Minggu, 17 Agustus 2014

[Cerpen] Sengkala Kebo Kemale






Apa?

Keisha hanya menatap ibunya tanpa bisa berucap apa-apa.

Ruwat1? Untukku?

Diam-diam Keisha tercekat.
           
Ini jaman apa? Masih musim, ya, mengadakan ruwat?

Tapi, Ibu menatapnya kukuh. Menghunjamnya dengan kalimat lugas tanpa ampun. Membuat Keisha makin tak mampu berkata-kata. Ia tertunduk diam di tempat duduknya. Pikirannya yang biasanya aktif kali ini terpaksa dibiarkannya kosong-melompong.

Sengkala2-mu itu namanya Kebo Kemale3. Kalau tidak di-ruwat, ya, sampai kapan pun kamu akan tetap berat jodoh. Pacaran bubar terus. Nggak ada gathuk-nya.”

Keisha mendadak merasakan pening menyerang kepalanya. Pelan dicobanya mengangkat wajah, menatap sesuatu yang tertangkap agak jauh di depannya. Sebuah cermin yang memantulkan bayangan diri seutuhnya. Sejujurnya ia tak paham apa yang dipikirkan Ibu tentangnya.

Tapi, semuanya berawal dari keinginan Gustaf untuk menyunting Peni, kekasihnya. Kalau hanya soal langkahan4, toh mereka sudah pernah melakukannya. Tak pernah jadi masalah besar buat Keisha, tapi seolah langit runtuh buat Ibu. Bagaimana tidak? Keisha, putri sulungnya, harus dilangkahi untuk kedua kalinya.

Lantas bagaimana nasibnya kelak?

Dua tahun yang lalu Keisha sudah dilangkahi Kayla, si nomor dua. Dan, kini Gustaf, si bungsu yang satu-satunya laki-laki itu, pun meminta hal yang sama. Lalu bagaimana nasib Keisha selanjutnya. Apa tidak makin berat saja jodohnya?

Keisha sendiri sepertinya nyaris tak peduli dengan urusan langkah-melangkahi itu. Ia terlihat suka rela dan ikut bahagia ketika Kayla melakukan upacara langkahan untuknya. Syarat yang dimintanya pun tak aneh-aneh. Hanya satu perangkat kebaya brokat beserta kain batiknya, sepasang high heels, dan sebuah clutch cantik yang sesuai dengan high heels-nya. Semuanya ia pakai pada acara pernikahan Kayla.
           
Tak pernah jadi masalah bila adik di bawahnya persis itu hendak menikah duluan. Toh, Kayla sudah cukup lama berpacaran dengan Sony. Dan, dari awal keduanya sudah kelihatan serius menuju ke masa depan. Baginya langkahan itu hanya seremonial belaka. Ia tak terlalu peduli maknanya. Sebenarnya tanpa langkahan itu pun hidupnya akan tetap berjalan terus.

Sekarang, ketika si bungsu Gustaf punya maksud yang sama dengan Kayla dulu, entah kenapa Ibu seperti mendadak kehilangan akal. Selain mengharuskan langkahan digelar kembali, Ibu juga menginginkan adanya upacara ruwat.

Keisha benar-benar tak melihat manfaat diadakannya upacara itu. Selama ini, toh, ia cukup nyaman dengan kehidupan yang dijalaninya. Calon pendamping? Tak mudah menemukannya. Tapi ia cukup percaya bahwa masih tersedia seorang laki-laki yang sepadan dengannya di luar sana. Tinggal menunggu waktu itu tiba. Dan, ia sama sekali tak mau diburu waktu itu.

“Ibu akan mencari hari yang tepat, Kei,” suara Ibu memecah keheningan. “Siapkan saja dirimu. Nggak usah ngeles macam-macam.”

Telak.

* * *

“Lagi?”

Keisha mengibaskan tangannya dengan sebal ketika mendengar gelak tawa Franklin menyambung tanggapan singkatnya.

