Selasa, 19 Juni 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #11-2








Sebelumnya



* * *


“Besok gue berangkat ke Nawonggo bareng geng,” Alex menggigit butir-butir jagung rebusnya dengan sikap acuh tak acuh.

Lavia menoleh sekilas. “Lama?”

Masih dengan sikap acuh tak acuh, Alex mengedikkan bahu. Lavia kembali menekuni jagung rebus di tangannya sendiri.

Alex...

Lavia mengerjapkan mata. Entah kenapa ia merasa dekat sekaligus jauh dengan Alex, gadis manis berambut pendek itu. Ia sudah lupa kapan tepatnya ‘dekat’ dengan Alex. Yang jelas, ia pernah melihat bahwa kedekatannya dengan Alex akan bisa mendekatkan ia pada Kresna. Alex bersahabat dengan Kresna. Sangat dekat.

Dan, tak perlu waktu lama bagi Alex untuk mengetahui bahwa ia menyukai Kresna. Sangat. Tapi Alex tak pernah mengatakan apa-apa. Apalagi menjanjikan sesuatu. Kresna tetaplah Kresna yang baik hati pada semua orang, termasuk para gadis. Tak terkecuali dirinya. Sikap yang sama rata. Tak pernah ada yang dipandang istimewa.

Begitu dekat di samping Kresna ada sosok Seta. Sama-sama tampan. Sama-sama baik dan sopan. Sama-sama pintar. Tapi hatinya tak pernah bisa berbohong. Rasa itu tak pernah bisa begitu mudahnya berpindah dari Kresna pada Seta. Sekali lagi, ini masalah rasa. Yang ia tak mampu ungkapkan pada siapa pun. Termasuk Alex. Tapi entah bagaimana, rasa-rasanya Alex tahu perasaannya itu. Tapi gadis itu tak pernah bereaksi apa-apa kecuali mengulurkan persahabatan.

“Lo sakit hati banget, ya, dicuekin Kresna?”

Kalimat dalam nada sambil lalu itu mendadak menghantam kesadaran Lavia. Ditatapnya Alex, yang masih berlagak sibuk mengunyah butir-butir jagung rebus yang telanjur masuk ke dalam mulut. Sekilas ada nada mengejek dalam suara Alex. Membuat Lavia menajamkan tatapan matanya.

“Terus kenapa?” sambarnya dengan nada sedikit menantang.

Alex mengangkat alis. Mulutnya sudah berhenti mengunyah. Gadis itu balas menatap Lavia. Tersenyum masam.

“Kalau lo gak bisa dapetin Kresna, gue juga bisa bikin gak seorang pun cewek bisa dapetin dia.”

“Maksud lo?” mendadak saja alarm di kepala Lavia berbunyi.

Alex kembali mengedikkan bahu. Lavia menyipitkan mata. Entah kenapa, mendadak saja ia mencium aroma bahaya menguar dari diri Alex. Tanpa sadar, ia menggeser duduknya. Sedikit menjauh dari Alex.

“Lo kenapa, sih?” mendadak Alex menoleh. Menatap Lavia tajam. “Gue gak bakal apa-apain lo.”

“Tapi omongan lo serem, Lex,” gerutu Lavia.

Alex terbahak. Gadis itu kemudian berdiri dan mengibaskan debu yang menempel di bagian belakang celana jeans-nya. Gema suara Alex yang terdengar begitu berat dan dalam menerpa telinga Lavia sebelum Alex melangkah pergi meninggalkannya.

“Gue gak bakal sakitin lo, Vi. Gimana gue bisa sakitin lo kalau gue cinta sama lo. Dan... gue gak bakalan biarin Kresna sakitin lo lebih lama.”

Dan, ia baru mengerti apa arti ucapan Alex ketika mendengar Kresna jatuh ke jurang saat mendaki Gunung Nawonggo. Sebenarnya, ia tak mau menduga-duga. Tapi berita yang didengarnya terus berkembang, bahwa Alex-lah yang diduga sudah mendorong Kresna. Diikuti dengan kisah pelarian Alex yang berakhir mengenaskan.



“Selama berteman sama dia, nggak sedikit pun aku sangka dia...,” Lavia tertunduk. Tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

Seta yang berada lebih dekat dengan Lavia segera meraih gadis itu dan menenggelamkannya dalam pelukan. Kresna hanya mampu menghela napas panjang.

Jadi memang benar Alex penyuka sesama jenis...

Kresna mengerjapkan mata. Menatap Lavia yang masih terisak dalam pelukan Seta dengan sorot mata kosong.

“Demi Tuhan..., aku nggak pernah... menyuruhnya... mencelakakan... Kresna...,” Lavia berucap di sela-sela sentakan napasnya. “Aku... sendiri... kaget dengan... kenyataan ini.... Kusangka dia... hanya ingin... berteman..., bersahabat.... Tapi... ternyata.... Kalau aku tahu... akan begini... jadinya..., aku nggak akan... mau dekat-dekat... sama dia....”

Kresna segera menggeser duduknya. Diusapnya lembut bahu Lavia.

“Nggak ada yang menyalahkan kamu, Vi,” bisiknya. “Aku minta maaf, nggak bisa kasih kamu lebih, sesuai harapanmu.”

“Nggak... apa-apa...,” Lavia menggeleng, melepaskan diri dari pelukan Seta. Tertunduk. “Aku tahu... rasa nggak bisa... dipaksakan.”

Kresna menghela napas panjang. Alex... Astaga... Jadi begitu ceritanya?

Ia masih terdiam sampai Seta mengantarkan Lavia pulang. Baru tersentak ketika ada tangan yang menepuk lembut bahu kanannya.

“Ayah dengar pembicaraan kalian,” gumam Mahesa, duduk di sebelah anak laki-lakinya.

Kresna menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Menggeleng resah.

“Aku bukan sahabat yang baik,” erangnya lirih. “Seharusnya aku, atau kami semua, lebih tahu tentang Alex. Jadi nggak akan seperti ini akhirnya.”

“Kres, Ayah rasa soal itu masih jadi hal yang sensitif buat Alex,” ujar Mahesa. “Tidak semua hal bisa diceritakan pada seorang atau para sahabat. Sedekat dan seerat apa pun hubungan kalian. Jangan pernah merasa bersalah. Ya, kita semua memaafkan Alex. Pada kenyataannya kamu selamat. Masih bisa berada di sini, bersama Seta dan Ayah. Itu melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Apalagi saat ini kondisi Alex masih seperti itu. Kalaupun dia mampu bertahan, kita tak tahu seperti apa masa depannya. Kalau memang dia harus pergi, setidaknya kita semua sudah mengampuninya.”

Kresna mengerjapkan matanya yang mendadak saja terasa hangat. Soal pengampunan itu, ia tak perlu jauh-jauh mencari contoh nyatanya. Ayahnya sendiri sudah mewujudkan hal itu secara nyata. Pengampunannya pada Seta. Hal yang sama sekali tidak mudah, tapi ayahnya bersedia melakukan itu. Dan, mengingat hal itu, mau tak mau pikirannya berlabuh pada satu sosok.

“Ibu...,” gumamnya, nyaris tanpa gema.

“Ya?” Mahesa menoleh cepat.

Kresna mendegut ludah. “Entah kenapa... belakangan ini aku... merasa begitu dekat... dengan Ibu. Tapi sekaligus juga... sangat jauh. Entahlah,” pemuda itu menggeleng lemah.

Mahesa merengkuh bahu Kresna. “Ayah tahu rasanya. Mungkin Ayah sudah gila, tapi... Ayah selalu merasa Ibu masih ada. Sudah belasan tahun, Kres, tapi Ayah sama sekali tak bisa menghilangkan perasaan itu.”

“Bagaimana kalau Ibu kembali?” Kresna menoleh cepat. “Tiba-tiba saja... kembali?”

