Gendis tercenung menatap ke arah panggung.
“Saya cicit Anda.”
Gendis tersentak mendengar gemuruh suara tepuk tangan di sekelilingnya. Sekilas ia melirik ke kiri dan ke kanan sebelum turut memberikan tepuk tangannya pada peserta audisi terpilih. Costas.
Ketika laki-laki itu turun dari panggung dan menghampirinya, mendadak jantung Gendis berdebar kencang. Ucapan pria salah tempat dan waktu yang tadi diantarkannya ke laboratorium Profesor Kenji kembali terngiang di telinganya.
Benarkah?
Gendis mendadak gelisah.
Astaga... Seandainya benar...
“Halo!” sapa Costas dengan wajah ceria. “Maaf, aku tadi langsung ke panggung. Namaku sudah disebut. Tak ada waktu untuk daftar ulang padamu, Nona Gendis.”
Gendis mendadak mendengus tertahan sambil meneruskan pikirannya.
Seandainya benar, aku akan stress tiap hari menghadapi orang ini. Sama sekali tak bisa mengelola waktunya dengan baik.
“Anda beruntung, Saudara Costas,” ucap Gendis, dingin. “Seandainya Anda tadi mendaftar ulang pada saya, nama Anda sudah saya coret karena Anda terlambat.”
Costas salah tingkah seketika. Ia nyengir sekilas untuk menutupi rasa malunya.
“Lain kali tidak akan terlambat lagi,” Costas mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.
Gendis tak menanggapi. Ia kemudian menunduk, menekuni smartop-nya untuk membuat berita acara audisi yang telah selesai. Costas duduk dengan manis di sebelahnya. Ditatapnya Gendis dengan serius.
“Laki-laki yang tadi duduk di sini, siapa dia? Yang bicara dengan Anda?”
Gendis mengerutkan kening sesaat sebelum menjawab pendek, “Dimitri.”
“Hm...,” gumam Costas.
“Tertarik padanya?” tanya Gendis, terdengar sambil lalu.
“Ha?” Costas tergelak. “Saya masih normal, Nona Gendis. Hanya saja saya heran kenapa dia mirip sekali dengan saya.”
“Dia cicit saya,” ucapan Gendis masih terkesan sambil lalu karena ia masih saja sibuk dengan smartop-nya. “Kesasar dari masa depan.”
Costas ternganga menatap Gendis.
* * *
Costas mendentingkan pianonya dengan nada asal. Partitur yang terpampang di depan matanya seolah tak berisi deretan bulatan-bulatan berekor berupa not balok, melainkan bayangan seraut wajah eksotis seorang Gendis. Seorang perempuan berkulit coklat, bermata lebar, berambut keriting kriwil, berhidung tak terlalu mancung, dan berbibir mungil berwarna merah-oranye.
Semenjak ia menjadi seorang Costas, seorang violinist yang cukup terkenal, belum pernah ada seseorang yang memandangnya sebelah mata seperti gadis bernama Gendis itu. Seolah ia berada di posisi from hero to zero di hadapan Gendis. Tapi alih-alih merasa diremehkan, ia justru merasa tergelitik dengan sikap Gendis.
Seorang perempuan biasa yang luar biasa...
Costas menutup piano. Ada debar yang terasa luar biasa dalam dadanya.
* * *
Bagaimana bisa aku akan menikah dengannya?
Gendis menatap wajahnya sendiri di cermin. Seorang violinist terkenal seperti Costas pasti akan lebih memilih pasangan dari dunia yang sama. Setidaknya kesamaan itu akan menimbulkan perasaan yang lebih nyaman.
Drrrt... Drrrt...
Getar smartop yang tergeletak di atas meja itu membuyarkan lamunan Gendis. Dengan malas diraihnya benda itu. Disentuhnya titik kecil berwarna hijau di sudut kanan atas layar smartop-nya.
“Ya, Dian?”
“Dis, Costas tanya nomor kontakmu. Boleh kuberi?”
“Siapa?”
“Costas... Violinist yang lolos audisi dua hari lalu.”
“Oh... Buat apa?”
“Tak tahulah aku...,” Diandra terkekeh geli. “Sepertinya dia tertarik padamu.”
“Aduuuh...,” Gendis menepuk keningnya. “Ya sudah, beritahu saja.”
“Oke! Sip!”
Gendis menatap smartop-nya.
Apa yang sudah kuperbuat?
Mendadak debar liar itu muncul lagi dalam dadanya. Tanpa bisa dicegah. Tanpa bisa dikendalikan.
* * *
Bila ada rasa yang lain, haruskah berkelit darinya? Rasa yang datang tanpa harus menyiapkan alasan. Rasa yang hadir begitu saja tanpa diundang. Rasa yang menghadirkan getar bagai ribuan kepak sayap kupu-kupu dalam hati.
Costas menatap wajah eksotis Gendis. Yang ditatap hanya tertunduk dengan sedikit jengah. Sedetik kemudian Gendis mengangkat wajahnya.
“Kenapa?” ucapnya lirih.
“Apakah cinta perlu alasan?” senyum Costas.
Gendis kehilangan kata.
“Ini masalah rasa, Gendis,” Costas menatap Gendis dalam. “Bukan masalah apa yang akan terjadi dan ada siapa di masa depan.”
Gendis menghela napas panjang. Antara bimbang dan ingin. Bimbang, karena merasa seolah ‘tidak benar’ telah lebih dulu mengetahui bahwa akan ada seorang cicit berwajah serupa Costas. Ingin, karena ia menyadari betul bahwa getar dan debar itu memang benar ada untuk Costas.
Ditatapnya Costas. “Aku tak bisa menjanjikan apa-apa.”
Costas tersenyum. “Tak perlu berjanji apa-apa. Kita jalani saja apa yang kita jalani.”
Gendis kembali kehilangan kata. Yang bisa dilakukannya hanya menatap telaga bening mata Costas. Dan ia menemukan sesuatu di sana. Sesuatu yang menenangkan. Yang baru kali ini bisa ia temukan di kedalaman mata Costas.
Inikah cinta?
Gendis mengerjapkan mata.
* * * * *
Lagu latar : For Always – Josh Groban & Lara Fabian
Musiknya manis,... seperti storynyaaaa....
BalasHapusnice post mbak
BalasHapusLek ngenteni sampek ngantuk. Duuh.....nasib beda zona waktu ......
BalasHapusTapi akhire......legooo iso moco
selalu suka serial Teleporter :)
BalasHapus