Kuhembuskan napas keras-keras sambil menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Pening. Letih. Kurang tidur. Dan lain sebagainya. Semuanya bertumpuk jadi satu.
Entah sudah berapa lama Swandito tertidur.
Yang jelas ia terjaga dengan perut terasa keroncongan. Ia menyipitkan mata ke
arah jam dinding. Sudah pukul dua siang.
Udara cerah Jogja sore hari menyambut
Swandito ketika turun dari pesawat yang ditumpanginya dari Denpasar, menyambung
perjalanannya dari Perth. Tapi semua itu sungguh berbanding terbalik dengan
suasana hatinya. Deretan huruf dalam BBM yang kemarin dikirimkan Dahlia seolah
terus bermain di depan matanya.
Dahlia berbaring berdampingan dengan Srikandi
di ranjang besar itu. Tanpa sadar Dahlia mengulum senyum ketika membayangkan
bahwa pastilah setiap ayah dan ibunya menempati ranjang itu bersama-sama, ayahnya
akan menempati tiga per lima lebar ranjang itu, sementara ibunya hanya mendapat
jatah sisanya.
Srikandi mengerutkan kening ketika melihat
ada mobil lain mengikuti mobil Priyo yang masuk ke garasi. Dan keningnya
berkerut makin dalam ketika melihat Dahlia turun dari mobilnya sambil menenteng
sebuah travel bag.
“Mau ke mana?” tanyanya langsung, menatap
Dahlia. “Kok bawa-bawa tas besar?”
Dahlia pelan-pelan membuka matanya. Bagian
ranjang di sebelahnya sudah kosong. Dahlia tersentak. Ia segera bangun dan
mendapati bahwa dua buah kopor besar dan dua buah travel bag yang sudah disiapkan sendiri oleh Swandito semalam, begitu mereka pulang dari peringatan 40 hari mendiang Wulansari Rumekso, sudah lenyap dari sudut
kamar.
Waktu terus berputar dan seluruh rangkaian
acara pernikahan Seruni dan Hazel terus mendekat. Segala urusan perawatan calon
mempelai perempuan sudah diambil alih sang dhukun
manten, membuat Dahlia bisa mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Seisi mobil dan segalanya di luar kaca seakan
berputar di mata Swandito begitu Karsiman meluncurkan mobil meninggalkan rumah
Rengga. Ia merebahkan sedikit sandaran jok, kemudian hanya bisa duduk bersandar
sambil memejamkan mata.
“Bapak mau saya antar ke dokter?” suara
Karsiman terdengar mengandung kekhawatiran.
Swandito menggeleng samar tanpa membuka
matanya. “Ndak usah, Pak. Langsung
pulang saja. Aku cuma butuh istirahat.”
Entah kenapa Dahlia menyukai keheningan yang terasa menenangkan seperti ini. Sendirian di dapur. Mengaduk kuah kaldu berbumbu aneka rempah, dan mencicipi rasanya sesekali. Dan Mbok Saminten, abdinya yang paling setia, dengan halus dipaksanya menyingkir. Keluar sejenak membeli lotek untuk makan siang. Meninggalkan Dahlia sendirian menikmati keheningannya.