Rabu, 09 Oktober 2013

[Cermis] Misteri Ketawa Setan







Mas Min mengumpat dalam hati. Sudah malam, bensin menipis, pom bensin kehabisan stok lagi. Huh! Menyesal juga dia, terlalu menggantungkan harapan pada pom bensin yang paling dekat dengan rumahnya. Rumah barunya, tepatnya.

Rumah mungil itu baru dibelinya bulan lalu, dan baru ditempatinya sepuluh hari ini. Diam-diam dia terharu sekali menatap wajah Marti ketika istrinya itu menatap rumah baru mereka. Betapa rona kebahagiaan bermunculan di wajah Marti, bagai kembang api warna-warni.


Dan Mas Min terpaksa mengumpat lagi. Motornya benar-benar mati total. Padahal rumahnya masih sekian puluh meter lagi. Dia baru sampai di ujung gang. Di depan sebuah rumah kosong tak terawat. Penuh dengan alang-alang dan beberapa pohon besar di halamannya.

Tanpa bisa dicegah seluruh tubuh Mas Min jadi merinding. Dia ingat omongan para tetangga barunya.

“Kalau bisa jangan lewat sana malam-malam, Mas Min,” kata Pak Parjan. “Serem! Ada penunggunya.”

“Iya, Mas,” Mas Didit membenarkan. “Suka kedengaran ada yang ketawa-ketawa gitu.”

Hasilnya, malam ini Mas Min jadi panas dingin. Selain mengumpati tangki bensin motornya, dia juga mengutuki keputusannya mengambil jalan pintas itu menuju ke rumahnya. Sebetulnya ada lagi jalan yang lebih ‘aman’, tapi memutar. Dan tadi, saking laparnya, dia sampai tidak bisa berpikir jernih.

Bukan baru kali ini saja Mas Min pulang kerja lewat depan rumah kosong itu. Selama sepuluh hari jadi warga sini, dia tiap pulang kerja selalu lewat situ. Tapi bukan malam-malam gelap seperti ini. Jam 5 sore kondisi ujung jalan itu masih terang dan lumayan ramai. Sepi kalau sudah menjelang maghrib. Dan makin senyap ketika gelap sudah benar-benar datang.

Halaman rumah kosong itu cukup lebar. Dari ujung kiri ke ujung kanan kira-kira 30 meter jaraknya.  Hampir berlari Mas Min mendorong motor matinya. Mulutnya komat-kamit merapalkan segala doa yang dia hafal. Entah kenapa dia memang sial betul. Mendadak angin kencang berhembus. Menimbulkan suara desau yang berasal dari gesekan pucuk-pucuk pohon.

Mas Min makin merinding. Sekarang dia benar-benar berlari. Dan ketika dia hampir sampai ke sudut yang lain dari halaman rumah itu, telinganya menangkap sesuatu.

“Ihihihihihiiiiii....”

Mas Min berlari makin kencang tanpa ba-bi-bu lagi. Seluruh bulu kuduknya berdiri tanpa bisa dicegah lagi.

* * *

Marti hampir terlompat dari duduknya ketika mendengar sesuatu menabrak pintu pagar. Dia melongok dan mendapati Mas Min datang dengan tubuh gemetar dan wajah pucat pasi. Motornya dibiarkan saja tergeletak di depan pintu samping.

“Ada apa sih, Mas? Kamu kok seperti baru melihat hantu begitu?”

“Sudah, Ti, jangan tanya-tanya! Minum, mana minum?”

Marti buru-buru menyodorkan semug teh hangat, yang langsung disikat habis Mas Min.  Setelah itu Mas Min terduduk lemas di kursi.

“Mas, ada apa? Itu motormu kenapa?”

“Mati. Bensinnya habis.”

“Heee? Lha kok bisa?”

“Ya bisa. Pom bensin yang di pertigaan itu tutup.”

“Terus, matinya dari mana?”

“Pas di depan rumah kosong itu.”

Marti kontan bergidik. Rumah kosong? Rumah hantu.

“Kamu ketemu hantunya, Mas?”

“Lha malah aku dengar ada yang ketawa-ketawa serem begitu.”

