Episode sebelumnya : Ruang Ketiga #5
* * *
Enam
Seisi mobil dan segalanya di luar kaca seakan
berputar di mata Swandito begitu Karsiman meluncurkan mobil meninggalkan rumah
Rengga. Ia merebahkan sedikit sandaran jok, kemudian hanya bisa duduk bersandar
sambil memejamkan mata.
“Bapak mau saya antar ke dokter?” suara
Karsiman terdengar mengandung kekhawatiran.
Swandito menggeleng samar tanpa membuka
matanya. “Ndak usah, Pak. Langsung
pulang saja. Aku cuma butuh istirahat.”
Karsiman tak membantah. Hanya menekan pedal
gas lebih dalam lagi. Tak berapa lama kemudian mobil itu sudah memasuki halaman
rumah. Karsiman langsung mengarahkannya masuk ke garasi yang pintunya terbuka
lebar.
Agak terhuyung Swandito ketika turun dari
mobil. Untung Karsiman segera menangkap tubuh Swandito. Pelan-pelan ditopangnya
langkah Swandito masuk ke dalam rumah. Dahlia langsung terlonjak kaget melihat
keduanya.
“Gusti...!”
serunya sambil buru-buru menghampiri. “Kenapa ini, Pak Siman?”
“mBoten
mangertos1), Bu,”
wajah Karsiman tampak agak takut. “Tahu-tahu Bapak lemas begini.”
Dahlia dan Karsiman segera membaringkan tubuh
Swandito ke atas ranjang. Dahlia segera melonggarkan semua pakaian Swandito.
“Tolong ambilkan air hangat segelas, Pak,”
ucap Dahlia tanpa menoleh pada Karsiman.
“Nggih,
Bu,” Karsiman buru-buru memenuhi permintaan Dahlia.
“Mas...,” bisik Dahlia, dengan kening
berkerut. Dengan kekhawatiran yang terlihat nyata di wajahnya. “Tadi katanya ndak apa-apa, kok jadinya seperti ini?
Mana yang sakit?”
“Pusing banget, Jeng,” keluh Swandito tanpa
suara.
Dahlia meraba kening Swandito. Terasa agak
panas di punggung tangannya. Dengan cepat Dahlia mengganti baju Swandito dengan
sehelai piyama batik. Karsiman muncul dengan segelas air hangat di tangannya.
“Masuk
angin kasep menopo nggih, Bu?2)”
celetuk Karsiman.
“Mungkin,” jawab Dahlia pendek sambil
membantu Swandito meneguk air hangat.
“Saya di luar, Bu,” ucap Karsiman kemudian.
“Kalau-kalau Ibu butuh saya.”
“Iya, Pak,” sahut Dahlia tanpa menoleh.
“Tolong Pak Siman menginap di sini malam ini ya? Takutnya Bapak kenapa-napa.”
“Nggih,
Bu,” jawab Karsiman sebelum keluar.
Dahlia mencari sesuatu dari laci nakas.
Seblister obat sakit kepala dan anti-demam ditemukannya.
“Mas sudah makan?” tanyanya sambil membuka
blister itu.
“Belum.”
Gerakan tangan Dahlia terhenti seketika. “Tadi
ndak makan sekalian?”
Swandito tak menjawabnya.
“Aku belum masak,” sesal Dahlia. “Makan sama
telur dadar saja ya, Mas?”
Swandito mengangguk samar. Dahlia segera
beranjak ke dapur dengan langkah cepat. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali
dengan membawa sepiring nasi ditemani sebuah telur dadar beraroma sedap.
“Makan dulu, Mas,” ucapnya halus. “Setelah
itu baru minum obat.”
Swandito memaksakan diri menelan suap demi
suap yang disodorkan Dahlia ke dalam mulutnya. Tapi ia menyerah ketika nasi dan
telur di piring masih tersisa separuh.
“Sudah, Jeng...,” bisiknya.
Dahlia mengerti. Tentu saja Swandito kurang nafsu
makan dalam kondisi seperti ini. Asal perutnya tidak kosong, sebutir obat tentu
saja sudah boleh ditelan. Dan Swandito menurut ketika Dahlia meminumkan obat
itu padanya.
Setelah itu Dahlia membaluri punggung dan
dada Swandito dengan balsem beraroma mint yang segar. Segera saja Swandito
merasa jauh lebih nyaman walaupun merasa agak kedinginan. Ia pun meringkuk, dan
Dahlia menutup tubuhnya dengan selimut hingga ke leher.
“Panjenengan
tidur dulu ya, Mas,” bisik Dahlia sambil membenahi piring dan gelas.
“Istirahat...”
Swandito mengangguk samar dengan mata
terpejam.
* * *
Setelah selesai mencuci piring kotor, Dahlia
mencari Karsiman. Laki-laki itu didapatinya sedang duduk berselonjor di lantai
sudut teras sambil memegang ponselnya.
“Pak...,” Dahlia duduk di kursi teras.
“Dalem,
Bu?” Karsiman buru-buru memperbaiki sikap duduknya.
“Memangnya tadi Bapak minta diantar ke mana?”
“Ke restoran langganannya Bapak sama Ibu,”
jawab Karsiman, berharap Dahlia tak menangkap nada bohong dalam suaranya. “Cuma
sebentar kok, Bu.”
“Di sana ngapain?”
“Ngapunten,
Bu, saya ndak tahu. Wong saya menunggu di luar.”
“Hm...,” Dahlia mengangguk-angguk. “Pak Siman
sudah makan?”
“Dereng3), Bu,” jawab Karsiman,
jujur.
“Ya, sudah... Beli saja nasi goreng di ujung
situ, Pak. Sekalian Ibu sama anak-anak dibelikan,” Dahlia mengeluarkan selembar
uang seratus ribuan dari saku dasternya. “Nanti Pak Siman pulang saja. Bapak
sudah ndak apa-apa. Oh iya, tolong
aku belikan magelangan4) pedas ya?”
“Nggih,
Bu...”
* * *
Karsiman duduk bertopang dagu sambil menunggu
pesanan nasi gorengnya selesai dimasak. Masih terbayang betapa kagetnya ia
ketika Swandito tadi menyebutkan sebuah alamat sebelum meninggalkan rumah Ndoro Priyo. Dan sepertinya Swandito
memahami kekagetannya.
“Pak
Siman tahu itu rumah siapa?” tanya Swandito dengan nada halus.
Karsiman
ragu-ragu sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk karena tak menemukan alasan
untuk berbohong. Didengarnya Swandito menghela napas panjang.
“Sebelum
Ibu menikah dengan suwargi Pradipta, berapa lama pacaran dengan Mas Rengga
ini?”
Karsiman
kembali ragu-ragu. Tapi lagi-lagi ia tak menemukan alasan untuk menghindari
pertanyaan itu.
“Cukup lama, Pak,” jawabnya kemudian, lirih. “Setahu saya sejak Bu Dahlia masih SMA. Sampai...,” Karsiman menggantung kalimatnya.
Swandito
mengangguk mengerti.
“Tapi
setelah menikah, Ibu ndak pernah lagi berhubungan dengan Pak Rengga...”
Seutuhnya
Swandito mendengar nada pembelaan dalam suara Karsiman.
“...,
baik dulu maupun sekarang.”
“Iya,
Pak,” ucap Swandito sabar. “Aku tahu. Karenanya tolong jangan sampai Ibu tahu
kita pergi ke tempat Mas Rengga. Aku dititipi undangan sama Dik Runi. Aku harus
menyampaikannya.”
“Tapi
nanti kalau Ibu tanya kita ke mana, saya harus jawab apa nggih, Pak?”
“Bilang
saja ke restoran langganan. Aku ketemu temanku. Begitu saja.”
“Nggih,
Pak...”
Karsiman menghela napas panjang.
Selama ia mengabdi pada Dahlia, ia tak pernah
sekalipun menerima perlakuan buruk dari Dahlia. Walaupun pernah bersuami
seorang yang kelakuannya lebih mirip iblis, tapi tak sekalipun Dahlia
kehilangan sikap sabar dan penghargaannya pada orang lain. Yang kelasnya ‘lebih
rendah’ sekalipun.
Dan kini bendoro5)-nya itu memperoleh
suami lagi yang sikapnya sungguh bertolak belakang dengan suami terdahulu,
walaupun sempat ada kisah yang cukup kelam di baliknya. Membuatnya ikut
bersyukur karena tak berlama-lama lagi harus melihat Dahlia tersakiti oleh
nasib yang tak ditentukannya sendiri.
Karsiman sungguh-sungguh tidak tahu apa yang
dibicarakan Swandito dengan Rengga. Yang jelas, Swandito keluar dari rumah
Rengga dengan wajah biasa-biasa saja. Hanya terlihat sedikit lebih letih. Dan
Karsiman memakluminya karena sejak awal ia sudah tahu bahwa Swandito
sesungguhnya sedang tak enak badan.
“Ini, Pak.”
Karsiman tersentak ketika salah seorang
pelayan depot itu mengulurkan dua buah kantong plastik padanya. Buru-buru ia
membayar dan melangkah pergi setelah menerima kembalian.
* * *
Rengga membelai kepala putrinya sambil bersenandung
pelan. Ketika dilihatnya Lili sudah terlelap, dipeluknya tubuh mungil itu
dengan penuh kasih sayang.
Dikerjapkannya mata beberapa kali ketika
kejadian sore tadi seolah mendesak untuk diputar ulang dalam benaknya. Pelan ia
mendesah.
“Saya
ingin bicara... soal Jeng Dahlia...”
Suara
penuh keraguan itu tak urung terdengar seperti petir yang menggelegar di
telinga Rengga. Mulutnya terkatup rapat. Tak tahu harus mengucapkan apa. Ia
hanya sanggup menatap Swandito dalam hening.
“Saya
tahu siapa panjenengan,” Swandito meneruskan setelah menghela napas panjang.
“Juga pertemuan panjenengan dengan Jeng Lia beberapa hari yang lalu. Jeng Lia
sendiri yang menceritakannya pada saya.”
“Nyuwun
ngapunten, Mas,” potong Rengga. “Itu pertemuan yang ndak disengaja. Saya sama
sekali ndak tahu kalau Salon Cempaka Wangi itu milik Jeng Lia. Saya hanya
mendapat rekomendasi dari salah seorang kenalan saya, bahwa salon itu bisa
menangani anak-anak dengan baik. Hanya itu.”
“Saya
mengerti,” Swandito mengangguk, tersenyum. “Saya ndak pernah menyalahkan
panjenengan maupun Jeng Lia. Saya kenal siapa Jeng Lia. Waktu tiga tahun sudah
lebih dari cukup bagi saya untuk mengenalnya. Jeng Lia ndak akan lompat pagar.
Saya tahu betul hal itu.”
“Lalu?”
Hening
sesaat. Swandito agak tertunduk kini. Beberapa detik kemudian ia kembali
mengangkat wajahnya.
“Kembalilah
pada Jeng Lia...”
“Apa?!”
Rengga seketika tertegak. Ditatapnya Swandito seolah sedang menonton film
horor. Ucapan Swandito sama sekali tak diduganya. Bahkan sama sekali tak bisa
dipahaminya.
“Saya
tahu Jeng Lia masih mencintai panjenengan,” lirih suara Swandito, membuat
Rengga harus menajamkan telinganya. “Dik Runi sudah menceritakan pada saya
tentang BBM panjenengan pada Dik Runi. Semoga saya ndak salah menangkap, bahwa
panjenengan pun masih memiliki perasaan yang sama.”
Rengga
benar-benar tak tahu harus mengatakan apa atau menganggapi bagaimana. Didatangi
suami Dahlia walaupun ‘hanya’ mengantarkan undangan saja sudah membuatnya
kaget. Apalagi...
“Saya
akan melepaskan Jeng Lia kalau memang benar-benar panjenengan bisa menjaganya
seumur hidup. Saya ikhlas sepenuhnya, asal Jeng Lia bahagia.”
Rengga
tercenung. Sejurus kemudian ditatapnya Swandito.
“Panjenengan
juga mencintai Jeng Lia, bukan?” gumamnya. “Setelah pernikahan berjalan tiga
tahun, dengan perempuan sebaik Jeng Lia...”
“Saya
ndak tahu pernikahan saya berjalan seperti apa, sebenarnya,” suara Swandito
seolah terdengar berasal dari kejauhan. Tatapan laki-laki itu menerawang,
menembus kedalaman mata Rengga. “Saya merasa tenang, damai, tenteram, nyaman.
Begitupun yang dirasakan Jeng Lia, menurut pengakuannya. Tapi cinta...,”
Swandito menggeleng sambil menghela napas panjang. Tatapannya kini kembali
terfokus. Tepat pada manik mata Rengga. “... saya ndak bisa. Saya ndak bisa
mencintai perempuan. Ndak pernah bisa. Jeng Lia sekalipun. Walau saya selalu
mencobanya.”
Seketika
Rengga hampir lupa menarik napasnya.
Dan ia menghelanya kini. Dalam-dalam.
Berusaha untuk menyingkirkan rasa sesak yang masih tertinggal dalam dadanya.
Dulu
suaminya seperti iblis... dan sekarang...
Rengga hampir menangis.
Perjalanan
hidupmu, Jeng Lia..., ia terisak dalam hati, ... kenapa harus seperti ini?
Rengga tersentak ketika gadis kecil dalam
pelukannya itu menggeliat. Ia menatap Lili, dan mendapati keringat bergulir di
pelipis putrinya itu. Dengan lembut disekanya keringat itu, juga di pelipis
satunya.
Namamu
boleh sama, Ndhuk... Dahlia... Tapi Ayah ndak akan membiarkan nasib buruk
menghampirimu, walau sekejap pun.
Diciumnya pipi bulat Lili dengan penuh kasih
sayang. Sejenak kemudian ia mencoba memejamkan mata. Mencoba melepaskan diri
sejenak dari bayangan-bayangan kejadian yang dialaminya beberapa hari ini.
* * *
Denyutan-denyutan liar terasa masih
menghantam kepala Swandito. Sudah tak sekuat tadi. Tapi seisi ruangan masih
juga berputar dalam pandangannya ketika Swandito membuka mata. Ia pun kembali
mengatupkan kelopak matanya.
Hening. Swandito meraba ke sisi tubuhnya.
Dahlia tak ada di sana. Tapi samar-samar telinganya mendengar sesuatu.
“Terima
kasih, Pak Siman. Salam buat Ibu dan anak-anak ya?” terdengar suara Dahlia.
“Nggih,
Bu. Pareng rumiyin6)...,”
Karsiman terdengar menjawab.
Lalu hening lagi. Sesaat kemudian ia
mendengar langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar terbuka dan tertutup. Ia
mengerjapkan mata ketika merasa ada tangan halus meraba keningnya.
“Mas bangun? Mau minum?” ucap Dahlia lembut.
Swandito mengangguk sedikit. Sebuah sedotan
kemudian terasa menyentuh bibirnya. Dan segera saja hangatnya air seduhan jahe
mengalir melalui kerongkongannya. Dicobanya untuk membuka mata, walau terpaksa
harus mengatup lagi.
“Pak Siman pulang, Jeng?”
“Iya. Kenapa?”
“Ndak apa-apa,”
gumam Swandito. “Jam berapa ini?”
“Masih setengah sembilan. Panjenengan tidurnya ndak jenak7),” Dahlia mengusap kening Swandito. “Masih lapar?
Aku punya magelangan. Makan lagi ya?”
“Panjenengan
saja makan dulu,” bisik Swandito.
“Ya sudah, aku kunci pagar dan pintu dulu.
Setelah itu aku suapi lagi ya?”
Tanpa menunggu persetujuan Swandito, Dahlia
beranjak keluar. Dikuncinya semua pintu dan jendela baik-baik. Setelah itu, ia
kembali lagi ke kamar dengan membawa bungkusan yang diletakkannya di atas
piring.
Sambil duduk di tepi ranjang ia membuka
bungkusan itu. Aroma nasi goreng yang panas-panas terbungkus daun pisang
menggelitik hidung Swandito. Sedap. Nafsu makannya bangkit seketika.
“Mau, Jeng...,” gumamnya.
Tanpa banyak kata, Dahlia kembali menyuapi
Swandito. Seutuhnya Swandito ingin menikmati perlakuan Dahlia yang begitu manis
sebelum semuanya berakhir. Lebih tepatnya, sebelum ia mengakhirinya. Mengingat itu, nafsu makannya surut seketika.
“Sudah, Jeng.”
“Lha? Piye?
Baru juga empat suap. Lagi, Mas, biar cepat pulih.”
“Pedas,” Swandito beralasan.
“Halah, biasanya lebih pedas dari ini juga
mau. Lagi to...”
“Sudah, Jeng. Sudah...”
Swandito tetap teguh menolak walaupun dengan
sabar Dahlia membujuknya terus. Akhirnya Dahlia menyerah. Ia mulai menghabiskan
sisa magelangan itu. Sesekali masih
mencoba menawari Swandito, tapi laki-laki itu tetap menggeleng.
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #7
Catatan
:
1. mBoten mangertos = tidak tahu ; tidak mengerti.
2. Masuk angin kasep menopo nggih, Bu? = masuk angin yang terlambat (ditangani)
barangkali ya, Bu?
3. Dereng = belum.
4. Magelangan = nasi goreng bercampur sedikit mi dan sayur (sawi hijau dan kol) ;
disebut juga nasi mawut kalau di Jawa Timur.
5. Bendoro = tuan / nyonya ; majikan.
6. Pareng rumiyin = (saya) permisi dulu.
7. Jenak = pulas ; nyenyak.
Mbak...kalau boleh kasih masukan, kalau tidak salah kata 'pareng' yang berarti permisi itu berasal dari kata kepareng. Tapi karena orang mburu cepet jadi diucapkan pareng saja. Mohon koreksi kalau salah...sudah ndak pagi Jawa juga soalnya...
BalasHapusSepenuhnya...wokeeeeh! Lanjut!!
Mohon maaf, Mbak... Saya justru bingung harus memasukkan masukan dari Mbak di sebelah mana.
HapusKalau saya masukkan ke cerita di atas, bentuk kalimat yang ada kata 'pareng' itu adalah dialog sehari-hari, di mana kata 'pareng' sendiri jauuuh lebih lazim daripada kata 'kepareng', dan sama sekali bukan bentuk yang salah. Tentu saja kata 'kepareng' masih dipakai, tapi untuk suasana 'resmi' seperti seorang MC membawakan suatu acara dalam bahasa Jawa, tapi lebih banyak tidaknya dalam dialog sehari-hari.
Ketika menulis, saya juga mempertimbangkan kelaziman kata yang dipakai, karena pembaca bukan hanya dari suku Jawa. Dan sehubungan dengan kata 'pareng', pada episode #3 sudah ada catatan tentang kata 'pareng' ini dengan menyertakan penjelasan 'dalam konteks pembicaraan ini'.
Bila masukan Mbak dimaksudkan untuk menambah penjelasan di kolom catatan, oke, saya terima. Tapi bila dimaksudkan untuk mengubah kata dalam cerita, mohon maaf, saya tetap menggunakan kata 'pareng', karena tidak ada yang salah dengan kata itu dan lebih lazim digunakan dalam dialog sehari-hari.
Terima kasih
Nasi goreng dibungkus daun pisang nyam....nyam...pasti aromanya nikmat, pedas pula haduuh ngileeer
BalasHapusJiaaah... fokusnya makanan lagi yak? Hahaha...
HapusMakasih mampirnya, Bu...
nasi rawut ..itu mbak klo ditempatku.....waah...ceritanya semakin okee..
BalasHapusWhoaaa... beti, Mbak Bekti, beda tipis, hihihi...
HapusMakasih singgahnya ya...
nice post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur...
HapusAduuuuh jadi Swandito itu gay kah ?
BalasHapusya apyuuun malangnya Dahlia
Pareng rumiyin buu :-P
Lhaaa... baru nyadar, Mbak Indah? Hahaha...
HapusMakasih mampirnya ya...
Hiks kasihan Lia .....
BalasHapusHehehe... Makasih mampurnya ya, Fris...
HapusWallah, ada adegan suap-suapan segala ini, tan? *ngemut centong*
BalasHapusWkwkwkk :D
Centong plus sambel hahaha...
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
semua cerpen ini apakah sudah pernah dibukukan dan coba diterbitkan? Sayang loh kalo cuma diposting di blog
BalasHapusAda beberapa yang sudah dibukukan jadi satu dan diterbitkan 😊
HapusSaya pribadi tidak merasa sayang 'hanya' posting di blog, karena tujuan saya menulis memang lebih banyak hanya untuk menyalurkan hobi saja, plus mengolahragakan otak agar tetap berpikir dan nggak cepat pikun 😀
Tapiii... saya tetap tidak mentolerir bila ada yang seenak udelnya meng-copas karya-karya saya tanpa ijin dan/atau menyebutkan sumbernya 😉
Makasih singgahnya, ya... 👍