Sebelumnya
* * *
“Mas...,” Pinasti melepaskan mahkota bunga dari kepalanya sambil terus melangkah masuk ke arah lokal TK.
Gadis kecil itu menyerahkan mahkota bunganya pada sang abang. Kresna menerimanya sambil tersenyum.
“Ini disimpan di mobil saja, ya,” celoteh itu berlanjut. “Nanti pulang aku pakai lagi.”
“Kalau layu, bagaimana?”
“Ng...,” Pinasti berpikir sejenak. “Mas bikinin lagi, ya?”
Kresna tertawa. “Oke, princess...”
Pinasti pun tertawa riang. Sebelum menyerahkan si kecil pada gurunya yang sudah berdiri menunggu di lobi, Kresna menyempatkan diri berlutut sejenak untuk merapikan poni Pinasti yang pagi itu rambut bagian belakangnya diikat tinggi model ekor kuda.
“Jadi anak manis, ya?” pesan Kresna lembut. “Sun Mas Kresna dulu.”
Sebuah kecupan ringan segera saja mendarat di pipi kanan Kresna. Laki-laki itu tertawa seraya berdiri kembali. Kemudian diserahkannya Pinasti pada gurunya.
“Wah... Pinpin diantar Mas, ya?” sambut guru perempuan seusia Wilujeng itu. “Senangnya...”
Si gadis kecil tersenyum manis sambil mencium punggung tangan gurunya. Kresna pun berpamitan pada guru itu. Sempat melambaikan tangan pada Pinasti sebelum berbalik, kembali ke mobil.
Kresna menatap sejenak mahkota bunga mungil di tangannya sebelum meletakkannya di jok sebelah kiri. Ia tersenyum simpul. Agaknya mahkota bunga itu akan layu nanti pada saat ia menjemput Pinasti. Tapi, ia sudah punya rencana.
* * *
Suasana ruang kuliah sudah cukup meriah ketika Alma dan Riska masuk ke dalam. Padahal jam kuliah masih akan dimulai sekitar setengah jam lagi. Rupanya para muda-mudi dalam ruangan itu masih dilanda aroma kemaruk ingin mencicipi status baru sebagai mahasiswa. Setelah menghempaskan tubuhnya ke sebuah kursi, Riska segera terlibat obrolan asyik dengan teman-teman di sekelilingnya. Sementara, Alma masih menyimpan suaranya.
Entahlah, rasa-rasanya ia hanya ingin melambungkan lamunannya saja saat itu. Apalagi ketika beberapa saat lalu, secara nyata ia melihat mahkota bunga bertengger di kepala seorang gadis cilik usia TK. Ia ingin melamunkan mahkota bunganya, pangerannya, dan suasana teduh yang selalu melingkupi mereka dalam mimpi.
Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Samar, Alma menghela napas panjang.
Saat masih duduk di SMP dan SMA, tentu saja ia banyak berteman dengan para cowok. Bersahabat dengan Dondit, Binno, dan Gamaliel. Selain tiga orang itu, hanya sekadar teman. Tapi coba dicarinya juga sosok pangeran dalam mimpinya di antara para sahabat dan teman lelakinya. Hasilnya? Nihil. Senihil-nihilnya. Walaupun beberapa mencoba nekad mendekatinya dengan segala cara.
Siapa pangeran itu, ia tak pernah tahu. Hanya bisa berharap hatinya akan menuntun nanti, saat mereka benar-benar bertemu. Walaupun pertemuan itu pun masih berupa angan tinggi di awang-awang baginya.
Ia tersentak ketika mendadak saja telinganya menangkap ada yang menyebut namanya. Ia menoleh sedikit. Mendapati Sadewa nyengir sambil menatapnya. Cengiran itu menampakkan gigi putih rata bagaikan bintang iklan pasta gigi.
“Huuu...”
Teman-teman mereka segera menyahut entah apa yang diucapkan pemuda itu, dengan cemoohan panjang.
Sadewa cengegesan, sementara Alma, yang namanya disebut-sebut, hanya menanggapi dengan wajah datar. Itu karena Alma benar-benar tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Ia terlalu tenggelam dalam lamunannya.
