Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #13
* * *
“Oke,
Mbak! Aku ke situ sekarang.”
Anna
pun menutup pembicaraan dan mengantongi ponselnya. Beberapa saat kemudian dia
sudah pamitan pada salah satu anak buahnya dan keluar dari pet shop. Tujuannya cuma satu. Warung Adita di seberang jalan.
Sesampainya
di sana, Anna melenggang masuk dan segera menemukan Adita yang melambaikan
tangan dari arah meja di sudut. Ke arah itulah dia melangkah.
“Hai!”
ucapnya riang.
Tapi
keriangan itu berubah jadi perasaan segan ketika mengetahui siapa yang duduk
berseberangan meja dengan Anna, membelakanginya. Ditatapnya Adita sejenak
dengan sorot mata bertanya. Tapi Adita balik menatapnya tanpa ekspresi. Sedetik
kemudian Anna segera menyapa Lea.
“Ibu,
selamat sore...,” Anna menjabat tangan Lea.
“Selamat
sore juga,” senyum Lea.
Anna
duduk di sebelah Adita. Lea kemudian menatap keduanya bergantian.
“Oke,
Anna sudah datang,” ucap Lea dengan suara penuh semangat. “Jadi kapan kita bisa
berangkat?”
Anna
terbengong menatap Lea. Berangkat ke
mana? Di telepon tadi Adita benar-benar tak menjelaskan apa-apa kecuali
menyuruhnya datang ke warung secepatnya. Dia mengira Adita hanya sekadar ingin
mengajaknya mengerumpi sambil menikmati sesuatu. Tapi...
Lea
melebarkan senyumnya. Dia kemudian berdiri.
“Ayolah!
Dita sudah tahu, Anna belum. Nanti Mama jelaskan di mobil.”
Ada
nada tak terbantah dalam suara itu. Bagai terhipnotis, Anna dan Adita pun ikut
berdiri dan mengikuti langkah Lea, keluar dari warung.
Setelah
mobil yang mereka tumpangi meluncur, barulah Lea mengutarakan maksudnya pada
Anna. Reaksi Anna pun persis sama dengan Adita. Bengong sambil menatap Lea yang
duduk di jok kiri depan. Dia baru tersadar ketika dirasanya senggolan lembut
dari Adita. Ditolehnya Adita.
Maksudnya?
Adita
hanya menggeleng pelan dengan wajah bingung. Anna makin menghenyakkan
punggungnya ke sandaran jok.
Cari baju baru buat acara
resepsi pernikahan
Anna
menelan ludah.
Kalau Adita mungkin memang
benar karena statusnya sudah jadi pacar Rafa. Sedangkan aku?
Anna
menggelengkan kepala.
Tidak benar! Ini tidak
benar! Steve... Aduh!
Mendadak
otak Anna terasa kosong. Semuanya terlalu mengejutkan baginya. Hingga dia
kehilangan semua perbendaharaan kata untuk menolak, atau berkelit, atau
menjelaskan sesuatu.
Pada
akhirnya, dia pun sama dan sebangun dengan Adita. Pasrah pada kehendak Lea.
Kehendak baik yang entah benar-benar baik ataukah tidak. Anna tak lagi mampu
memikirkannya.
* * *
“Jeng!”
Lea
menoleh dan wajahnya makin sumringah ketika melihat siapa yang memanggilnya.
Dia segera tenggelam dalam acara saling sapa dan mengobrol ringan dengan kedua
rekan arisannya yang juga tengah mengunjungi butik itu.
Melihat
kejadian itu, Anna tak menyia-nyiakan kesempatan. Ditariknya pelan tangan
Adita. Sambil terlihat pura-pura sibuk memilih baju, keduanya kemudian
beringsut menjauh.
“Mbak,
ini apa-apaan sih?” bisik Anna.
“Aku
juga kaget,” Adita balas berbisik. “Dia tiba-tiba saja datang dan punya maksud
seperti ini. Aku nggak sempat konfirmasi lagi sama Mas Rafa.”
“Mbak
Dita masih mending sudah jadian sama Mas Rafa. Sedangkan aku?”
Bisikan
Anna itu membuat Adita tercenung.
Sedangkan aku? Malah lebih
kacau lagi hubungannya!
Adita
menghela napas panjang.
“Aku
nggak tahu bagaimana caranya menolak,” bisiknya kemudian. “Aku kaget.”
