Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #6
* * *
Tujuh
Waktu terus berputar dan seluruh rangkaian
acara pernikahan Seruni dan Hazel terus mendekat. Segala urusan perawatan calon
mempelai perempuan sudah diambil alih sang dhukun
manten, membuat Dahlia bisa mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Tugasnya dan Swandito kali ini adalah
mengurus segala keperluan keluarga besar Hazel yang datang dari Jakarta. Jauh
hari, rumah pribadi Dahlia yang terletak di sebelah salonnya sudah dipersiapkan
untuk menerima rombongan itu. Untuk sementara, Mbok Saminten, Karsiman, dan
Rami – istri Karsiman – diperbantukan di sana untuk melayani tamu.
Tak ada waktu untuk membiarkan selintas
bayangan Rengga masuk ke dalam benak Dahlia. Persiapan pernikahan pamungkas
dalam keluarga Priyo Harjono itu seolah menyedot semua tenaga yang ia miliki,
walaupun sebagian besar urusan sudah didelegasikan pada sebuah wedding organizer yang sudah terbiasa
mengurus acara pernikahan kerabat keraton.
Sesuai kesepakatan bersama, inti rangkaian
acara pernikahan Seruni dan Hazel yang hendak berlangsung, pada pokoknya adalah
prosesi siraman1) yang didahului pemasangan berbagai piranti
lambang sedang diadakannya prosesi nikah (bleketepe2), tarub3), kembar mayang4), tuwuhan5)), kemudian
dilanjutkan dengan dodol dhawet6), seserahan peningset7) yang dijadikan satu dengan malam midodareni8), akad nikah,
panggih9), dan
diakhiri dengan acara resepsi pernikahan. Cukup banyak acara yang harus
dilewatkan demi kepraktisan, dan tentu saja tak mengurangi makna dari prosesi
adat itu sendiri.
Dahlia dan Swandito selalu menyempatkan diri
untuk berbincang ringan sambil terkapar kelelahan di atas ranjang setiap malam
selama kesibukan persiapan acara itu. Tapi momen itu selalu diakhiri dengan
salah satu dari mereka berdua jatuh terlelap duluan. Membuat hari makin cepat
berlalu, hingga seolah tiba-tiba saja acara siraman
menjelang malam midodareni sudah ada di depan mata.
Satu hal yang membuat hati Dahlia bergetar
adalah ketika melihat wajah ayah dan ibunya yang begitu ceria. Lain benar
dengan saat pernikahannya dengan Pradipta dulu. Juga ketika ia menjalani
pernikahan kedua dengan Swandito, yang dilangsungkan secara lebih sederhana.
Terlihat bahagia, tapi hanya secukupnya. Tak bisa lepas seperti saat ini.
Irikah?
Dahlia menggeleng tegas.
Semuanya
sudah terbayar lunas ketika melihat keceriaan keluarga ini kembali utuh. Juga
rona berseri yang sempurna di wajah Eyang...
Dan Dahlia memutuskan untuk turut larut di
dalamnya. Tanpa pamrih. Tanpa syarat. Wajah cantiknya menebarkan senyum yang
terlihat mempesona dari sisi manapun. Swandito yang selalu berada di sisi
Dahlia juga ikut terhanyut dalam kebahagiaan itu. Menjadikan mereka berdua tampil
sebagai sosok yang begitu serasi, dan menjadikan Swandito seolah pahlawan yang
berhasil membawa kembali seluruh keceriaan Dahlia.
* * *
Seruni duduk diam di kursinya, masih di depan
cermin, di dalam kamar. Cahaya kebahagiaan tampak terpancar pada wajahnya yang
sudah terias sempurna, dengan busana pengantin gaya Solo basahan10).
Penampilannya benar-benar manglingi.
Membuat nyawa Bu Sasongko terselamatkan karena tak perlu gantung diri.
Seolah memiliki pikiran yang sama, Seruni dan
Dahlia bertatapan melalui cermin. Keduanya kemudian tersenyum tertahan.
Mengingat lelucon di antara mereka yang sempat terlontar tentang Bu Sasongko.
Tak urung Dahlia menangkap semburat resah di wajah Seruni. Dengan tenang ia
pindah duduk ke dekat Seruni.
“Kenapa, Ndhuk?”
bisiknya.
“Ndak apa-apa,
Mbak,” gumam Seruni. “Cuma deg-degan.”
Dahlia tersenyum simpul.
Saat ini sedang dilaksanakan ijab kabul di
luar. Di pendopo luas rumah joglo besar itu. Dan Dahlia menangkupkan kedua
tangannya di depan dada ketika mendengar getar yang kental dalam suara ayahnya melalui
pengeras suara, saat menikahkan mempelai laki-laki dengan adik bungsunya.
Keharuan terasa menyesak. Membuat airmatanya mengembang. Sesaat setelah
mengerjapkan mata, dilihatnya Bu Sasongko tengah menghapus dengan lembut telaga
bening yang juga mengembang di mata Seruni.
“Wis
sah, Mbak Runi...,” senyum Bu Sasongko.
Seruni tampak tersipu.
* * *
Tapi nama yang dihindari Dahlia itu pada
akhirnya harus menyelinap masuk juga ke dalam hatinya. Dari kejauhan, Dahlia
menangkap sosok Rengga tengah berjalan menggandeng putri kecilnya dalam busana
sarimbit batik berwarna merah bata berprada emas, hendak antri menyalami
sepasang pengantin baru yang berbahagia itu. Dahlia mengalihkan tatapannya,
sekaligus menyingkir ke sebuah sudut dekat sebuah gubuk makanan. Di sana sudah
ada Kusrini yang berdiri berdampingan dengan Haryo, tengah menikmati puding.
“Anak-anak mana?”
“Sama Swandito tadi,” sahut Haryo. “Entah
hilang ke mana.”
“Sudah makan, Dik?” tanya Kusrini. “Sana
makan dulu.”
“Lha aku ini cari Mas Swan dari tadi. Mau
kuajak makan,” Dahlia berlagak melihat berkeliling.
“Nah, itu!” Haryo melambaikan tangannya ke
satu arah.
Dalam sekejap Swandito sudah muncul di depan
mereka dengan Bintang dan Candra menggayuti kedua lengannya. Wajah mereka
tampak ceria dengan masih bertabur sisa-sisa tawa.
“Biar Paklik11) sama Bulik12)
makan dulu to, Nak...,” Kusrini
menegur dengan halus.
Swandito menatap Dahlia, “Dari mana saja
tadi? Aku cari-cari.”
Dahlia balas menatap Swandito, “Bukanya panjenengan yang hilang digondol thuyul?”
Swandito terkekeh karenanya. Buru-buru
digamitnya lengan Dahlia sambil berpamitan pada Haryo dan Kusrini.
“Aku dari tadi sudah ngincer13)
thengkleng14),” bisik
Swandito dengan nada jahil. “Mumpung belum sesi foto-foto.”
Dahlia tertawa mendengarnya. Sesaat kemudian
keduanya sudah asyik hendak memilih makanan yang tersedia berlimpah. Tapi
keasyikan itu terganggu ketika telinganya mendengar suara kecil yang terus
mendekat.
“Tante! Tante Dahlia!”
Dahlia menoleh dan mendapati seorang gadis
kecil berlari ke arahnya. Sejenak Dahlia merasa tercekat. Apalagi ketika sudut
matanya menangkap ada sosok tinggi besar yang mengikuti langkah gadis kecil itu
di tengah keramaian.
“Lho! Kok masih bisa kenal Tante sih?” ucap
Dahlia, berusaha meredakan debar di dadanya.
Lili menatap Dahlia yang saat ini terlihat
begitu cantik dengan kebaya dan jarik15) yang membalut tubuhnya, dan riasan wajah
dengan sanggul tekuk yang terlihat pas, menambah cantik penampilannya.
“Kenal dong!” Lili tertawa kecil. “Kan Tante
yang paling cantik di sini.”
“Apa kabar, sayang?” Dahlia menjabat tangan
Lili.
“Baik, Tante,” Lili mencium punggung tangan
Dahlia.
“Halo! Siapa ini?” Swandito tersenyum di
sebelah Dahlia.
“Namanya Dahlia juga, Om,” sahut Dahlia,
menoleh ke arah Swandito. “Salah satu customer
salon.”
Swandito membungkuk sedikit. Mengulurkan
tangannya.
“Lili, Om,” Lili pun berlaku sama terhadap
tangan Swandito. “Om siapa?”
“Panggil saja Om Swan,” jawab Swandito sabar.
“Lili sudah makan?”
Lili menggeleng.
“Makan, yuk!”
Kali ini Lili mengangguk. Membiarkan tangan
Swandito menggandengnya untuk memilih makanan yang ia suka.
Dahlia masih tegak di tempatnya berdiri.
Berdekatan dengan Rengga yang juga berdiri diam. Sesaat kemudian Dahlia
tersadar. Pelan ia kembali meletakkan piringnya yang masih kosong ke atas meja.
Ia mengarahkan jempolnya ke arah hidangan di atas meja.
“Monggo,”
ucapnya datar, menatap Rengga sekilas. “Selamat menikmati.” Dan ia langsung
berbalik. Melangkah pergi.
“Jeng...”
Tak dipedulikannya suara berat Rengga yang
memanggilnya. Ia terus melangkah. Berharap bumi merekah dan menelan seluruh
tubuhnya saat itu juga.
* * *
Swandito menemukan Dahlia sedang duduk di
selasar samping ruang resepsi. Dahlia sesekali menyuapkan sesendok serbat lidah buaya ke dalam mulutnya.
Terlihat setengah melamun.
“Jeng...”
Dahlia bergeming. Swandito melangkah pelan
mendekatinya. Sesaat kemudian ia sudah berlutut di depan Dahlia.
“Kenapa ndak
jadi makan?” tanyanya halus.
Tatapan Dahlia masih tetap pada satu titik
fokus yang sama.
“Jeng...,” Swandito menyentuh lembut punggung
tangan Dahlia.
Kini Dahlia menatapnya. Kelam. Membuat
Swandito hampir menahan napasnya.
“Siapa yang mengundangnya?”
Swandito paham sepenuhnya ke mana arah bicara
Dahlia.
“Dik Runi,” jawab Swandito, lirih.
“Panjenengan
tahu?” tatapan Dahlia terlihat menusuk.
Swandito tak punya pilihan lain kecuali
mengangguk.
“Kenapa panjenengan
ndak bilang?”
Sebelum Swandito bisa menjawab, terdengar
panggilan untuk memulai sesi foto. Dahlia pun mendengarnya. Diletakkannya gelas
ke meja di dekatnya sebelum berdiri. Swandito pun terpaksa berdiri juga.
Dengan luwes Dahlia membenahi posisi jarik dan kebayanya. Memegang sejenak
sanggul tekuknya untuk memastikan letaknya masih benar. Dan tanpa mengatakan
apapun, perempuan itu melangkah tegak memasuki gedung resepsi.
Di dekat pelaminan, sudah menunggu tim perias
yang membenahi sejenak dandanannya dan Swandito. Saat itu tengah dilakukan sesi
foto pengantin bersama kedua pasang orang tua. Dahlia menunggu dalam diamnya.
Swandito berdiri di sampingnya. Juga dalam diam.
Sepertinya, tidak bersuara adalah hal yang
paling baik dilakukan untuk saat ini.
* * *
Swandito terhenyak. Dahlia marah. Sebuah
luapan emosi yang dinyatakan dalam diam. Membuat Swandito merasa serba salah.
Hingga beberapa hari lamanya keadaan itu
berlangsung. Mereka masih tinggal di bawah atap yang sama. Masih makan pagi di
meja yang sama. Masih berbagi kamar mandi dan ranjang yang sama. Tapi semuanya
berlalu dalam hening.
Ketika Swandito mencoba untuk bersuara,
Dahlia bergeming. Mungkin mendengar, tapi tak mau mendengarkan. Menatap sekilas
pun tidak. Seolah sedang berdiri di dunianya sendiri yang tak terjangkau oleh
Swandito.
Dahlia berangkat ke salon lebih pagi dan
pulang lebih malam daripada biasanya. Membuat Swandito menyimpan kekhawatiran
tersendiri akan kesehatan Dahlia. Tapi
benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi takut
Dahlia akan bertambah marah dan malah berpotensi menyakiti diri sendiri.
Perjalanan dari rumah mereka ke rumah keluarga
Priyo Harjono pada suatu Jumat sore pun berlangsung sunyi. Akan diadakan acara
pembubaran panitia pernikahan Seruni dan Hazel yang sudah berlalu sekitar dua
minggu yang lalu. Kedua mempelai pun sudah kembali dari acara bulan madu.
* * *
Seruni bukannya tak menyadari keheningan
Dahlia. Tapi ia tak ingin membuka pertempuran dengan bertanya langsung pada
Dahlia. Dan jawaban pun didapatnya dari Swandito. Ketika Dahlia menyibukkan
diri ikut menyiapkan cemilan berupa aneka kue basah mini di dapur.
“Jadi, bagaimana?” Seruni menatap Swandito
dengan prihatin.
“Aku ndak
menyangka mbakyumu bisa semarah
itu, Dik...,” desah Swandito.
Seruni menghela napas panjang. Merasa sangat
bersalah.
“Nyuwun
ngapunten nggih, Mas...,” ucap Seruni, lirih. Menyiratkan penyesalan yang
begitu dalam.
“Ndak apa-apa,”
Swandito mencoba untuk tersenyum. “Mungkin memang harus seperti ini jalannya.
Jeng Dahlia memang berhak untuk marah. Padaku.”
“Dia sudah tahu?” Seruni mengangkat alisnya.
“Soal keinginan panjenengan?”
Swandito menggeleng. “Bagaimana mau bicara
soal itu kalau aku panggil saja dia hanya diam?”
“Gusti...,”
Seruni menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan.
Ketika tertangkap oleh matanya sosok Dahlia
yang tengah berbincang dengan Kusrini, Seruni tercenung sejenak. Sesuatu yang
sudah dimulai harus diakhiri.
Tapi
bagaimana harus mengakhiri semua ini?
Seruni mendesah ketika kepalanya mulai terasa
pening.
* * *
Acara pembubaran panitia itu berlangsung gayeng16).
Dititikberatkan pada acara santai dan menikmati makan malam setelah kepanitiaan
resmi ditutup dengan diiringi ucapan terima kasih dari seluruh keluarga besar
Priyo Harjono.
Dahlia duduk di dekat Kusrini dan ibunya.
Sesekali ia melayani celoteh Bintang yang duduk di belakangnya. Swandito duduk
di seberang sana. Terlihat tenang dan diam. Sesekali ia terlihat bercakap
dengan Hazel yang duduk di sebelahnya.
Dalam dengung berbagai obrolan itu Dahlia
merasa asing dan sepi. Entah kenapa ia seolah kehilangan seluruh keinginannya
untuk bicara. Ia juga sebetulnya tak tahu ingin diam karena apa. Tatapannya
menerawang jauh, sehingga tak tahu Swandito sudah berdiri di dekatnya.
“Jeng, ayo makan dulu,” ucap Swandito lembut.
Diulurkannya tangan pada Dahlia.
Tanpa bersuara sedikitpun, Dahlia kemudian
berdiri dan melangkah ke dalam. Mengabaikan uluran tangan Swandito yang
buru-buru mengikuti langkahnya dari belakang. Ketika hendak meraih piring pada
tumpukannya di sebuah meja, sebuah tangan terasa menarik sikunya. Ia menoleh.
“Sebentar, ikut aku,” ucap Eyang Murti tegas.
Tak terbantah.
* * *
Perempuan sepuh
itu menarik Dahlia masuk ke kamar Dahlia semasa gadisnya. Didudukkannya Dahlia
di tepi ranjang. Ia sendiri kemudian menarik kursi hingga duduk tepat
berhadapan dengan Dahlia.
“Sedang bertengkar dengan Swan?” tanya Eyang
Murti. Langsung. Sama sekali tanpa pendahuluan.
Dahlia tertunduk.
“Jangan tanyakan bagaimana aku tahu,” gerutu
Eyang Murti. “Aku memang sudah tua, tapi mataku belum lamur17), Ndhuk. Aku
masih bisa melihat dengan jelas kalian tidak seperti biasanya. Saling menjauh.
Hm... Salah! Lebih tepatnya, kau yang berusaha menjauh. Ada apa? Soal undangan
itu? Undangan buat Rengga?”
Dahlia tengadah sedetik, kemudian tertunduk
lagi.
“Seruni mengirimkan undangan itu atas
sepengetahuanku, romomu, dan ibumu.
Kalau mau marah, marahlah padaku, jangan pada adikmu, jangan pada garwamu. Mereka ndak salah apa-apa. Seruni dan Hazel kenal dengan Rengga karena suwargi istri Rengga itu dulu pelanggan
butik Seruni. Seruni dan Rengga pernah bertemu di sini, dan Rengga tahu Seruni
hendak menikah. Ndak enak kalau kita ndak mengundang. Seruni minta tolong pada
garwamu untuk mengirimkan undangan
itu sebagai tanda penghormatan.”
“Dan orang paling bodoh sedunia ini adalah
saya karena sama sekali ndak tahu
apa-apa soal undangan itu,” entah kenapa rasa marah itu muncul tiba-tiba dalam
ucapan Dahlia.
“Ndhuk,”
Eyang Murti mengelus bahu Dahlia dengan lembut, berusaha menyurutkan kemarahan
Dahlia, “seandainya kau tahu, lantas kenapa? Apa lantas hendak memboikot
pernikahan Seruni? Ndak mau hadir?”
Dahlia terdiam.
Ya,
kalau aku tahu, so what?
Dihelanya napas panjang. Makin kehilangan
kata.
“Saranku, minta maaflah pada garwamu. Tapi kalau kalian sudah ndak bisa lagi mempertahankan pernikahan
itu, semua terserah padamu, Ndhuk. Toh
Wulansari sudah ndak ada. Perjanjian
yang mengikat sudah ndak ada lagi.”
Dahlia tercekat.
Mengakhiri
pernikahan? Semudah itukah?
“Swandito hanya ingin berusaha menyatukanmu
kembali dengan Rengga,” suara halus Eyang Murti menggema lagi.
Sampai
sejauh itu?
“Tapi semuanya tergantung padamu...”
Dahlia memejamkan matanya.
* * *
Swandito mulai menekan pedal gas pelan-pelan.
Malam sudah mulai larut ketika ia dan Dahlia meninggalkan rumah joglo Priyo
Harjono. Badan dan pikirannya pun meletih.
“Aku minta maaf,” suara itu tiba-tiba memecah
keheningan, membuat Swandito sedikit terperanjat.
“Soal apa?” gumam Swandito, halus.
“Semuanya. Kemarahanku. Diamku. Semuanya,”
Dahlia menghela napas, terdengar begitu berat. “Dan juga pernikahan ini.”
Swandito menelan ludah.
“Suwargi
ibu panjenengan sudah ndak ada lagi,” suara Dahlia terdengar
seolah berasal dari tempat yang jauh. “Ikatan di antara kita sudah ndak ada benang merahnya. Kalau panjenengan bertanya apakah aku bahagia,
ya, aku bahagia. Tapi kalau semua ini menyiksa panjenengan, buat apa diteruskan?”
Swandito makin kehilangan kata. Setengah mati
ia berusaha agar tidak kehilangan konsentrasi untuk menyetir.
“Aku tahu, ada keinginan panjenengan untuk menyatukan aku dan Mas Rengga kembali. Aku ndak tahu apakah masih bisa. Tapi kalau
itu sudah jadi dhawuh18) panjenengan,
ya sudah.”
Untuk kesekian kalinya, Swandito merasa
jiwanya sudah hilang separuh. Tapi ia menyadari bahwa sebagian besar dari
kesalahan itu adalah keinginannya pula.
Pelan ia mengucap, akhirnya, “Aku juga minta
maaf, Jeng. Atas nama suwargi Ibu dan
seluruh keluarga besarku, atas semua yang terjadi pada panjenengan dan keluarga panjenengan.
Sebaiknya kita cooling down dulu. Setelah
peringatan 40 harinya suwargi Ibu,
aku ke Jogja. Untuk sementara aku akan kembali tinggal di sana. Mencoba
memikirkan apa yang terbaik buat kita.”
“Tolong, kembalilah paling lambat empat
minggu lagi,” bisik Dahlia, patah. “Masih ada sisa acara ngundhuh mantu19)
di Jakarta.”
“Ya, aku ingat itu,” Swandito mengangguk.
“Aku akan kembali untuk mendampingi panjenengan.
Sementara itu, cobalah untuk menjalin pertemanan lagi dengan Mas Rengga.”
Dahlia tercenung. Benar-benar tak tahu harus
mengangguk ataukah menggeleng.
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #8
Catatan
:
1. Siraman = memandikan calon pengantin sebagai simbol pembersihan diri agar suci
dan murni.
2. Bleketepe = anyaman daun kelapa sebagai simbol atap / peneduh saat prosesi
pernikahan berlangsung.
3. Tarub = upacara pemasangan bleketepe yang dilakukan secara berkerja sama oleh
kedua orang tua calon pengantin (perempuan).
4. Kembar mayang = sepasang hiasan dekoratif yang tersusun dari bunga, buah, dan
anyaman janur, dirangkai pada batang (gedebog) pisang.
5. Tuwuhan = rangkaian berbagai tumbuhan dan buah yang dipasang di depan pintu
masuk rumah yang punya hajat.
6. Dodol dhawet = upacara menjual dhawet (cendol) pada kerabat dan para tamu yang
‘membeli’ dengan menggunakan ‘uang’ berupa pecahan genting.
7. Peningset = ‘pengikat’ yang dihantarkan oleh pihak calon mempelai pria sebagai
tanda bahwa kedua pihak telah sepakat untuk melanjutkan hubungan ke tahap
pernikahan. Biasanya berupa benda yang dipakai calon mempelai perempuan dari
ujung rambut sampai ujung kaki, seperti beberapa perangkat pakaian, seperangkat
perhiasan, kosmetik, tas, sandal, sepatu.
8. Midodareni = malam menjelang akad nikah dan panggih.
9. Panggih = prosesi dipertemukannya kedua mempelai setelah resmi menjadi
suami-istri (setelah akad nikah)
10. Solo basahan = pengantin mengenakan kemben sebagai penutup dada dan kain dodot
dengan berbagai perlengkapannya, tidak memakai baju di bagian atas.
11. Paklik = paman (adik laki-laki dari ayah atau ibu)
12. Bulik = bibi (adik perempuan dari ayah atau ibu)
13. Ngincer = mengincar
14. Thengkleng = sejenis sup dengan bahan utamanya daging, jeroan, dan tulang
kambing.
15. Jarik = kain panjang batik.
16. Gayeng = suasana yang menyenangkan dan menggembirakan karena penuh dengan gelak canda dan keakraban / kekeluargaan
17. Lamur = rabun.
18. Dhawuh = ucapan yang merupakan keinginan (dari orang yang lebih dihormati).
19. Ngundhuh mantu = acara / resepsi pernikahan yang diadakan oleh orang tua mempelai pria
di rumahnya.
Jadi tahu adat Jawa lebih dalam nih mbak, apik banget. Senin kamis, tak enteni ambek gregetan, kok suwe men..... Salim mbak...
BalasHapusHehehe... Iki wes kemis lho... hayo absen sik!
HapusSuwun mampire yo...
Nunggu lanjutannya aja sambil nithili turahane thengkleng....
BalasHapusSekalian nyuci pancinya ya? Hihihi...
HapusNuwus mampire, Mbak...
Mbak dyah rina kok kasian...
BalasHapusIni lho mbak tengklengnya masih ada sepanci..njenengan kerso po ??
Halah...kok ya dibahas lho...#nutup muka pakai tampah
HapusHalaaah... padune njaluk tulung diumbahno pisan pancineee...
Hapussampai menahan nafas...bacanya....
BalasHapusJangan kebablasan ya, Mbak, hehehe...
HapusMakasih dah mampir...
Good post mbak
BalasHapusMakasih mampirnya ya, Pak Subur...
HapusBookmark sik ngenteni tamat :) ketoke bacaan berat iki
BalasHapusHahaha... nek perlu tak'emailno edisi lengkape. Tapi engkooo nek wis tamat :P
HapusMatur nuwun rawuhipun...
Jadi paham adat jawa.dan salut banget lihat.keluarga kerakton bisa marah secaraw elegan
BalasHapusCuma nyenggol sedikit kok, Bu...
HapusMakasih mampirnya ya...
Paklik ada, Pak Dhe hadir belakangan...
BalasHapusTerima kasih singgahnya...
HapusMohon maaf, ini Pakde Sakimun apa bukan sih? Maaf kalau salah/bukan...
Salam...
Suwargi = almarhum / almarhumah
BalasHapuscooling down = hehehe...kuwi dudu basa Jawa
Kata 'suwargi' sudah ada catatan kakinya pada episode #1, jadi di episode ini sengaja nggak saya cantumkan lagi di catatan. Terima kasih...
HapusDilema buat Dahlia....
BalasHapusKalo nggak gitu nggak ada ceritanya, Fris, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...