Marti langsung merapatkan duduknya ke arah Mas Min. “Ketawa serem gimana, Mas?”

“Ya ketawa setan begitu, Ti...”

Selama kenal Mas Min, Marti tahu suaminya itu orang yang jujur. Tak pernah bohong, apalagi cuma cerita bombastis dipanggil hantu. Mau tak mau Marti jadi merinding sendiri mendengar cerita Mas Min.

“Aku mandi dulu, Ti.”

“Ikut...”

Mas Min terbelalak. Tapi Marti menatapnya dengan serius.

“Kamu belum mandi?”

“Sudah.”

“Lha kok mau ikut mandi lagi?”

“Takut, Mas.”

“Waduh! Ya sudah, kamu ambil kursi, duduk di depan kamar mandi.”

“Jangan ditutup pintunya, Mas...”

Mas Min mengalah mendengar rengekan Marti. Dia tidak tahu apakah memang semua pengantin baru berlaku sama seperti dia dan Marti.

* * *

Berita Mas Min mendengar tawa hantu penunggu rumah kosong itu merebak ke mana-mana. Makin jauh makin heboh, karena sudah dibumbui macam-macam. Alhasil, gang panjang itu jadi makin sepi menjelang maghrib. Tak ada lagi ceritanya orang berjalan sendirian melintasi gang itu. Adanya selalu berombongan.

Ketawa setan ala hantu penunggu rumah kosong itu memang sudah pernah terdengar berkali-kali. Tak hanya satu-dua orang saja yang pernah mendengarnya, tapi sudah banyak orang. Makin tak ada orang pula yang berani melacaknya.

Dan malam ini Mas Min terpaksa melewati ujung gang depan rumah kosong itu. Jalan satunya ditutup karena ada orang hajatan. Tapi kali ini Mas Min tidak sendirian. Dia naik motor dengan bapak mertuanya ada di boncengan. Laki-laki tua itu baru saja dijemputnya di terminal.

Suara ketawa setan itu terdengar lagi. Betul-betul panjang dan lama. Mas Min seketika menarik gas motornya, membuat bapak mertuanya hampir terjengkang. Laki-laki tua itu mengomel panjang pendek. Tapi Mas Min memilih diam sambil tetap melajukan motornya.

Sampai di rumah, Marti sudah menunggu di teras. Dia berani karena ada beberapa tetangga yang menemani. Itu pun tak sengaja menemani karena ada yang mau berangkat dan pulang kondangan, dan mampir sejenak untuk bertukar sapa.

“Kalau caramu naik motor seperti itu, cepat celakanya kamu, Min,” gerutu bapak mertuanya.

“Maaf, Pak, daripada dikejar setan.”

“Huss! Kamu ini ngomong apa?”

“Bapak tadi nggak mendengar ada tawa setan di depan rumah kosong itu?”

“Oh... Iya memang.”

“Nah...”

“Sudah-sudah,” lerai Marti. “Pak, ayo istirahat dulu. Sudah Marti siapkan teh panas.”

Laki-laki tua itu menuruti kata-kata anak perempuan kesayangannya.

* * *

Selesai makan, Mas Min dan bapak mertuanya duduk-duduk di teras. Mereka mengobrol tentang banyak hal. Pak Tejo, si bapak mertua, selalu menganggap Mas Min seperti anaknya sendiri. Bahkan jauh hari sebelum Mas Min jadi menantunya. Pembawaan Mas Min yang dewasa dan sopan membuatnya seketika mengatakan ‘iya’ ketika Marti dulu mengatakan bahwa mereka sudah pacaran serius.

“Min, itu yang setan-setan di rumah pojokan sana itu, benar ada?”

“Saya sudah dua kali ini dengar ketawanya, Pak. Haduh, serem!”

“Aku kok nggak percaya itu suara setan.”

“Lha terus apa, Pak? Kuntilanak?”

“Hahahahaha... Kamu ini kebanyakan nonton film Indonesia. Nonton itu science fiction barat gitu lho!”

Mas Min terbengong ketika menyadari selera bapak mertuanya.

“Min, ayo kita buktikan!”

“Buktikan apa, Pak?”

“Ya setannya itu.”

“Hah?”

“Nggak berani...?” ucap Pak Tejo, setengah mengejek.

