* * *
Dua Belas
Seutas Benang Nyawa
Dalam hening malam yang sangat rapat melingkupi Bawono Kinayung, Paitun duduk diam di tepi pembaringan Pinasti. Menatap perawan sunti itu sembari membuang jauh-jauh kesedihan yang membelit hatinya.
Orang-orang yang pernah ‘singgah’ di Bawono Kinayung selalu datang dan pergi. Selalu ada pertemuan dan perpisahan. Tapi Wilujeng dan Pinasti adalah sosok-sosok yang sangat istimewa baginya. Sosok-sosok yang sangat mengesankan.
Wilujeng sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Citra itu sudah muncul dengan jelas dalam benaknya. Membuatnya merasa lega. Tugasnya yang satu sudah selesai. Tinggal satu tugas lagi saat ini.
Pikirannya kemudian mulai bergerak. Menelusuri lorong-lorong kosong pikiran Pinasti. Dalam lorong-lorong kosong itulah ia akan meninggalkan pesan-pesannya. Satu demi satu. Tapi sebelum ia mulai, terdengar beberapa kali dengking pendek dari arah luar pondok. Paitun mengerjapkan mata.
‘Masuklah, Janggo,’ ujar pikirannya.
Dalam hitungan detik, ajak raksasa itu sudah ada di samping pembaringan Pinasti. Janggo duduk dan menatap Paitun.
‘Nini tidak bohong, kan? Aku tak akan kehilangan Pinasti, kan?’
Paitun tersenyum sembari mengelus kepala Janggo.
‘Tentu saja tidak. Mana pernah aku berbohong padamu? Sebentar lagi prosesnya akan dimulai. Kamu boleh tetap di sini. Tapi kamu diam, ya? Sampai benar-benar selesai!’
Janggo pun mengangguk patuh. Paitun kembali mengheningkan diri dan menjelajahi pikiran Pinasti. Ia sama sekali tak boleh salah kali ini.
* * *
Taruno dan Misty sama-sama tersentak ketika mendadak saja ada kesibukan di dalam ruang ICU selewat tengah malam. Jantung keduanya berdebar kencang. Apalagi ketika tirai jendela viewing gallery ditutup dari dalam. Tanpa sadar, Taruno dan Misty saling menggenggam tangan. Keduanya tergeragap ketika seorang dokter keluar dari dalam ruang ICU dan datang menghampiri.
“Bapak, Ibu,” dokter perempuan itu berucap halus. “Kami mohon maaf, kondisi Alma saat ini sangat kritis. Kami masih berusaha menstabilkannya. Tapi bila Bapak dan Ibu berkenan ingin mendampingi, kami persilakan.”
Misty tak tahan lagi. Tangisnya pecah dalam pelukan Taruno. Laki-laki itu memeluk erat istrinya. Membiarkan air matanya sendiri meleleh membasahi pipi sembari meratap dalam hati.
Ya, Tuhan... Jangan ada kehilangan lagi...
Keduanya belum lama memakamkan si sulung Alda. Baru beberapa hari lalu. Dan, kini si bungsu pun harus jatuh ke masa kritis setelah stabil berhari-hari?
Jangan, ya, Tuhan... Jangan!
Dengan menguatkan hati dan menegarkan diri, Taruno kemudian membimbing Misty masuk ke dalam ruang ICU. Setelah melapisi diri dengan jubah steril dan masker, keduanya pun mendekati ranjang tempat putri bungsu mereka terbaring dengan berbagai alat medis tersambung ke tubuh.
Misty segera menggenggam tangan kanan putri bungsunya. Taruno berdiri di seberang Misty, menggenggam tangan lain sang putri. Dengan sedikit gemetar, Misty mengusap lembut kepala putrinya.
“Jangan pergi, ya, sayang...,” bisiknya. “Jangan tinggalkan Ayah dan Ibu. Jangan menyusul kakakmu...”
Sementara itu Taruno tak lagi sanggup mengatakan apa-apa. Ia masih belum bisa menerima seutuhnya kepergian si sulung karena ulah gadis tak waras yang ngebut dan membuat mereka berempat celaka, tepat pada hari ulang tahunnya. Kado yang teramat sangat pahit untuknya. Pelan, ia membawa tangan kecil itu ke depan wajah. Dengan lembut, dalam hening, ia hanya bisa menciumi punggung tangan anaknya yang masih tersisa seorang saja itu.
Tiba-tiba...
TIIIT...
Sebelum menyadari apa yang terjadi, dua orang perawat dengan lembut membawa Taruno dan Misty keluar dari ICU, agar dokter lebih leluasa melakukan tindakan. Misty sempat berontak dan meneriakkan nama putri bungsunya berkali-kali. Sekuat tenaga Taruno berusaha memeluk dan menenangkan Misty, kendati ia sebetulnya juga ingin melakukan hal yang sama.
Di luar ICU, keduanya kemudian berpelukan erat dan menangis tersedu.