“Sama...,”
gumam Anna.
Lea
mendekat, membuat Anna dan Adita menyudahi rumpian nyaris tanpa suara itu.
“Sudah
dapat pilihannya, girls?” ucap Lea
dengan suara penuh dengan antusiasme.
Alisnya
segera terangkat begitu menemukan Adita dan Anna menatapnya dengan ekspresi
yang sama. Putus asa, sekaligus pasrah. Membuatnya segera berinisiatif untuk menyelamatkan
situasi dengan mulai memilih gaun ini dan itu.
* * *
Rafael
tergelak begitu penuturan Adita selesai.
“Dih! Malah ketawa!”
Terdengar
nada protes dari seberang sana. Rafael mengulum senyum.
“Iya,
memang aku yang pesan begitu sama Mama. Tapi soal Anna diajak juga, aku
benar-benar nggak tahu.”
Sebuah
helaan napas sampai ke telinga Rafael.
“Sudahlah,
Dit. Kepalang tanggung. Kita sudah basah. Nyemplung saja sekalian.”
“Tapi... Aduh...”
“Kenapa?”
“Nggak tahu, deh! Waktu
pertama kali kenal dulu kayaknya Mas Rafa itu orangnya serius, irit senyum.
Lama-lama kok jadi keluar jahilnya?”
Rafael
tergelak lagi. Tapi sesungguhnya dia tak mengerti datang dari mana ide untuk
menjahili Adita itu.
“Mungkin
aku ketularan kejahilanmu soal ide pasang iklan itu.”
“Ye... Itu sih kepepet,
bukan jahil. Ya sudah, Mas. Sudah malam ini. Aku mau pulang dulu ya?”
“Hm...
Oke! Hati-hati di jalan ya, Dit? Sampai ketemu Jumat malam.”
“Sip!”
Sebelum
meletakkan ponselnya di atas meja, Rafael membuka lagi file foto yang tadi dikirimkan mamanya. Sepasang kemeja dan gaun
batik sarimbit berwarna dasar merah bata tampak tergantung berdampingan.
Warnanya bagus. Coraknya indah. Pilihan
Adita, tulis mamanya.
Hm...
Rafael
kemudian memejamkan mata. Tanpa bisa dicegah, muncul bayangan sosok Adita
mengenakan gaun itu. Terlihat sangat pas. Cantik. Membuat Rafael terhenyak dan
membuka mata kembali. Ditatapnya langit-langit kamar.
Bagaimana bila semuanya tak
lagi profesional?
Rafael
mengerjapkan mata.
* * *
Gaun
batik cantik berwarna biru cerah itu tergantung diam di dinding kamar di bawah
tatapan Anna. Semua yang baru saja terjadi seolah mimpi baginya.
Akan mengenakan busana
sarimbit dengan ‘bukan siapa-siapa’?
Anna
menggelengkan kepalanya. Sejenak kemudian dia tercenung ketika menyadari bahwa
dia tengah terjebak dalam situasi rumit yang dia tak tahu bagaimana caranya
bisa melepaskan diri.
Seorang
laki-laki mengejarnya. Sementara dia sebenarnya jatuh cinta pada saudara kembar
laki-laki itu. Saudara kembar yang sudah punya kekasih dan tak mau menoleh
padanya. Dan ibu kedua laki-laki itu bahkan sudah menganggapnya sebagai calon
menantu dengan sebuah keinginan yang tak bisa ditolak. Memberinya busana
sarimbit dengan salah satu putranya. Laki-laki yang mengejarnya. Dan parahnya, dia
seolah tak punya kekuatan untuk menolak.
Apa-apaan ini?
Tapi
beribu gaung pertanyaan itu seolah jadi pusaran baru yang membuatnya makin
pusing. Terngiang pula ucapan Adita sebelum mereka tadi berpisah.
“Kalau tak bisa menghindar, ya
sudah. Nikmati saja...”
Maka
dia pun menyerah. Diraihnya gaun itu. Dilepaskannya dari hanger, kemudian dilipatnya dengan rapi. Siap untuk dibawa ke laundry besok pagi.
* * *
Nice post, mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
Hapuswah...kasihan Anna terjebak dalam pusaran cinta yang membingungkan
BalasHapusHehehe... Korban rivalitas saudara kembar. Makasih mampirnya, Bu Fabina...
Hapus