“Lu doyan, Alma ogah,” Riska menyergah tiba-tiba, menatap Sadewa.
Mereka masih akan menyambung tawa dan obrolan itu ketika seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Alma tak seberapa memerhatikannya. Ia justru menoleh ke arah Riska.
“Tadi ngomongin apa, sih?” bisiknya.
“Ssst...,” tatapan Riska lurus ke depan.
Alma mengerucutkan bibir. Sedikit gondok karena Riska mengacuhkan pertanyaannya. Bersamaan dengan itu, sebuah map tersodor ke depannya. Cepat-cepat ia menggoreskan tanda tangan pada lembar presensi itu, kemudian menggesernya ke arah Riska. Setelah itu ia pun menegakkan punggung, menatap lurus ke depan. Dan...
Rasa-rasanya ia tak lagi mampu berkedip saat menatap laki-laki yang berdiri di depan kelas itu.
Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, dibalut setelan kemeja lengan pendek dan celana panjang berpotongan klasik berwarna hitam. Warna yang membuat kulit sawo matangnya terlihat jadi lebih bersih dan cerah. Wajahnya yang dihiasi kacamata berbingkai titanium tampak segar dan tampan. Ada wibawa sekaligus semangat memancar dari sorot mata dan bahasa tubuhnya.
Alma tercekat. Sesuatu menyentakkan hatinya. Orang itu...
Pangeranku... Ya, Tuhan... Itu pangeranku!
* * *
Sebelum mematikan mesin mobil, Kresna menatap sejenak deretan gedung yang menjulang di seberang area parkir. Gedung-gedung yang seolah punya magnet kuat dan menariknya agar tetap berada di sana setelah menamatkan jenjang sarjana dan magisternya. Tahun ini adalah awal tahun ketiga ia mulai mengajar secara penuh di almamaternya.
Semoga nanti bisa sampai doktoral, doanya dalam hati.
Dengan wajah cerah ia kemudian keluar dari mobil dan mampir sejenak ke ruangannya di Gedung C lantai tiga. Sebuah ruangan bercat coklat susu muda berukuran 3x12 meter yang ditempatinya bersama dua orang dosen lain. Ruangan itu masih sepi ketika ia menyelinap masuk dan duduk di depan mejanya. Meja yang masih bersih, bebas dari berkas-berkas. Disempatkannya untuk kembali memeriksa jadwal. Benar, ia ada kelas pukul tujuh pagi ini.
Sejenak ia tercenung.
Ini adalah kali kedua ia mengajar kelas baru dengan harapan menggunung di hati. Selama ini, ia hanya mampu tersenyum simpul ketika digoda rekan-rekan dosen yang juga mantan dosen-dosennya dulu. Apalagi kalau bukan soal ‘gandengan’?
Mereka mengenalnya sebagai sosok laki-laki muda yang adhem ayem tanpa banyak tingkah. Ramah pada semua orang. Tapi gadis yang istimewa? Setidaknya mereka belum pernah mendengar Kresna punya pacar.
Satu-satunya gadis yang pernah sedemikian dekat dengan Kresna hanya seorang saja. Alexandra. Sahabatnya. Tapi gadis itu sudah lama pergi dengan meninggalkan tragedi yang dibumbui aneka desas-desus. Hanya mampu bertahan dua bulan saja setelah kecelakaan hebat yang dialaminya, kemudian berpulang tanpa pernah sadar kembali. Sedangkan ada apa di balik kesendiriannya, hanya Kresna seorang yang tahu.
“Ngajar pagi, Mas?”
Kresna tersentak. Ia menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan berusia lima puluhan dengan dandanan apik menyembulkan diri dari sela-sela pintu. Tersenyum lebar. Kresna segera berdiri dan mendekati perempuan itu.
“Iya, Bu Hetty,” jawabnya sembari menyalami perempuan itu, dosen yang dulu jadi pembimbing skripsinya. “Ibu juga?”
“Nanti, jam sembilan.”
Setelah berbasa-basi sejenak, Hetty kembali melangkah. Menuju ke ruang kantornya yang berada tepat di sebelah ruangan Kresna. Sekilas Kresna melihat arlojinya. Pukul tujuh kurang sepuluh menit lagi. Ia harus mengajar di lantai tiga Gedung D. Maka, ia pun segera kembali ke meja untuk meraih tas.
Dengan langkah cepat ia menyusuri koridor lengang di antara ruang-ruang dosen. Tujuannya adalah sayap selatan Gedung C. Ada jembatan yang menghubungkan lantai tiga Gedung C dan D.
Sembari melangkah, ia kembali membebaskan lamunannya. Lamunan yang entah kenapa kali ini seolah membuat jantungnya serasa terhentak-hentak.
Sejak tahun lalu ia sudah menghitung. Seharusnya ‘dia’ sudah berusia sekitar 17 tahun. Harapannya adalah menemukan ‘dia’ di antara mahasiswi baru yang akan diajarnya. Tempat lain? Ia menggeleng samar. Hatinya mengatakan bahwa kampus tempatnya mengajar adalah tempat yang tepat untuk menemukan ‘dia’. Tahun lalu meleset. ‘Dia’ belum juga ditemukannya.
Semoga tahun ini... Kalau tahun depan?
Ia meringis sekilas. Bisa jadi hitungannya memang tidak tepat, alias meleset.
Semua berawal dari mimpi-mimpi yang nyaris tiap malam menghampirinya sejak ia kembali ke rumah, setelah sempat beberapa hari menghilang seusai diterjunkan ke jurang oleh Alex. Mimpi tentang padang rumput yang mengesankan. Mimpi tentang padang bunga yang indah. Mimpi tentang hutan bambu kuning. Mimpi tentang danau bening dengan ribuan ikan di dalamnya. Mimpi tentang matahari terbenam yang ditatapnya dari puncak sebuah bukit.
Ia sudah mengabadikan semua mimpi itu ke dalam beberapa lukisan yang kini menghiasi rumah orang tuanya. Lukisan-lukisan yang membuat ibunya betah berlama-lama menatap dan menikmati setiap milimeter warna yang bersemburat di sana.
Tapi ada satu mimpi yang tak pernah diabadikannya dalam lukisan. Mimpi yang hingga detik ini masih ia simpan untuk dirinya sendiri. Mimpi tentang seorang gadis muda yang setiap saat selalu dihadiahinya mahkota bunga aneka warna. Gadis muda yang masih berusia awal belasan dan baru mekar.
Makin ia menolak mimpi tentang gadis itu karena dianggapnya masih terlalu muda baginya, makin sering juga mimpi itu menghiasi tidurnya. Hingga pada satu titik ia sadar, bahwa seluruh hatinya sudah tertambat pada gadis itu. Gadis bermata coklat bening yang mampu membuatnya tenggelam dalam kedamaian. Gadis dengan senyum samar dan malu-malu yang mampu menggetarkan hati. Gadis yang, sayangnya, ia tak tahu siapa dia. Bahkan wajahnya pun hanya serupa bayang-bayang baur dalam ingatan. Hanya mata bening dan senyum samarnya saja yang melekat begitu kuat dalam benak dan hati.
Diembuskannya napas panjang ketika kakinya sudah menapak ke selasar lantai tiga Gedung D. Ruang kelas yang ditujunya tak jauh lagi. Pada waktu yang tersisa itu, dicobanya untuk meraih setiap ketenangan yang saat itu seolah berhamburan secara acak di sekitarnya. Sekali lagi, ia mengembuskan napas panjang ketika pintu ruang yang ditujunya sudah ada di depan mata.
Beberapa detik kemudian, ia melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah tegak dan yakin. Tanpa menyadari bahwa pada detik itu juga, proses perubahan kehidupannya telah dimulai.
* * *.
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Wooaahh jadi yang datang dari Bawono Kinayung hanya jiwanya Pinasti si perawan sunti. Ah, harus baca lanjutannya lagi nih.
BalasHapusWanyik motonge adegan rek ! ��
BalasHapusGood post mbak
BalasHapus