“Kita selamatan,” Mahesa tertawa, terdengar sedikit sumbang. Sekadar menutupi kesedihannya. Harapan itu entah kenapa semakin menjauh walaupun perasaaanya tak juga berubah. “Atau apa pun.”

Ada nyeri yang terasa menggigit hati Kresna. Kalau Ibu kembali... Dan, tanpa bisa dicegah, kerinduan yang sudah digulungnya selama bertahun-tahun atas nama cintanya pada seorang ibu terburai kembali. Terasa menyesakkan dada.

* * *

Kali ini, padang bunga itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Warna-warni keindahannya tetap sama. Hanya saja seolah diliputi kabut tipis berwarna kelabu. Wilujeng dan Pinasti pun duduk dalam hening di tepinya.

Pinasti meraih beberapa sulur bunga dan dedaunan yang ada di dekatnya. Pelan-pelan, tangannya merangkai bebungaan dan aneka daun itu jadi sebuah mahkota yang cantik. Tanpa kata, diletakkannya mahkota bunga itu di kepala Wilujeng. Perempuan itu seketika menoleh, sekaligus meraba kepalanya. Sejenak, diturunkannya rangkaian mahkota bunga itu dari kepalanya. Diamatinya baik-baik.

“Bagus,” gumamnya seraya tersenyum. “Cantik sekali! Kamu belajar merangkai dari mana?”

Wilujeng mengenakan kembali mahkota bunga itu di kepalanya. Pinasti terlihat tersipu malu. Pipinya ranum memerah.

“Aku... aku belajar dari pangeran... dalam mimpiku, Bu,” suara Pinasti melirih. Perawan sunti itu tertunduk malu.

Wilujeng tertawa sambil merengkuh bahu Pinasti.

“Ganteng pangeranmu?” goda Wilujeng.

Pinasti makin tersipu, menjawab malu-malu, “Iya...”

“Semoga suatu saat dia hadir dalam kehidupan nyatamu, Nduk...,” gumam Wilujeng, membelai rambut Pinasti. “Bisa menjagamu, bisa menyayangimu. Ngomong-ngomong, seperti apa penampakannya?”

Pinasti tertawa kecil sebelum menceritakan mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap kali mewarnai tidurnya. Tentang seorang pangeran tampan yang pandai merangkai mahkota bunga dan menempatkan mahkota itu dengan sangat manis di puncak kepalanya. Membuatnya merasa melambung tinggi dan seribu kali lebih cantik.

Wilujeng mengeratkan rengkuhannya. Bayi kecilnya sudah menjelma jadi perawan sunti cantik yang sudah mulai mengenal ketertarikan pada laki-laki. Tapi mendadak saja ia membeku.

Pangeran itu...

Ia memiliki dua orang pangeran di rumah. Entah sudah segagah apa sekarang. Pelan, dihelanya napas panjang.

“Kenapa, Bu?” suara lembut Pinasti membuatnya sedikit tersentak.

“Ibu... punya dua anak laki-laki, kembar,” gumam Wilujeng. “Entah sudah sebesar apa sekarang. Ceritamu tentang pangeran dalam mimpi membuat Ibu jadi teringat mereka.”

“Mereka seumurku?”

Wilujeng menggeleng, mendesah, “Lebih tua. Mereka sudah berusia delapan tahun ketika Ibu jatuh di jurang Pegunungan Pedut. Itu tiga belas tahun yang lalu. Berarti sekarang umurnya dua puluh satu. Sekitar itulah.”

“Oh...”

Hening sejenak.

“Pin, Ibu lapar. Kita pulang, ya?”

Pinasti mengangguk patuh. Sambil bergandengan tangan, keduanya kemudian kembali ke Bawono Kinayung.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)




3 komentar:

  1. Ttd presensi ndisek sak gurunge visite wkkkkkkkkk Nimbange awak disetrap wkkkkkkk

    BalasHapus
  2. Mas Kres aja deh yang jadi dosenku aja nanti, ya.

    BalasHapus