“Pantas saja ibumu khawatir berat,” lanjut Franklin, masih menyisakan tawa. “Sekali sudah dilangkahi, mau dua kali, coba bayangkan!”

“Nggak perlu dibayangkan,” gerutu Keisha sambil menyuapkan sepotong spring roll ke dalam mulutnya. “Itu, kan, cuma adat, seremonial. Nggak pengaruh banyak buat hidupku.”

“Lalu gimana dengan nasib lima mantanmu...”

“Enam,” tukas Keisha, nyengir.

“Yup, enam." Franklin mengangguk. "Enam mantanmu yang tertendang dengan sadis itu? Apakah itu bukan jadi bukti bahwa memang ada sesuatu yang salah dengan auramu?” Tawa geli Franklin terdengar lagi.

“Hei!” Keisha melotot. “Aku nggak pernah menendang mereka, ya! Aku cuma memecat dengan nggak hormat.”

“Tetap saja sadis,” ledek Franklin. “Pilih-pilih tebu, dapat bongkeng, lho....”

Kalau bongkengnya seperti kamu, sih, nggak apa-apa, batin Keisha. Dan, ia tak bisa menghindar ketika tatapan Franklin mendadak mengunci tatapannya.

“Apa yang sebenarnya kamu cari, Kei?”

Keisha tak berkedip menatap Franklin. Walau harus berjibaku menahan debar jantungnya sendiri.

“Kamu sendiri,” ucap Keisha dengan suara rendah, “apa yang kamu cari?”

Franklin tertawa sambil menggelengkan kepala. “Orang dan waktu yang tepat.”

“Aha!” Keisha tertawa. “Aku kadang-kadang berpikir kita dilahirkan kembar dampit di masa lalu. Banyak sekali pikiran kita yang sama."

“Menikahlah denganku, Kei.” Senyum Franklin terulas tulus.

“Tunggu aku selesai diruwat dulu." Keisha tertawa sambil berdiri. “Aku ada meeting sejam lagi. Dan, aku belum lupa kalau hari ini giliranmu bayar. See you, Frank!”

Franklin menatap Keisha yang melenggang pergi. Orang dan waktu yang tepat, Kei.... Franklin mengulum senyum.

* * *

Keisha mulai bisa bersikap santai dan acuh-tak acuh dengan segala upaya Ibu mempersiapkan acara ruwatan untuknya. Dengan seluruh alam sadar dan bawah sadarnya, ia masih tak memercayai khasiat ruwatan itu buat dirinya. Dan, ia masih bisa bernapas lega karena hari baik yang sudah dihitung dan ditetapkan masih tiga bulan lagi. Sebenarnya mau detik ini, besok, tiga bulan lagi, atau tahun depan, ia merasa upacara itu tak bakal berpengaruh besar. Rasanya ia terlalu moderen untuk memercayai upacara yang terkadang dipikirnya berdasar pada sesuatu di luar nalar. Tapi... Ya, sudahlah, kalau itu bisa membuat Ibu tenang, kenapa enggak?

“Jadi aku harus memberimu apa, Mbak?”

Keisha menatap Gustaf yang baru saja mengusiknya. Berpikir-pikir. Menimbang-nimbang. Lalu senyum jahilnya terbit.

“Seorang pacar, barangkali?”

Tawa Gustaf meledak. Seumur hidupnya ia selalu bersyukur memiliki kakak seasyik Keisha. Seorang yang santai, begitu mendukung semua perbuatan baiknya, dan tidak pernah sok bossy. Dengan usia hanya terpaut tiga tahun lebih tua, Keisha selalu bisa jadi teman yang baik.

“Benar? Mau?” Mata Gustaf bersinar-sinar.

“Hahaha... Kalau kamu yang memberikan, berondong yang kudapat." Keisha tergelak.

Tapi, beberapa detik kemudian ia berubah serius. “Sudahlah, Gus. Apa saja akan kuterima dengan senang hati, kecuali barang busuk dan bau.”

Gustaf tersenyum. “Perhiasan mutiara mau? Lengkap seperangkat.”

“Hm... boleh juga...." Keisha mengangguk-angguk. “Yang bagus sekalian, yang mahal, biar rejekimu lancar.”

Gustaf tertawa lebar.

Ketika Gustaf sudah meninggalkan dirinya, Keisha duduk diam di atas kursi teras, menghadap ke taman kecil di depan rumah. Menikahlah denganku, Kei... Mendadak Keisha tersentak ketika kalimat itu terngiang begitu saja di telinganya. Ia menyipitkan mata.

* * *

Sebenarnya itu yang ia cari selama ini. Perasaan tenang. Perasaan nyaman. Perasaan damai. Semua didapatkannya dari Franklin. Seorang laki-laki matang yang sabar menunggunya hingga sampai pada saat yang tepat. Hingga ia menyadari apa yang sesungguhnya sudah disediakan Franklin untuknya.

Franklin tak pernah mengejar Keisha dengan ucapan cinta yang cuma semu tanpa makna. Ia hanya memberi dan menunggu. Merelakan dirinya hanya menjadi laki-laki ketujuh dalan kehidupan Keisha. Laki-laki ketujuh sekaligus terakhir, dengan memenangkan seluruh cinta Keisha.

Dan, dengan senyum yakin, laki-laki itu menghadap Ibu. Memintanya membatalkan semua rencana ruwatan terhadap Keisha karena Keisha tak lagi berat jodoh.

“Keisha tidak punya sengkala kebo kemale itu, Ibu,” ucap Franklin halus. “Dia hanya menunggu orang yang tepat pada saat yang tepat. Dan, untungnya dia menyadari itu di saat yang tepat juga.”

Ibu tersenyum lebar. Baginya Franklin bukanlah orang lain. Ia mengenal laki-laki itu beserta seluruh keluarganya karena selama ini mereka tinggal berdekatan.

“Lalu, kenapa harus menunggu sekian lama, Frank?” Ibu menaikkan alis matanya.

“Karena saya selalu percaya Keisha tidak akan ke mana-mana, Bu,” jawab Franklin tenang. “Keisha akan selalu kembali pada saya. Seperti selama ini, setiap dia selesai menendang mantan-mantannya, dia selalu lari pada saya dan saya yang pertama tahu.”

Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit untuk memahami jalan pikiran Franklin. Tapi, toh, segalanya sudah selesai. Ataukah baru mulai?

“Lalu langkahan itu?”

“Lakukan saja.” Keisha muncul dari belakang punggung Ibu, membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat dan sepiring bika ambon. “Aku nggak akan buru-buru nikah, kok, Bu. Biarkan Gustaf duluan. Masih banyak yang harus Franklin dan aku siapkan. Lagipula sayanglah kalau harus kehilangan seperangkat perhiasan mutiara dari Gustaf.”

“Matre,” ledek Franklin.

“Tapi kamu suka kaaan?” balas Keisha telak.

Franklin mengunci Keisha dengan tatapannya. Keisha tersenyum.

Mungkin benar sengkala kebo kemale itu benar-benar ada. Tapi tidak padanya. Ia hanya meyakini sesuatu. Sama seperti Franklin.

Orang dan waktu yang tepat.

* * * * *

Ilustrasi : pixabay, dengan kodifikasi.

Catatan :
1. Ruwat : upacara bersih diri.
2. Sengkala : semacam aura negatif yang perlu dibersihkan.
3. Kebo kemale (ada juga yang menyebutnya kebo kemali) : sengkala yang berkaitan dengan susah dapat jodoh.
4. Langkahan : upacara yang dilakukan sebelum adik menikah mendahului kakak/abang.

2 komentar: