* * *
Lima
Ketika Sunu muncul menjelang pukul sepuluh pagi keesokan harinya, suasana menyenangkan yang semula mewarnai nDalem Karyayudan perlahan menyurut. Semua yang sudah hadir terlihat menyambut, tapi tetap saja ada aroma ketegangan yang menguar tanpa bisa dicegah. Laki-laki itu datang bersama Izah, istri keduanya, tanpa ketiga anak mereka.
Sekian menit bergulir melewati pukul sepuluh, Pramudya muncul. Seperti biasa, ia sendirian. Di belakangnya, menyusul Wicak dan Tia, tanpa anak-anak mereka. Bersama keduanya, ada Santi, Hida, dan Arif.
Wajah Izah berubah masam begitu menyadari kehadiran Santi. Ia segera menyenggol lengan Sunu. Laki-laki itu segera berlutut dari posisi semula bersila di atas hamparan karpet, dan telunjuknya langsung mengarah ke Santi tanpa bisa ditahan.
"Mau apa kamu ke sini?!" ucapnya setengah membentak.
"Aku yang mengundangnya!" Partono balas membentak, memelototi Sunu. "Kowe ra sah kemaki!" (Kamu tidak usah banyak tingkah!)
Seketika Sunu mengkeret. Bagaimanapun, ia masih sangat menghormati sosok pamannya itu. Lagipula, bisa gagal niatnya kalau tidak bisa mengambil hati Partono dengan bersikap semanis mungkin.
Santi dan kedua anaknya duduk diam di dekat Tia, mengambil jarak terjauh dari Sunu dan Izah. Bila Sunu sudah tak mau lagi berusaha menutupi keretakan hubungan mereka, maka keinginannya hanya satu. Bercerai secepatnya dari laki-laki itu.
Karena kehadiran Trah Karyayuda sudah cukup lengkap, Partono sebagai sosok tertua pun membuka pertemuan itu. Diawali dengan doa menurut iman masing-masing, kemudian langsung pada intinya.
Ditatapnya Sunu. "Nah, sekarang bagaimana maumu?"
Sunu berdehem. Ia menunduk sejenak sebelum kembali mengangkat wajah dan menatap berkeliling. Lalu, ia mulai dengan basa-basi ucapan terima kasih dan lain-lain, hingga ....
"Aku bukannya iri atas kesuksesan kalian semua. Aku juga sadar bahwa bapakku pernah salah mengelola apa yang sudah jadi miliknya. Cuma ... aku melihat bahwa nDalem Karyayudan adalah pusaka keluarga. Seharusnya jadi milik semua, bukan hanya satu orang saja." Sekilas Sunu melabuhkan tatapannya pada Sancoyo.
"Maka kalau boleh," lanjut Sunu, "izinkan aku mengelolanya supaya nDalem Karyayudan bisa menghasilkan. Tidak hanya sekadar rumah tinggal yang suasananya sudah hampir mati."
"Maksudmu apa?!" Retno tidak bisa menahan suaranya agar tidak menggelegar. "Dari setiap pertemuan trah di sini, kamu yang paling jarang hadir! Ada saja alasanmu! Sekarang seenaknya kamu bilang suasananya sudah hampir mati! nDalem Karyayudan masih ada penghuninya! Ada masanya rumah ini ramai, ada kalanya memang harus sepi karena ditinggal sebagian penghuninya! Dunia tidak berhenti berputar hanya di sekitar rumah ini saja!"
"Maka dari itu aku ingin menghidupkan lagi suasana itu, Mbak." Dengan berani Sunu menantang tatapan Retno. "Aku juga keturunan Mbah Marsalam Karyayuda. Aku ada hak atas rumah ini. Lagipula dari awal, pembagian yang ditetapkan Mbah Salam sudah salah. Budhe Sadikah harusnya hanya menerima setengah dari jumlah yang diterima oleh Paklik Partono ataupun bapakku. Bukan sama rata."
"Loh! Itu, kan, terserah Simbah mau bagaimana hitungan pembagian warisannya!" Retno menukas. "Kok, kamu jadi mau mengatur seenak jidatmu?!"
"Tapi pembagian itu jatuhnya tidak sah, Mbak." Tiba-tiba saja Izah menimbrung.
"Heh! Kamu itu siapa?!" Retno menudingkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Izah.
Sancoyo, yang duduk tepat di sebelah Retno, dengan halus menurunkan tangan adik bungsunya itu.
"Siapa pun yang hadir di sini, semua punya hak untuk bicara, Ndhuk," ucap Sancoyo lembut.
Retno mendengus. Tak puas.
"Ya, seperti kata Izah, jatuhnya warisan tidak sah," Sunu mengulangi ucapan istri keduanya. "Kalau benar-benar dirunut, aku sebetulnya masih ada hak atas rumah ini, sebagai salah satu keturunan Mbah Salam."
"Jadi, kamu merasa begitu?" Hananto bertanya dengan suara rendah. "Terus Mas San dan Mbak Tina mau kamu suruh pindah ke mana kalau rumah ini mau kamu alih fungsikan? Mau kamu jadikan apa rumah ini?"
"Penginapan, restoran, apa saja yang bisa menghasilkan," jawab Sunu dengan nada di atas angin. "Lagipula aku tahu Mas San punya rumah mewah di Kalasan, Maguwo, dan Banguntapan. Tinggal pilih. Buat apa punya rumah di mana-mana kalau tidak ditempati?"
"Nggak pernah dengar yang namanya investasi, Mas?" cibir Pramudya. "Investasi buat anak-cucu, bukan buat hambur-hamburan pilihan lurah yang gagal sampai berkali-kali."
Seketika rahang Sunu mengatup rapat. Namun, ia tak punya kalimat yang cukup ampuh untuk membalas kesinisan Pramudya.
"Jangan cuma berani bilang bahwa mendiang Pakdhe Sudar sudah salah mengelola miliknya," lanjut Pramudya tanpa ampun.
Partono menatap tajam anak bungsunya. Mengirimkan pesan laki-laki itu agar menahan diri. Pramudya menghela napas panjang untuk mengumpulkan kembali kesabarannya.
"Seandainya, ini baru seandainya, kamu bisa mengelola nDalem Karyayudan sesuai niatmu, hasilnya nanti buat siapa?" Hananto kembali buka suara, menatap Sunu.
"Bisa buat bersamalah, Mas," jawab Sunu, kembali merasa di atas angin. "Tapi sebagai pengelola harusnya aku dapat bagian lebihlah. Ya ... hitung-hitung sebagai ganti kerugian aku kehilangan hak atas rumah ini kemarin-kemarin."
"Seandainya keseluruhan rumah ini dinilai dalam satuan persen," Hananto berucap lagi, masih dengan suara rendahnya, "bagianmu berapa persen?"
Segera Sunu membeberkan perhitungan menurutnya. Bahwa sebagai anak perempuan Marsalam Karyayuda, Sadikah seharusnya hanya berhak atas 20% nilai nDalem Karyayudan. Bahwa Sudarsono-mendiang ayahnya-dan Partono sebagai anak laki-laki, berhak atas masing-masing 40%. Dari 40% hak ayahnya itu, ia berhak atas setengahnya, sedangkan setengahnya lagi adalah hak Wicak, karena anak ayahnya hanya dua orang.
"Jadi ... 20% adalah hakku," pungkas Sunu, jemawa, "yang selama ini dipegang Mas San."
"Cuma 20%? Ndak kurang? Ndak minta tambah kompensasi?" Retno menanggapi dengan nada menyindir.
Sunu menatap Retno dengan sengit. Retno balas menatap tajam. Mengangkat dagu.
"Kalau Mas Sunu mau bikin restoran atau penginapan, seperti yang Mas bilang tadi," Pramita tak lagi mau berdiam diri, "modalnya dari mana, Mas?"
