Selasa, 16 September 2014

[Fiksi Fantasi] Taman Embun Di Balik Cermin





http://heavy-stuff.com/embun/embun.html


Setiap aku menatap cermin, aku hanya bisa menatap kehampaan yang seolah tak berujung. Membelenggu setiap hariku yang sama hampanya dengan tatapanku yang terpantul di seberang sana.

Aku sudah hilang tanpa sisa ketika cairan panas itu melelehkan kulit wajahku tanpa ampun. Ketika menyadari jadi apa aku sekarang aku hanya bisa meraung hingga aku kelelahan. Tenggelam dalam kegilaan yang tak bisa kuhindari.

Kadang-kadang aku melihat bayangan Davin berlayar di cermin seolah mengejekku tanpa ampun. Aku ingin membunuhnya, sumpah! Dia yang membuat aku kehilangan wajah hanya dua minggu sebelum pernikahanku dengan Julian. Dan aku bukan hanya kehilangan wajah ketika air keras itu disiramkannya padaku, tapi juga Julian. Julianku kehilangan kendali atas motornya. Semuanya oleng di luar kendali dan truk itu menghantamnya dari depan tanpa ampun.

Lalu aku meraung. Meraung tanpa henti karena nyeri dan luka hatiku kurasa tak akan pernah sembuh. Meraung dan meraung lagi ketika rinduku pada Julian terasa menyayat hatiku yang sudah hampir sepenuhnya terkoyak.

Aku ingin mati. Pernah kucoba pecahkan cermin itu biar potongan tajamnya bisa menyayat nadiku. Hingga tetes-tetes darahku akan segera terkuras habis dan aku bisa melayang pergi menyusul Julianku. Tapi cermin itu bergeming. Seolah terbuat dari intan paling keras yang tak mungkin tergores oleh kepalan tanganku yang kecil dan lemah.

Dan aku hanya bisa tergugu menatap cermin dengan fokus mataku yang memburam karena bola mataku pun tak lagi sempurna. Tergugu sepanjang hari tanpa mampu beranjak. Hanya mulutku yang perlahan menggumamkan sesuatu bagai litani. Membiarkan dinding tegak di sekelilingku menggemakan segala bunyi dan desah seolah orkestra yang mengiringi gumamanku.

Nella fantasia
io vedo un mondo giusto
Li tutti vivono
in pace e in onesta
... ... ...

* * *

“Aku menyukai suaramu...”

Seketika gaung orkestra yang meriuhkan telinga dan ruanganku mendadak lenyap. Aku seolah ditulikan oleh kesenyapan yang begitu saja muncul ketika cermin itu bicara padaku.

Cermin itu? Bicara padaku?

Perlahan aku menoleh. Makhluk bersayap kelabu itu melangkah begitu saja melewati ambang cermin. Bukan! Bukan malaikat yang cantik. Dia cuma... Seorang perempuan tua bersayap peri?

Aku ternganga. Bahkan hampir raibnya penglihatanku tak membuatku kehilangan visi untuk menerjemahkan bentuk makhluk itu. Aku melihatnya sejelas warna pelangi yang terpantul sempurna dari cahaya yang jatuh di atas prisma. Ada apa dengan mataku nyaris butaku?

“Kau cantik dan suaramu indah,” dia mendekatiku dengan langkah anggun berkharisma. Membuat bilik otak yang menyimpan semua perbendaharaan kataku seolah lumpuh.

Dengan lembut dia merangkum wajahku ke dalam telapak tangannya yang terasa hangat. Ditiupkannya sehembus napas yang tercium sangat wangi di hidungku.

Oriana mirabella,” bisiknya lembut.

Pelan ia memalingkan wajahku ke arah cermin Membuatku tertegun tanpa bisa kukendalikan.

Wajahku? Kembali? Bagaimana bisa? Aku mengerjapkan mata. Kukira pantulan wajah cantikku akan segera lenyap dengan sempurna, tapi nyatanya tidak. Aku masih tetap terdiam di seberang sana.

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” suaranya terdengar ringan menggema bagai gemerincing lonceng. Dan dia menarik tanganku dengan cepat. Seolah aku tak punya tenaga dan kemauan untuk menolaknya.

Dengan sekali meloncat bersamanya aku sudah menembus cermin dengan mudahnya. Aku merasa seperti melewati lapisan tipis air yang sejuk sebelum aku sampai di seberang.

Lalu aku masuk ke dalam sebuah tempat luas dengan cahaya redup memantul indah melalui ribuan butiran kristal yang tersebar di mana-mana. Lalu aku menyentuhnya kristal-kristal itu. Terasa dingin dan basah

Tapi tidak! Itu sama sekali bukan kristal! Itu adalah embun yang melapisi semua dimensi dalam ruangan itu. Ruangan yang seolah tak bertepi. Dengan segala sesuatu terbentuk dari embun berkilau berwarna-warni. Serupa taman atau Surga yang sebelum ini sama sekali tak terbayangkan olehku.

* * * 

Dan aku menemukan jendela itu. Selapis tipis air bagai tirai yang membatasi dunia tempatku berada dengan dunianya. Lalu aku melihatnya. Tertidur dalam bilik sempit dengan pintu berjeruji besi. Aku bisa melihatnya menembus dinding yang rapat memenjarakannya.

Aku tak lagi bisa menahan diriku untuk meloncat keluar melalui lapisan tirai air itu. Dalam sekejap mata aku sudah berada di depan laki-laki itu. Lalu aku membangunkannya dengan kasar.

Dia membuka mata dengan kaget dan menatapku tanpa mampu berkedip. Beberapa detik kemudian dia mengucek mata dan aku tetap di sini. Aku hanya berdiri di depannya dengan kemarahan yang seolah tak tahu berujung pangkal di mana. Dan perlahan wajahnya menjadi makin pias dan makin pias.

“Andromeda?” bisiknya dengan suara bergetar hebat.

Aku mendengus. Cecunguk ini punya rasa takut? Terhadapku?

“Bagaimana kau bisa...”

“Aku hanya ingin tahu satu hal,” desisku. “Kenapa kau lakukan itu padaku? Menghancurkan wajahku! Membuat Julian terbunuh! Membuat impianku hancur berantakan! Hanya dua minggu sebelum pernikahanku dengan Julian! Kenapa, Davin?! Kenapa?!”

Tanpa kuduga dia lantas bersimpuh di depanku dan menangis tersedu. Aku tersentuh? Tidak sama sekali! Hatiku sudah hilang bersamaan dengan hilangnya nyawa calon suamiku, Julian.

“Aku mencintaimu, Eda... Aku mencintaimu...”

Cinta? Alangkah absurdnya cinta hingga dia tega menghancurkan aku dan Julian hanya demi cinta tak jelas yang dia punya?

Aku mengibaskan tanganku sebelum berlalu meninggalkannya. Kibasan tanganku menimbulkan suara gemerincing tapi aku tak peduli. Aku sudah memperoleh jawabannya. Walau sangat absurd bagitu dan aku tak bisa memahaminya.

Kutembus tembok begitu saja dan aku menuju ke tirai air serupa cermin di luar ruangan yang memenjarakan Davin. Dengan sekali loncat aku sudah kembali ke Taman Embun.

Hm... aku tak tahu nama tempat ini. Tapi kusebut saja Taman Embun. Aku mengedarkan pandanganku dan tak kudapati perempuan bersayap kelabu itu di mana pun juga.

Lalu tiba-tiba saja di depanku sudah terbentuk lorong panjang yang diterangi pendar lembut cahaya warna-warni. Ada suara yang menggema dalam pikiranku. Membuat langkahku tergerak memasuki lorong indah itu.

Aku terus berjalan hingga tiba di ujung lorong. Dan aku ternganga. Ratusan bahkan mungkin ribuan manusia bersayap kelabu ada di sana. Berjalan. Berenang. Terbang. Bersenda gurau. Pada dunia luas yang luar biasa indahnya. Dunia luas yang luar biasa hening tapi sangat menenangkan.

“Andromeda...”

Suara itu? Aku menoleh dan mendapatinya tengah menatapku dengan sejuta kerinduan yang tak lagi bisa disembunyikan. Dia mengulurkan tangannya padaku dan aku menyambutnya tanpa ragu.

Pelan tangannya yang sebelah mengelus punggungku. Tidak! Bukan punggungku! Tapi sayapku. Aku melihat bayanganku terpantul pada selapis tipis tirai air di sebelah kananku. Aku, dengan sayap peri berwarna abu-abu muda.

“Kenapa?” desahku.

Dia menggeleng. “Aku juga tidak tahu.”

Aku mengerjapkan mata.

“Terbanglah bersamaku, Eda,” bisiknya lembut. “Kita jelajahi dunia ini bersama. Bernyanyilah untukku. Selamanya.”

Menolak permintaannya? Tidak akan pernah! Dan aku balas menggenggam tangannya. Julianku. Lalu kami terbang menembus keindahan Taman Embun.

Dalam keabadian...

* * *

Epilog

Pada pagi hari yang diliputi mendung tebal, seisi kota gempar dengan dua kejadian yang tak terjangkau akal. Seorang tahanan kepolisian kota ditemukan mati dengan ribuan pecahan tajam kristal berwarna-warni menembus kulitnya.

Di sisi lain kota, seorang gadis yang beberapa bulan yang lalu wajahnya hancur karena disiram cairan asam kuat oleh tahanan yang mati misterius itu, ditemukan sudah terbaring diam di atas tempat tidurnya. Tubuhnya sudah mendingin tapi seulas senyum membayang di wajah cantiknya.

Wajah cantiknya?

Tak seorangpun tahu kenapa itu bisa terjadi. Bahkan keluarganya pun tidak. Sebelumnya tak ada operasi plastik yang bisa memulihkan kecantikannya. Tapi pagi itu dia ditemukan mati dalam damai dengan wajah cantik yang seratus persen pulih seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dengan senyum bahagia menghiasi wajahnya.


* * * * *

Lagu latar : Nella Fantasia – Sarah Brightman


2 komentar: