Episode sebelumnya : Vendetta #4 : Burning Life
* * *
Journey Into The Dark
Gadis kecil itu termangu. Luka bakar di pipi kanannya mulai mengering. Sesekali nyeri itu terasa menggigit. Tapi ia tak sekalipun mau mengeluh. Ia hanya mau duduk tenang di tepi teras panti asuhan. Ada seseorang yang ditunggunya.
Perempuan cantik itu... Kenapa ia belum datang juga? Padahal perempuan itu sudah berjanji hendak menjemput. Dan ia termangu lagi.
Perempuan cantik itu... Kenapa ia belum datang juga? Padahal perempuan itu sudah berjanji hendak menjemput. Dan ia termangu lagi.
“Ayo, main!” seorang anak perempuan mendekatinya.
Vania menggeleng. Ia hanya menatap anak yang belari menjauh itu dengan sedih. Anak itu seusia Felitsa. Felitsa-nya yang sudah musnah terbakar. Ia tak ingat pernah melihat Felitsa ada di tempat yang sama di mana ia menggigil ketakutan dikelilingi sekian banyak orang jahat yang beteriak-teriak itu.
Tapi apa yang masih tersisa? Bahkan perempuan itu pun tak kembali.
“Vania...”
Suara lembut itu membuatnya terdongak seketika. Lalu senyumnya merekah. Menatap perempuan itu hampir dengan rasa tak percaya.
“Tante kembali?” bisiknya nyaris tak tedengar.
Perempuan itu mengangguk. Mengembangkan tangannya dan menenggelamkan Vania dalam pelukannya.
“Kita pergi, Vania,” ucapnya halus.
Dan Vania selalu mengingat hari itu sebagai hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya setelah seluruh kehidupan bahagianya terenggut paksa. Ketika ia mencoba untuk menengok ke belakang, Vania sudah mati. Yang ada adalah Angelita. Malaikat kecil. Nama indah yang diberikan perempuan itu. Yang tak lagi dipanggilnya Tante. Tapi dipanggilnya Mami.
Perempuan itu menyayanginya. Melimpahinya kasih sayang seluas lautan. Memberinya pipi baru yang halus. Menyempurnakan wajahnya yang asli cantik menjadi lebih cantik lagi. Menceritakan banyak hal yang entah memang harus diketahuinya ataukah tidak.
Angelita.
Angel.
Itulah dia kini. Perempuan berwajah malaikat yang begitu sempurna. Tapi dengan hati yang begitu gelap. Dengan sesekali muncul bara dendam yang tak penah bisa ditahannya.
“Dia pembunuh keluargamu, Angel,” Luita membisikkan kalimat itu.
Tak sekali dua kali. Bekali-kali. Hingga bara dendam itu tetap menyala. Terpelihara. Terpupuk nyaris setiap saat.
“Tak ada bukti, Mami,” ia mencoba untuk mengingkari kelam hatinya.
Luita mengangguk. “Ya, tapi aku tahu itu dia.”
“Kenapa Mami bisa begitu yakin?” tuntut Angel.
Luita menghela napas panjang. Tatapannya yang menyapu wajah Angel telihat begitu jauh. Membuat Angel sedikit terengah ketika mencoba menyelaminya.
“Karena aku bekas istrinya, Nak...”
Angel ternganga ketika mendapati betapa laranya nada suara itu tedengar. Ia hendak membuka mulut ketika Luita melanjutkan ucapannya. Masih dengan suara yang nyaris tak tejangkau pendengaran.
“Dia membuangku begitu saja setelah dia bosan. Memisahkan aku dari anak-anakku. Dia bukan manusia, Angel. Dia iblis. Yang tak pernah tersentuh hukum. Dan aku cukup kenal pola kelakuannya.”
Luita tertunduk. Seolah ada yang hilang dari hati Angel mendengar nada penuh luka itu. Ditatapnya Luita.
“Mami, kalau ada yang bisa kulakukan...”
“Nanti,” potong Luita cepat. “Akan tiba waktunya, Nak.”
“Kenapa dia menghabisi keluargaku, Mami?”
Luita menatap Angel. Lama. Menimbang harus berterus terang ataukah tidak. Tapi dilihatnya tatapan Angel begitu menuntut. Setelah semua rasa kehilangan itu, apa lagi yang harus disembunyikan?
“Perempuan itu bernama Sofia. Ibumu. Ferry menginginkannya. Tapi Sofia lebih memilih ayahmu. Tentu saja. Ayahmu bukan iblis seperti Ferry,” Luita mendecak. “Dan kejadian terakhir, Ferry kalah tender. Ayahmu yang menang. Secara bersih.”
“Lalu kenapa Mami bisa menikah dengan Ferry?”
Luita termangu sejenak. Rasa sakit itu kembali timbul. Menjalari setiap sudut hatinya dengan liar. Pelahan matanya menyala.
“Karena ibuku punya hutang usaha padanya. Dan hutang itu tak terbayar, Angel.”
Angel menatap Luita lekat. Dan Luita tahu arti tatapan itu. Perlahan dia menggeleng.
“Ibuku tidak menjualku, Nak. Tidak penah. Aku yang tak bisa membiarkannya melukai ibuku,” ucap Luita dengan airmata menitik.
“Mami...,” desah Angel.
Ia memeluk perempuan malang itu. Erat. Seakan ingin mengalirkan seluruh kehangatan dan sedikit sukacita yang dimilikinya pada perempuan itu. Luita balas memeluknya.
“Aku hanya menginginkan kematiannya, Angel, suatu saat...”
Angel menggigil. Seutuhnya dia menangkap ada dendam dan lara yang luar biasa dalam bisikan Luita. Ada yang seakan memukul-mukul hatinya. Berharap ia mampu melakukan sesuatu. Angel menelan ludah. Apapun untukmu, Mami... Apapun....
* * *
Dan pada akhirnya waktu itu datang. Ketika ia menelanjangi sisi binatang seorang Ferry Frianto. Dengan memikat jelmaan iblis itu dengan seluruh kemolekannya. Sekaligus mengirimnya ke neraka.
Ia tahu banyak orang bersorak di belakang kematian itu. Orang-orang pengecut yang hanya bisa menunggu orang lain untuk bergerak menuntut balas. Tapi ia tak peduli. Tangannya terlanjur berlumuran darah. Terasa manis. Semanis senyum Luita yang menyambutnya disertai tangis dan pelukan. Juga rasa terima kasih. Sebesar rasa terima kasihnya pada Luita.
Tapi seolah dendam itu tak pernah tuntas. Masih ada satu keturunan Ferry Frianto yang meneruskan bisnis berlumur lumpur hitam itu. Walau masih dengan pengalamannya yang hijau, tapi bukan tak mungkin dia akan sehitam ayahnya.
Hanya saja... Dia anak bungsu Mami..., keluh Angel. Seolah tak ada celah untuknya bergerak. Ia terhimpit. Dalam kegelapan dendam yang masih saja tersisa. Dan kegelapan tirai balas budi terhadap Luita.
Terlalu ringkih hatinya walau hanya untuk mengucap kata ‘seandainya’. Bagaimanapun kehidupannya sekarang adalah karena uluran tangan Luita. Dan sepenuhnya ia paham kerinduan Luita pada anak-anaknya. Walau tak juga ia bisa memahami mengapa Luita masih menunda untuk bertemu dengan anak-anaknya walau penghalangnya sudah mati.
Dan entah kenapa juga anak-anak itu seolah tak penah kehilangan ibunya. Entah apa yang sudah dijejalkan iblis Ferry Frianto itu di benak anak-anaknya. Semua terasa begitu menyedihkan untuk sekedar diangankan.
Angel menggeleng pelan. Tak semudah itu keluar dari kegelapan setelah dengan tepaksa ia menikmatinya selama betahun-tahun. Toh semuanya tak lagi menyisakan apa-apa. Tidak orangtua. Tidak juga saudara. Tidak juga harta.
Yang tersisa cuma seuntai kalung bermedali rangkaian berlian. Tali pengikatnya dengan masa lalu. Yang ia jaga baik-baik. Supaya tak lagi ada rasa kehilangan. Juga maminya. Luita. Yang sama berharganya dengan hari-harinya sekarang.
Betapa kelam itu telah melingkupinya begitu dalam. Entah kapan akan tersingkap.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #6 : Angel Or Devil?
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusSeperti biasa....tulisan mbak lis emang yahud...
BalasHapusJiaaa... eike jadi maluuu...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Retno...
Tsah !
BalasHapusBayangno jadi Vania ..... jadi Felitsa ......
Ngenese mba :'(
Mb Lis paling pinter ngucek emosi cene kok
Nggak usah dibayangno, Nit, diwoco ae hehehe...
HapusSuwun mampire yo...
si anak bungsu jangan dikerjain yaaa...
BalasHapuspliiiisss...
kasian...
Ng... Nggak janji hihihi... *macak iblis*
HapusNuwus mampire, Jeng...
Langsung njebur bookmark :)
BalasHapusHehehe... Nuwus, Sam...
HapusWauw keteter akeh aku dik.
BalasHapusMengko awan aku bali neh ya?
Maca neh saka part 1.
Backsound e mesti apik2 kaya ceritane ki :-)
Monggo, Mbak Tiwi... Matur nuwun...
HapusHiikksss..pokoknya sedih..
BalasHapusTrus gregetan sama iblis macam ferry itu, hiiihhh kezel kezel cyiinn #eh