* * *
Pinasti seolah-oleh melayang dalam ruang kosong luas dan gelap. Tak ada sedikit pun cahaya di sekitarnya. Tapi ada suara-suara yang terus berdengung dan menggema di telinga. Suara yang sama sekali tak dikenalnya, namun terasa akrab di hati.
‘Pinasti sayang, kamu akan segera kembali ke atas.’
Hah?
‘Pinasti sayang, tempatmu ada di dunia atas, bukan di sini.’
Maksudnya?
‘Pin, kehidupanmu akan berubah. Akan ada dua orang yang sangat menyayangimu. Ayah-ibumu. Kembalilah pada mereka.’
Ah...
‘Tapi kamu bukan lagi Pinasti. Namamu Zervia Almandine Garnet.’
Siapa?
‘Kamu akan mulai membiasakan diri dengan kehidupanmu yang baru. Selamat jalan, Pinasti sayang...’
Apa lagi ini?
‘Tapi sebagian jiwamu masih akan tertinggal di sini. Hanya sebagian kecil. Selebihnya milik kehidupanmu yang baru. Selamat belajar. Selamat jalan...’
Bersamaan dengan itu, ia melihat ada setitik cahaya di depan sana. Ia mencoba ‘berenang’ ke arah itu. Tapi tak perlu mengeluarkan tenaga. Cahaya itu seolah menyedotnya. Sangat kuat. Sekaligus terlihat makin terang dan makin terang.
Pada suatu detik cahaya itu begitu menyilaukan mata. Lalu kembali gelap. Hanya saja tak lagi hening. Ada suara ritmis yang terdengar sangat teratur di dekatnya.
Ah... Kenapa lagi aku?
Dicobanya untuk membuka mata. Tapi sulit sekali. Seolah ada beban sekian ton membebani kelopak matanya. Maka, ia memutuskan untuk diam. Pada saat itu, terasa sekali ada udara segar yang disemburkan secara teratur memenuhi dadanya. Sekitarnya masih juga gelap.
Aduh... Di mana lagi ini?
* * *
Paitun menghela napas lega ketika proses itu selesai. Sebagian besar jiwa Pinasti sudah menempati raga yang benar. Perawan sunti itu akan baik-baik saja, seperti yang dijanjikan Gusti. Perempuan itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tersenyum ketika melihat Janggo masih setia di tempatnya duduk tadi, di sisi pembaringan.
‘Nah,’ Paitun menatap Janggo. ‘Sekarang giliranmu untuk mendapatkan kembali Pinasti. Pesan Nini, jagalah Pinasti baik-baik, seperti kamu selama ini sudah menjaganya. Sayangi dia dengan segenap jiwamu. Janji?’
Janggo mengangguk sembari mendengking girang. “Aku janji, Ni. Akan kujaga Pinasti selamanya.’
Paitun kembali tersenyum sambil menepuk lembut kepala Janggo. Perempuan itu kemudian kembali memejamkan mata. Kedua tangannya terangkat, dan membuat lingkaran besar di udara. Kabut putih pun datang memenuhi bilik itu. Tebal, membuat segalanya tak lagi terlihat. Selama beberapa saat kabut itu mengambang di udara, sebelum akhirnya menipis dan menghilang.
Janggo hampir saja tak bisa menahan dengking riangnya ketika kabut itu seutuhnya bersih dari dalam bilik. Dengan mata berbinar, ia menatap pembaringan. Tangan Paitun turun perlahan. Berakhir dengan gerakan mengusap lembut kepala Pinasti.
Lalu, perawan sunti itu membuka mata. Bentuknya sudah berubah menjadi seekor ajak berwarna putih bersih yang sangat cantik.
‘Selamat datang kembali, Pinasti sayang...’
Paitun memeluk ajak putih yang ukurannya sedikit lebih kecil daripada Janggo itu.
‘Nini? Janggo?’
Pinasti mengerjapkan mata sambil beringsut turun dari pembaringan. Janggo kini mendengking senang. Dengan kedua cakar depannya yang besar, dipeluknya Pinasti.
‘Pin, ayo, main!’
Pinasti pun menyambutnya dengan dengking riang. Paitun tersenyum lega ketika sepasang ajak itu berlari keluar dari pondok setelah berpamitan.
‘Semua berjalan dengan baik, Gusti... Saya siap menerima tugas baru lagi...’
Sayup-sayup, terdengar bunyi gemuruh guntur di kejauhan, diikuti lolongan bersahutan Janggo dan Pinasti.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Wah... Akhirnya ketemu Alma.
BalasHapusHurung dishare gek wa i ? Mampir rene ndisek pumpung arek² hurung tangi wkkkkkkk
BalasHapusHeluuuuuuk ganyongko blas Pinasti isok dadi ajag sisan. Ciamik pol soro cerbungmu iki nyah.
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Good post mbak
BalasHapusijin nyimak mbak
BalasHapus