“Bukan begitu, Pak...”

“Kalau bukan begitu ya ayo!”

Mas Min garuk-garuk kuping. Pak Tejo menatapnya dengan mata menyipit.

“Lha wong manusia kok takut sama setan.”

Mas Min menyerah. Dia mengambil senter besar seperti yang diminta bapak mertuanya. Tak lama kemudian mereka sudah melangkah keluar. Di tengah jalan. Mereka berpapasan dengan Pak Anung dan Mas Bagas.

“Mau ke mana, Mas Min?” tanya Pak Anung.

“Ini, Pak, bapak mertua saya mau lihat hantu di rumah ujung jalan itu.”

“Haaa?” kontan Pak Anung dan Mas Bagas ternganga.

Mas Min meringis kuda lumping.

“Mari, Mas-mas,” Pak Tejo meneruskan langkahnya.

Mas Min buru-buru mengikuti langkah bapak mertuanya.

“Sebentar, Pak, Mas Min, saya kok jadi ikutan penasaran ya? Ikut ah!” Mas Bagas ikut di belakang Mas Min.

Di belakangnya lagi Pak Anung ikut juga. Berempat mereka berjalan menuju ke rumah kosong itu.

Gelap. Hanya ada cahaya samar yang berasal dari lampu di depan rumah keluarga Sarno. Mau tak mau Mas Min merinding lagi. Nyalinya menciut. Tapi malu juga terhadap bapak mertuanya yang dengan tegap meneruskan langkah.

Dengan gagah Pak Tejo membuka pintu pagar besi setinggi setengah meter itu. Lampu senter yang dibawanya disorotkan ke sana-kemari. Tanpa sadar Mas Min, Mas Bagas, dan Pak Anung saling merapatkan diri di belakang Pak Tejo. Saat senter yang dipegang Pak Tejo mengarah ke atas, tawa itu terdengar lagi.

“Ihihihihihiii...”

Hampir saja ketiga laki-laki yang berdiri saling merapat itu berteriak ketakutan. Tapi entah mengapa justru mulut dan langkah mereka terkunci rapat.

“Ihihihihihiii... Ihihihihihiii... Kuk geruk koook... Kok geruk koook... Ihihihihihihiii... Kuk geruk koook...”

Pak Tejo terbahak sambil menyorotkan senter ke atas pohon.

“Lha itu... Setannya...,” tunjuk Pak Tejo.

Mereka bertiga mengikuti arah telunjuk Pak Tejo. Ada sarang burung di atas sebuah pohon. Suara ketawa setan itu berasal dari situ. Mas Min tidak tahu apakah dia harus jengkel atau tertawa. Tapi ledakan tawa Pak Anung dan Mas Bagas membuatnya ikut tertawa juga.

“Itu namanya burung puter. Tadi waktu lewat sini pas dibonceng Min, aku sudah dengar suara itu. Gimana? Masih takut juga?”

“Wah, ya enggak, Pak,” jawab Pak Anung.

“Unik juga ya suaranya,” sahut Mas Bagas.

“Suara burung puter memang kedengarannya seperti ketawa manusia, Mas,” kata Pak Tejo. “Banyak di desa saya. Model suaranya itu ya macam-macam. Salah satunya ya seperti ketawa setan itu.”

Mas Min manggut-manggut. Tak ada lagi alasan untuk takut lewat di depan rumah kosong itu. Setidaknya, ‘tersangka hantu’-nya sudah diketahui.

“Coba nanti aku bilang Pak RT, biar di daerah sini diberi lampu,” celetuk Mas Bagas.

“Iya, sekalian usul kerja bakti membersihkan halaman rumah ini,” sambung Pak Anung.

Setelah menutup kembali pintu pagar, mereka melangkah pergi.

Yang mereka tidak tahu, ada sepasang mata menatap kepergian mereka dari balik jendela lantai dua. Ia, yang biasanya tertawa bersama dengan burung-burung puter.

* * * * *

(Ide cerita ini sudah pernah saya tulis dalam bentuk cerita anak, pernah dimuat di majalah Bobo, hanya saja saya lupa edisi berapa dan tahun kapan, begitu pula judulnya)



2 komentar: