Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #8
* * *
Sembilan
Srikandi mengerutkan kening ketika melihat
ada mobil lain mengikuti mobil Priyo yang masuk ke garasi. Dan keningnya
berkerut makin dalam ketika melihat Dahlia turun dari mobilnya sambil menenteng
sebuah travel bag.
“Mau ke mana?” tanyanya langsung, menatap
Dahlia. “Kok bawa-bawa tas besar?”
“Menginap di sini,” Dahlia tersenyum sedikit,
sambil mencium punggung tangan Srikandi. “Dalem
sendirian di rumah, Bu.”
“Oh... Swandito ke mana?” Srikandi mencium
pipi Dahlia.
“Ke Jogja.”
Ada mendung di wajah Dahlia. Srikandi dengan
jelas dapat melihatnya. Sekilas tatapan Srikandi kemudian menyapu wajah Priyo.
Laki-laki itu menggeleng samar. Srikandi pun memutuskan untuk diam walaupun
wajahnya menyimpan ribuan tanya.
“Seruni ke mana, Bu?” tanya Dahlia, hendak
beranjak ke dalam.
“Lagi keluar sama Hazel. Baru saja perginya.”
“Oh...”
“Sudah jam segini, sampun dhahar1),
Mas?” tatapan Srikandi beralih pada Priyo.
“Sudah...”
“Weee... Lha sudah terlanjur kumasakkan brongkos2)
je...”
“Wooo... Sliramu
tadi pagi-pagi ndak bilang kalau
mau masak brongkos,” gumam Priyo.
“Lha agak siangan sedikit panjenengan kucari malah sudah keburu
raib kok...,” gerutu Srikandi.
Priyo tertawa sambil kedua tangannya memegang
bahu Srikandi dari belakang. Mendorong Srikandi dengan lembut.
“Mana brongkos-nya?”
ucapnya. “Sini kuhabiskan!”
“Weee... Lha perut sudah seperti genthong begitu kok ya...”
“Lho, ini tandanya makmur to, Jeng... Diurusi dengan baik oleh
istrinya,” tawa Priyo makin keras.
“Haish...,” jemari lentik Srikandi mencubit
lembut perut Priyo.
Mau tak mau Dahlia tersenyum simpul mendengar
dialog kedua orangtuanya. Pasangan yang sudah hampir empat puluh tahun menikah
dan masih terlihat betul kemesraannya.
Pelan ia menghempaskan tubuhnya di atas
ranjang.
* * *
Entah sudah berapa lama Dahlia melamun, tapi
kesadarannya kembali ketika angin berhembus dan membawa aroma itu sampai ke
dalam kamarnya. Aroma yang khas. Malam3) untuk membatik.
Dahlia melongokkan kepalanya dari balik
jendela yang terbuka lebar. Dan di antara batang-batang jeruji kayu yang kukuh terpasang
di kusen jendela, tampak ibunya tengah membatik di selasar belakang. Ia
tersenyum ketika melihat ayahnya ada juga di sana. Duduk di atas dhingklik4) tak jauh dari ibunya.
Dari tempatnya tak sengaja mengintip itu,
Dahlia bisa melihat bahwa keduanya tengah memperbincangkan sesuatu sambil tetap
melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Ibunya tetap membatik, dan ayahnya
menikmati sesuatu dari mangkuk yang dipegangnya. Rupanya jadi juga makan brongkos.
Ia tak bisa menguping pembicaraan itu karena
jaraknya terlalu jauh. Lagipula sepertinya memang keduanya bercakap dengan
suara rendah. Maka ia hanya bisa mengangkat bahu dan kembali merebahkan diri di
atas ranjang.
* * *
“Itu nanti mau ditambah prada5) ndak, Jeng?” tanya Priyo dengan suara
rendah.
“Terserah panjenengan,
Mas...,” jawab Srikandi, tanpa mengalihkan tatapannya dari kain yang tengah
dibatiknya. “Ditambah ya ndak apa-apa.
Bagusnya bagaimana?”
“Kalau ndak
ditambah prada kok kesannya jadi peteng6)
banget...,” gumam Priyo.
“Wooo... iya ya...,” Srikandi menoleh sekilas
ke arah Priyo. “Piye? Enak brongkos-nya?”
“Ya dijamin to...,” Priyo tersenyum lebar. “Yang masak garwane sopo?”
Srikandi terkekeh. Tapi sejenak kemudian ia
kembali serius. Mengalihkan topik pembicaraan sambil terus membatik.
“Ndhuk
ayune panjenengan itu kenapa?”
Priyo menghela napas panjang sebelum
menjawab, “Panjang ceritanya, Jeng...”
“Soal Rengga?”
“Sliramu
sudah tahu?” Priyo tak kelihatan terkejut.
Srikandi mengangguk. “Seruni yang bilang.”
“Swandito bermaksud memberi jalan. Makanya
sementara waktu ini menyingkir dulu ke Jogja.”
“Aku kok ndak
setuju to, Mas,” tukas Srikandi,
halus.
“Lha, piye?”
Priyo mengerutkan kening sambil meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di atas
lantai di dekat kakinya.
“Dahlia itu kan sudah punya suami. Kalau
kelihatan runtang-runtung7) berdua dengan Rengga njur piye8)? Dilihat orang kan ya ndak pantas.”
“Makanya aku ajak ke sini. Sementara menginap
di sini. Biar ketemunya di sini kalau lagi pas ingin ketemu. Kalau mau.”
Tapi Srikandi menggeleng. “Tetap ndak pantas.”
Priyo menghela napas panjang. “Sliramu ndak senang to, Jeng, melihat Dahlia bahagia?”
“Bukan begitu...,” bantah Srikandi, tetap
halus. “Tapi dilihat dari sisi mana pun tetap ndak pantas.”
“Meskipun suaminya sendiri merestui?”
“Swandito ki
yo kudune ditatar9),”
suara Srikandi terdengar gemas. “Meskipun ndak
bakalan bisa cinta sama Ndhuk ya
bukan begitu caranya.”
Priyo termangu melihat ekspresi Srikandi.
Namun diam-diam, dalam hati, ia membenarkan seluruh ucapan Srikandi.
“Toh selama ini mereka hidup ayem-tentrem10) to?” lanjut Srikandi. “Lha kok sekarang malah mau
main-main yang ndak jelas?”
“Bagaimana kalau sekarang kita lihat saja
dulu perkembangannya?” ucap Priyo, sabar.
Srikandi masih cemberut. Tak puas.
“Ndak
usah mecucu11) begitu...,” celetuk Priyo kemudian, dengan nada
jahil. “Tambah ayu rak blaik mengko12)...”
Bertepatan dengan itu tangan Srikandi
meletakkan canthing13) yang dipegangnya. Dengan cepat tangan itu pun selanjutnya
mampir ke lengan Priyo. Mencubit lembut.
“Panjenengan
ini lho...,” ucap Srikandi antara masih cemberut dan tersenyum.
“Aduh, aduh, aduuuh...,” Priyo berlagak
mengelus lengannya yang baru saja dicubit Srikandi. “Yen mbokjiwit njur aku mbledhos, njur kempes piye jal?14)”
Mau tak mau Srikandi tertawa lepas karenanya.
* * *
Sudah
mulai ada beberapa pertemuan yang tak disengaja...
Dahlia duduk melamun sambil bertopang dagu di
dalam kantornya. Tatapannya kosong, hanya tertuju pada satu arah. Pada vas
bunga yang juga kosong di atas mejanya. Vas bunga yang biasanya penuh berisi
puluhan batang mawar merah segar yang menebarkan wangi lembut. Mawar-mawar yang
dikirimkan Swandito padanya
Apakah
ini yang namanya jodoh?
Dahlia menghenyakkan punggungnya ke sandaran
kursi.
Tapi
kenapa justru hadir pada saat situasi sudah menjurus ke arah tak mungkin?
Dengan sedih Dahlia menangkupkan kedua
telapak tangan ke wajah.
Sudah
hari keempat sejak dia pergi, betapa sepinya...
Sudah empat hari pula ia menginap di rumah
orangtuanya. Suasana rumah besar itu makin sepi ketika pasangan pengantin baru
Seruni dan Hazel sudah kembali ke Jakarta tiga hari yang lalu. Dan hari ini
hingga besok, ayahnya mengadakan perjalanan bisnis ke Surabaya. Sendirian.
Tanpa ibunya.
Sepi bukan hanya berupa suasana sekitarnya
saja, tapi lebih ke suasana hatinya. Apalagi sepertinya ia dan Swandito sengaja
menahan diri untuk tidak saling menghubungi.
Biasanya ia dan Swandito saling bertukar
cerita sambil menikmati makan malam di rumah. Atau bertukar informasi tentang
apa yang akan dilakukan sepanjang hari nanti pada saat sedang menikmati
sarapan. Atau menggosipkan hal-hal yang tak perlu menjelang tidur. Atau sekadar
membuat awal hari jadi lebih cerah dengan bercanda berebut kamar mandi di dalam
kamar mereka.
Hanya berdua. Saling mengisi hidup. Saling
mendekatkan hati. Saling membiasakan diri. Dan semuanya sudah dimulai sejak
tiga tahun yang lalu. Sudah jadi semacam kebutuhan seperti halnya menghirup
oksigen setiap saat ataupun meneguk minuman tiap kali dahaga menyerang.
Apakah
aku menikmatinya?
Dahlia memejamkan mata sejenak.
Sangat...
Dan ia tersentak ketika notifikasi BBM-nya
berbunyi bertubi-tubi.
‘Jeng,
selamat siang...’ / ‘Apa kabar?’ / ‘Sudah makan atau belum?’ / ‘Jangan
terlambat makan, nanti sakit...’
Dahlia diam-diam mengeluh dalam hati.
Aku
sedang tak mengharapkanmu menghubungiku melalui pesan seperti ini. Kenapa kau
melakukannya?
Diletakkannya ponsel kembali. Tak membalas
pesan itu.
* * *
Swandito menatap layar gelap ponselnya tanpa
berkedip. Mendung pekat yang menaungi kota Jogja sedari pagi rupanya solider
dengan suasana langit hatinya. Suram.
Apa
artinya ini?
Swandito pelan-pelan meletakkan kembali
ponselnya. Tak jadi menghubungi orang yang ia sangat ingin menghubunginya.
Hanya ingin sekadar menanyakan kabar. Pelan-pelan ia menyandarkan punggungnya.
Hidupnya sungguh-sungguh kacau-balau selama
empat hari ini. Tubuhnya di sini, tapi isi otaknya entah berhamburan di mana. Begitu
juga jiwanya. Tersangkut nun jauh di sana. Pada sosok mungil Dahlia.
Cinta?
Nonsense!
Dibantahnya sendiri kemungkinan itu. Ia sudah
pernah merasakan jatuh cinta meskipun bukan pada sosok berjenis kelamin perempuan.
Indahnya, sakitnya, manisnya, pahitnya, galaunya, semuanya.
Ini
tak sama!
Semua rasa cinta itu tak satu pun pernah
memberi semua perasaan yang selalu ada ketika ia bersama Dahlia, dalam
kehidupan mereka di rumah yang sama, dalam sebuah ikatan resmi yang diakui
sepenuhnya oleh agama dan negara bernama pernikahan. Diterima apa adanya,
diakui keberadaannya, dihargai sebagai manusia, dihormati, dirawat dengan baik,
tanpa perlu mengkhawatirkan apapun.
Semuanya itu memberi perasaan nyaman, tenang,
tenteram, yang berujung pada perasaan bahagia dan selalu bersemangat setiap
harinya. Apalagi dengan senang hati, sama sekali tak ada perasaan terpaksa, ia
pun memberikan perlakuan yang sama terhadap Dahlia. Sebuah timbal balik yang sama-sama
berasal dari dalam hati. Sama sekali bukan artifisial.
Lalu?
Swandito menghembuskan napas panjang. Mencoba
melepaskan rasa sesak yang kini memenuhi dadanya.
Dan
sekarang aku harus bersiap untuk kehilangan dia, demi kebahagiaan yang telah
terenggut darinya selama ini...
Maka ia pun akhirnya membiarkan layar
ponselnya tetap gelap.
* * *
Berkali-kali Rengga termangu menatap
ponselnya. Sudah berlalu berjam-jam. Tak ada balasan yang masuk. Bahkan hingga
ia harus pulang ke Solo menjelang sore, BBM yang tadi dikirimkannya pada Dahlia
tak juga terjawab.
Rengga pun menyetir mobilnya, mulai
meninggalkan daerah Pedan – Klaten – tempat usaha tenun luriknya berada. Ketika
sampai di daerah Delanggu, ponselnya berbunyi. Segera ia menepikan mobilnya,
dengan sebuah harapan yang mendadak saja bersemi di hatinya. Tapi saat
dilihatnya siapa yang menelepon, harapannya luruh seketika, walaupun masih ada sisa
senyum di hatinya.
“Halo! Ya, sayang?”
“Ayah masih lama?” terdengar suara kecil dari
seberang sana.
“Ayah sudah di jalan, sayang. Kenapa?”
“Lili lapar, Yah...”
“Lho!” serasa ada yang hilang dari hati
Rengga. “Lili belum makan? Memangnya Eyang ke mana?”
“Lili mau mi kocok buatan Ayah,” suara kecil
itu berubah menjadi sedikit serak.
“Memangnya Eyang Putri masak apa?”
“Sup ayam.”
“Lho, Lili bukannya biasanya suka sekali makan
sup ayam?”
“Iya...,” suara itu melirih, “tapi sekarang
Lili maunya makan mi kocok buatan Ayah...”
“Hm...,” Rengga berpikir sejenak. “Sekarang
begini, Lili dengarkan Ayah ya?”
“Iya, Yah...”
“Lili makan dulu supnya, ndak pakai nasi ndak apa-apa.
Sekarang Ayah secepatnya pulang, nanti Ayah buatkan mi kocok buat Lili.
Bagaimana?”
“Asyiiik! Iya, Yah. Lili tunggu ya?”
“Tapi janji, Lili makan sup ayam dulu.”
“Iya, janji.”
“Ya sudah, tutup dulu teleponnya ya? Biar
Ayah jalan lagi, cepat pulang.”
“I love
you, Ayah...”
“Love
you more, sweetie...”
Segera saja fokus pikiran Rengga berubah. Tak
lagi pada Dahlia yang itu, tapi
Dahlia yang lain. Dahlia kecil
kesayangannya.
* * *
Langit sudah lama gelap ketika Rengga
membelokkan mobil masuk ke carport.
Lampu taman, lampu teras, dan lampu dalam rumahnya sudah menyala sempurna. Ia
tertahan cukup lama di jalan. Ada kecelakaan kendaraan yang menghambat
perjalanannya. Dua buah truk bertabrakan adu
kambing membuat jalanan macet parah di kedua arah.
Ketika hendak menghubungi ibunya untuk
menanyakan keadaan Lili, baru ia menyadari bahwa ponselnya sudah kehabisan
baterai. Power bank? Entah di mana
benda itu berada ketika dibutuhkan.
Rengga buru-buru masuk ke rumahnya. Masih
terkunci rapat. Dan begitu berhasil membukanya, Rengga segera melangkah terus
ke belakang. Menuju ke pintu tembusan ke rumah orangtuanya.
Rumah sudah sepi. Sudah hampir pukul
sembilan. Lili tentunya sudah tidur. Seketika Rengga menyesali
ketidakmampuannya memenuhi permintaan sederhana Lili. Hanya mi kocok untuk
dimakan.
Dan ia menemukan ayah dan ibunya tengah duduk
sambil menonton TV di ruang tengah. Keduanya menoleh ketika mendengar suara
langkah mendekat.
“Dari mana saja jam segini baru pulang,
Ngga?” tanya ibunya dengan wajah khawatir. “Ndak
bisa dihubungi pula!”
“Maaf, Bu,” Rengga menjatuhkan tubuh lelahnya
ke atas sofa, di sebelah ibunya. “Tadi ada kecelakaan truk di jalan. Macet dua
arah. Lama pula. Dalem mau menelepon,
ponsel mati. Baterai habis.”
“Oalah...,”
Suryani mengelus lengan Rengga. “Mesakke15) Lili, yen
ngenteni nganti koyo ngono16)...”
“Aduh...,” sesal Rengga.
“Untung ada Denna,” ucap Sarjito. “Datang-datang
langsung masak mi kocok buat Lili. Lili senang sekali.”
Rengga ternganga, kemudian mengerutkan
kening. “Denna?”
* * *
Pelan Srikandi membuka pintu kamar Dahlia.
Sengaja ia tak mengetuk pintu. Ia berdiri sejenak. Berdiam diri. Menatap
putrinya.
Dahlia tampak duduk membelakangi pintu,
menghadap meja tulis. Siku kirinya bertumpu pada meja, telapak tangannya menopang
kepala, seolah menatap serius layar laptop yang terbentang di depannya, tangan
kanannya hanya diam di samping keyboard
laptop.
Dari sikap Dahlia yang tak bergerak selama
beberapa saat, dan sama sekali tak menyadari bahwa ada orang lain bersamanya di
ruangan itu, Srikandi yakin Dahlia sedang melamun. Tanpa suara ia maju
selangkah, kemudian menutup pintu di belakangnya.
“Ndhuk...”
Dahlia tak bereaksi.
“Ndhuk...,”
panggil Srikandi sekali lagi.
Dahlia tetap bergeming.
“Dahlia...,” Srikandi memanggil untuk ketiga
kalinya.
Barulah Dahlia bergerak. Menoleh pelan.
Ketika menyadari siapa yang kini sudah ada di dekatnya, ia menyahut pelan, “Dalem, Bu...”
“Melamun?” Srikandi mengelus kepala Dahlia.
“Kangen garwamu?”
Dahlia tersipu sedikit.
“Atau Rengga?” lanjut Srikandi.
Senyum tipis di bibir Dahlia lenyap seketika.
Ia langsung tertunduk. Menghindari tatapan ibunya. Srikandi mengambil tempat di
tepi ranjang, tak jauh dari Dahlia.
“Aku sendirian malam ini. Bagaimana kalau kau
menemaniku tidur di kamar?”
Dahlia mengangkat wajahnya. Sejenak kemudian
ia mengangguk.
* * *
Bersambung ke episode
berikutnya : Ruang Ketiga #10
Catatan :
1. Sampun dhahar = sudah makan (kromo inggil / bahasa Jawa halus).
2. Brongkos = masakan berkuah santan dengan bahan utama daging sapi, salah satu
bumbunya adalah kluwak / kepayang. Brongkos ala Solo sedikit berbeda dengan
brongkos ala Jogja yang menggunakan juga tahu dan kacang tunggak / kacang tholo
(Vigna unguiculata)
3. Malam = lilin (untuk membatik).
4. Dhingklik = tempat duduk kecil pendek terbuat dari kayu.
5. Prada = pewarna emas untuk kain batik, pewarna yang asli terbuat dari bubuk
emas 18-22 karat, dilekatkan pada kain batik dengan menggunakan ‘lem’ yang
terbuat dari resin.
6. Peteng = gelap.
7. Runtang-runtung = ke mana-mana bersama.
8. Njur piye = lantas bagaimana.
9. Swandito ki yo kudune ditatar = Swandito ini ya seharusnya ditatar.
10. Ayem-tentrem = tenteram
11. Mecucu = cemberut.
12. Rak blaik mengko = kan (bisa) berbahaya nantinya.
13. Canthing = alat untuk membatik.
14. Yen mbokjiwit njur aku mbledhos, njur kempes
piye jal? = kalau kamu cubit
terus aku meletus, terus kempes bagaimana coba?
15. Mesakke (dibaca : mesak’ke) = kasihan.
16. Yen
ngenteni nganti koyo ngono =
kalau menunggu sampai seperti itu.
Oalah ternyata swandito 'sakit' ya? Gaduh, kasihan sampai kapan pun dahlia nggak.bakal.bahagia hidup dengannya.
BalasHapusHehehe... Kira-kira Dahlia memang nggak bakal bahagia apa sebaliknya yaaa...?
HapusMakasih singgahnya ya, Bu...
Aku hadir trs lo dik .... :-)
BalasHapusAstaga... Sampe njenengan ngartikel to, Mbaaak??? Malu akuuu...
HapusMatur nuwun sanget nggih, Mbak...
Aq hadir jugak lhoh yo mba. Jarang komen. Ngurus bayi 3 tiba'e poseng jugak kikikiki
BalasHapusIku bayi raksasamu nggak usah diitung, hahaha... Nggak diblanjani lho awakmu engkok...
HapusSuwun mampire yo, Nit...
Apik buuu. (y). Harapanku kok Dahlia tetep ama Swandito ya buu.. dan Swandito balik jd normal lagih. mesakke mereka. Rengga mah udah deh ikhlasin ajah Dahlianya.
BalasHapusHihihi... makasih mampirnya ya, Mbaaak...
Hapuskok aku jadi ikut merasakan apa yang dirasakan Dahlia yaaa
BalasHapusWaduuuh... Nggak tanggung jawab lho aku, Mbak... Hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
Denna? Apakah dia yg akan jadi pendamping Rengga? Mari kita tunggu kelanjutannya.
BalasHapusMariii... Hehehe...
HapusMakasih dah mampir, Fris...
nice post mbak
BalasHapusMakasih atas kesetiaannya mampir, Pak Subur...
Hapus