"Tenang saja, temanku ada yang mau jadi investor," senyum Sunu, masih dalam sikap jemawa.
Seketika Nika dan Karel bertatapan. Terlihat menahan geli. Dikiranya usaha gituan gampang, apa?
"Kalau gagal, apa agunannya?" kejar Pramudya. "nDalem Karyayudan? Sinting!"
"Ndak bisa, ya, kamu berpikir positif?" Nada suara Sunu mulai naik.
"Ini bukan masalah positif atau tidak, Om!" Nika menyahut, tak tahan lagi. "Merintis usaha restoran atau penginapan itu sama sekali ndak gampang. Besar sekali risikonya."
"Loh, untuk urusan pengembangan, kalian sudah ada pengalaman, kan? Kalau yang berdiri nanti restoran, kamu atau Maya bisalah membantuku." Sunu mengedikkan bahu. "Kalau urusan penginapan, Paramita tentu bisa bantu jugalah."
Kurang kerjaan! Pikiran itu seketika melintas di kepala tiga orang yang disebutkan Sunu.
"Wani piro, Om?" (Berani berapa?) Maya tertawa, setengah mencibir.
Tatapan Sunu mengeras. "Seperti ini yang mengaku Trah Karyayudan?! Katanya keluarga, membantu saja tidak mau!" ucapnya dengan nada menuntut.
"Heh! Lambemu ojo waton mangap!" sambar Retno. (Bibirmu jangan asal njeplak!) "Ketika kamu dan Wicak butuh tempat untuk tinggal setelah menikah, sementara apa yang kalian miliki tidak sebanyak sepupu-sepupu kalian, siapa yang merasa kasihan dan akhirnya meminjamkan tanah pekarangan mereka untuk kalian tempati?!
"Menyekolahkan anak itu kewajiban siapa?! Kenyataannya, siapa yang pada akhirnya menyekolahkan anak-anakmu?! Siapa juga yang membantumu keluar dari timbunan utang gara-gara kalah pilihan lurah?! Kalau bukan kami, saudara-saudaramu, keluargamu, siapa yang mau membeli secara tunai rumah-rumah kos dan kontrakanmu dengan harga di atas harga pasar?! Mikiiirrr!!!"
"Sudah, Ret, sudah ...." Sancoyo menepuk lembut punggung Retno. Berupaya menurunkan lagi tingkat kemarahan si bungsu.
Retno kembali mendengus. Makin tidak puas. Kalau saja bukan karena Sancoyo adalah abang yang paling dihormatinya, abang sulung yang selalu sabar, menyayangi, dan melindunginya sejak ia ada di dunia ini, barangkali sudah ditendangnya jauh-jauh Sunu dan istri keduanya keluar dari nDalem Karyayudan.
Ketika pembicaraan itu hendak berlanjut, Wicak membisikkan sesuatu kepada Partono. Sang paman segera mengangguk.
"Kita ambil jeda sejenak, ya," ucap Partono kemudian. "Ini sudah waktunya salat Jumat. Silakan bagi yang hendak beribadah."
Wicak segera berpamitan diikuti Arif. Sunu menyusul di belakang bersama Izah. Agaknya perempuan itu tidak merasa nyaman berada 'sendirian' di nDalem Karyayudan. Padahal sudah ada tempat yang sangat layak untuk menunaikan salat di rumah itu.
Ada ruangan khusus di bagian ujung deretan kamar-kamar di sebelah kanan, tempat para ART menunaikan salat tiap harinya. Ruangan kosong tanpa pintu itu cukup terang karena ada deretan kaca es blok di bagian atas salah satu dinding, terasa sejuk karena ada kipas angin gantung besar di langit-langit, sangat bersih karena Martina mewajibkan para ART-nya untuk merawat tempat itu setiap hari, dan sudah dilapisi pula dengan karpet tebal. Ke sanalah Martina menggiring Tia dan Santi untuk menunggu waktu salat zuhur. Hida tetap tinggal di tempat, karena ia sedang berhalangan.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar