Satu hal selalu dilakukan Kresna sejak Pinasti lahir. Merangkai mahkota bunga yang dipetiknya dari taman belakang rumah, khusus untuk Pinasti. Ya, untuk Pinasti, adik kesayangannya dan Seta.
Para anggota geng Buyar Kabeh berdiri berjajar dalam hening beberapa puluh sentimeter di belakang Taruno, Misty, dan Alma. Ketiga orang itu tengah duduk bersimpuh di depan makam Alda, yang masih tergolong baru dan belum dirapikan. Belum genap empat puluh hari Alda pergi.
Taruno dan Misty sama-sama mengistirahatkan tubuh lelah mereka, duduk bersisian di sofa. Taruno merengkuh hangat bahu Misty, sedangkan Misty merebahkan kepalanya di dada Taruno. Bersamaan, keduanya mengembuskan napas lega.
Taruno menatap putri yang kini tinggal satu-satunya itu dengan sedih. Alma tengah duduk di atas ranjang rumah sakit. Sibuk membuka-buka sebuah album foto keluarga yang kemarin sore diantarkan ke rumah sakit oleh sopir mereka. Dengan sabar, Misty menjelaskan satu demi satu siapa saja yang ada dalam foto itu dan pada kesempatan apa foto itu diambil.
Ketika Dokter Kana memberitahu bahwa kondisi Alma kembali stabil, saat itu juga Taruno percaya bahwa keajaiban itu masih ada. Bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan dan mengabaikan permohonannya. Dipeluknya Misty erat-erat.
Dalam hening malam yang sangat rapat melingkupi Bawono Kinayung, Paitun duduk diam di tepi pembaringan Pinasti. Menatap perawan sunti itu sembari membuang jauh-jauh kesedihan yang membelit hatinya.
Tak puas-puasnya Mahesa menatap Wilujeng yang terlelap dengan wajah damai di ranjang besar mereka. Ada sedikit gurat lelah dalam wajah Wilujeng, tapi tak mengurangi kesan damai itu. Ia tak lagi akan menempati ranjang besar itu sendirian saat beristirahat setelah sibuk bekerja seharian. Itu membuatnya sangat lega sekaligus bahagia.
Mahesa menghentikan langkah ketika lewat di depan kamar Kresna. Sudah hampir pukul dua dini hari. Pintu kamar itu terbuka lebar. Ketika ia melongok sedikit, senyumnya terulas. Kresna masih sibuk menghadapi kanvas lebarnya. Tak cuma ada Kresna dalam kamar itu. Tapi Seta juga. Terlelap di ranjang Kresna.
Sekuat tenaga Paitun menyerap aura kesedihan yang menguar di Bawono Kinayung dan membuangnya jauh-jauh dari tempat itu. Pada akhirnya perpisahan akan datang juga. Waktu tiga belas tahun sama sekali bukan masa yang pendek untuk mengikat rasa sayang pada Wilujeng dan Pinasti. Karena itu Nyai Sentini pun turut membantu Paitun mengurangi warna kelabu dan aroma perpisahan di tempat itu.
Pelan-pelan, Kresna mengeja kembali kehidupannya. Tapi masih terasa ada sedemikian besar ruang kosong dalam jiwanya. Entah semula berisi apa, ia tidak tahu. Sekuat apa pun ia berusaha mengingatnya, semua hal yang ia coba pikirkan itu kembali terpental pada sebuah situasi hampa.
Membaca adalah hobi saya banget. Dari kecil. Pas TK saya sudah bisa membaca. Masih grothal-grathul tentu saja. Dan itu bukan paksaan. Kan ada teman bermain dan belajar (Majalah Bobo) 😁. Entah dilanggankan Majalah Bobo mulai kapan. Yang jelas ibu saya kalo lagi masak sering saya rusuhi buat bacain Bobo. Itu sebelum saya sekolah. Udah dapet gilirannya terakhir (di-rayah kakak-kakak saya duluan gilirannya), belum bisa baca lagi. Akhirnya bisa juga membaca. Nulis belum bisa. Kayaknya baru TK ada latihan nulis huruf dan angka pakai titik-titik yang dihubungkan (atau saya belajar sendiri dari buku bergambar yang dibelikan Babeh? Saya lupa). Nanti kelas 1 SD belajar lagi baca-tulis. Nggak kayak SD jaman sekarang yang (kadang-kadang) pake ujian calistung dulu sebelum boleh masuk SD.
Mahesa sudah tak mampu lagi berkata-kata untuk menumpahkan rasa syukurnya. Ia hanya bisa memeluk erat anak laki-lakinya yang sempat beberapa hari tak diketahui nasibnya. Tak malu lagi orang-orang di sekitar melihat air matanya meleleh membasahi pipi. Demikian juga Seta. Baginya, Kresna bukan hanya sekadar saudara kembar, tapi juga sahabat dan penopangnya. Bahkan memiliki juga setengah jiwanya.
Sebesar apa pun rasa kehilangan itu, kehidupan yang masih tersisa haruslah tetap berjalan. Lagipula masih tersisa harapan bahwa Kresna akan kembali. Walaupun entah kapan. Sekilas Seta menatap Mahesa di seberang meja. Seorang ayah yang tegar dan kuat. Yang terkadang justru melemparnya kembali pada sepotong penyesalan.
Dengan kekuatan lebihnya sebagai seorang manusia abadi, Tirto membawa tubuh Kresna masuk ke dalam hutan bambu kuning. Pada sebuah pertigaan tersamar, ia berbelok ke kanan, masuk ke jalan setapak, dan terus menyelinap melalui rapatnya rumpun-rumpun bambu kuning. Janggo mengikuti langkahnya dengan setia.
Wilujeng menciumi sehelai kaus oblong Kresna yang semalaman dipakai pemuda itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun menyisihkan kaus itu dari tumpukan baju yang hendak dicucinya.
Mungkin tak akan berguna bagiku, tapi buat Pinasti...