keinginannya itu,” bisik Tigo.

Maco menyetujuinya. “Ya, tapi mau bagaimana lagi? Kamu kan tahu sendiri Rimo itu keras kepalanya minta ampun.”

* * *

Apa yang dikhawatirkan Maco dan Tigo akhirnya menjadi kenyataan. Ketika mereka sedang berjalan ke telaga, mereka menemukan Rimo tergeletak begitu saja di bawah sebuah pohon besar. Napas Rimo tinggal satu-satu. Tapi ia masih bisa mengenali kedua temannya itu.

“Maco, Tigo, kaliankah itu?” bisik Rimo hampir tak terdengar.

Maco dan Tigo mendekat. Mereka iba sekali pada Rimo.

“Rimo, apa kamu benar-benar tidak mau makan makanan selain Kiji?” tanya Tigo.

Rimo mengangguk lemah. “Sebenarnya aku mau. Tapi sudah terlambat, kawan. Aku sudah tidak sanggup lagi.”

“Kami akan berburu untukmu,” ucap Maco. “Kamu tunggu saja di sini.”

Maco dan Tigo langsung menghilang ke balik rimbunnya perdu. Tak berapa lama mereka sudah kembali ke tempat Rimo terbaring. Susah-payah mereka menyeret seekor rusa besar yang sangat gemuk.

Tapi rupanya sudah terlambat!

Rimo sudah tidak bernapas. Tubuh kurusnya terbaring tak bergerak. Ia sudah mati.

“Rimo... Rimo...,” sesal Tigo. “Kamu ini punya keinginan aneh-aneh saja.”

“Sudahlah, Tigo,” Maco berusaha menghibur dengan suara sedih. “Seharusnya ia tetap makan makanan yang lain sambil menunggu waktu yang tepat untuk menangkap Kiji.”

“Padahal hutan ini kan penuh dengan makanan. Kan hutan ini isinya tidak Kiji saja,” Tigo masih juga menyesali nasib Rimo.

Diam-diam Maco membenarkan ucapan Tigo. Ya, untuk apa melepaskan sesuatu yang sudah pasti? pikir Maco. Hidup kan penuh dengan pilihan, bukan hanya untuk bermimpi! Masih banyak hal lain yang bisa dikerjakan untuk mewujudkan mimpi itu.

Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan lagi untuk Rimo, kecuali menyantap hasil buruan mereka. Dan setelah santapan itu habis, mereka kemudian meninggalkan Rimo dalam keheningannya.


* * * * *


10 komentar:

  1. Niat dan semangat ngga sesuai keadaan,... hehehehe... kasihan juga sih.

    BalasHapus
  2. Betul banget Mbak Lis, hidup bukan sekedar bermimpi. Met hari kartini ya bu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf balesnya telat, Bu... Met hari Kartini juga... (plus 2 hari, hehehe...)
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih kunjungan dan atensinya, Pak Subur...

      Hapus
  4. untuk apa melepaskan sesuatu yang sudah pasti?
    ---------
    siyap tan! hhohoho.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada yang sudah pasti kan?
      Makasih mampirnya, Mbak Putri...

      Hapus
  5. Ta'bookmark meneh mba!

    BalasHapus