Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #14
* * *
“Semuanya
ini benar-benar membuatku tak nyaman,” keluh Anna sambil menyuapkan sesendok
puding ke dalam mulutnya.
Adita
menatapnya dengan iba. Sesungguhnya dia merasakan hal yang sama. Hanya saja,
mengakui perasaan itu pada Anna secara jujur berarti dia sedang membuka
kedoknya sendiri. Dan itu sangat membahayakan Rafael.
“Menurutku,
Mas Steve itu menarik juga sih, Mbak,” senyum Adita kemudian. “Nggak jauh beda
dari Mas Rafa.”
“Namanya
juga kembar identik,” Anna meringis sekilas. “Secara penampilan pasti nggak
beda jauh. Tapi sifatnya?”
Adita
langsung menyetujui ucapan itu, walau hanya dalam hati. Jelas dia bisa melihat
bahwa Rafael adalah seorang yang sangat tenang dan kelihatan jauh lebih matang
daripada Steve yang terkesan pecicilan.
“Dan
Bu Lea itu,” lanjut Anna, “care banget
dengan apa yang terjadi pada anak kembarnya. Sampai-sampai kita pun kecipratan care itu. Masuk akal nggak sih?”
“Ya...,”
Adita menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Terlalu care ya? Sepertinya itu juga yang sempat membuat Mas Rafa awalnya
menyembunyikan tentang aku pada mamanya. Tapi akhirnya kejadian juga hubungan
kami ketahuan, hehehe...”
Anna
menghela napas panjang. Ditatapnya Adita dengan kadar serius naik sekian kali
lipat.
“Bersyukurlah
Mbak Dita dapat Mas Rafa,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Adita
tercenung mendengar kalimat itu. Seutuhnya dia bisa menangkap adanya nada lara
yang tersirat di dalamnya. Entah kenapa sebuah perasaan bersalah kemudian
menggunung di hatinya.
Dia
juga perempuan. Sama seperti Anna. Perasaannya belumlah terlalu tumpul hingga
dia masih bisa mengenali pendar-pendar keinginan dalam mata Anna. Keinginan
untuk memperoleh seorang laki-laki seperti Rafael. Bukan Steve.
Tiba-tiba
saja Adita merasa terjebak di tengah situasi yang baginya cukup rumit. Ada
Rafael dan Anna yang saling memiliki rasa yang sama. Dan dia berada di tengah
keduanya begitu saja.
“Hm...
Betul perkiraanku!”
Keduanya
sama-sama kaget dan menoleh mendengar suara itu. Steve mendadak saja hadir
dengan seulas senyumnya yang cerah.
“Kalau
nggak ada di pet shop atau klinik,
pasti ada di sini!”
Aduuuh... Dia lagi!
Anna
makin kehilangan mood karena merasa
acara ngerumpinya dengan Adita jadi terganggu. Dengan putus asa ditatapnya
Steve.
“Sekarang
apa lagi?” ketusnya.
Steve
masih mempertahankan senyum lebarnya.
“Kangen,”
jawabnya singkat.
Anna
mendengus mendengarnya.
Diam-diam
Adita beringsut dari duduknya. Tanpa kentara, dia pun meninggalkan tempat itu
supaya tak mengganggu Steve dan Anna.
* * *
Dia sebetulnya tertarik pada
Mas Rafa. Aku bisa merasakan itu.
Rafael
tercenung menatap ponselnya. Pesan dari Adita masih bisa terbaca dengan sangat
jelas di sana.
Kenapa harus menyakiti diri
sendiri dengan mengingkarinya?
Rafael
menghela napas panjang.
Ya, aku tahu alasannya. Tapi
apakah tak ada jalan lain? Kupikir Mas Steve bisa bersaing secara dewasa saat
ini.
Sekali
lagi Rafael menghela napas panjang.
Tentu
saja dia mengenal Steve jauh lebih baik daripada siapa pun. Mungkin benar Steve
sudah jauh lebih dewasa dan bisa bersaing dengannya untuk mendapatkan Anna
dengan cara yang ‘baik dan benar’. Tapi siapa bisa menjamin bahwa Steve akan
sedewasa itu pula menghadapi kekalahannya? Apalagi saat ini mata hatinya sudah
menangkap ada sesuatu yang lain dari Anna terhadapnya. Sesuatu yang akan
membuat Steve kalah telak. Dan dia tak berani membayangkan apa akibatnya bila
hal itu benar-benar terjadi.
Dan
Adita...
Sejak
awal dia sendiri yang sudah melibatkan Adita dalam jalinan rumit itu walaupun
harus ada tebusan berupa sejumlah nominal tunai yang cukup besar. Dan hingga
detik ini, rasanya Adita masih bisa bersikap dengan sangat profesional. Membuat
perjanjian itu berjalan terus hingga menuju ke titik akhir yang entah kapan
datangnya. Saat Steve sudah benar-benar nyata keluar sebagai pemenang hati
Anna.
Selanjutnya,
Rafael hanya bisa menghenyakkan punggungnya pada sandaran kursi dengan pikiran
terasa penat. Entah harus menguraikan kerumitan itu dari ujung mana. Dia sama
sekali tak punya bayangan sedikit pun.
* * *
Setengah
mati Rafael meneguhkan hatinya untuk tidak menoleh pada Anna di sepanjang acara
resepsi itu. Dia berusaha hanya fokus pada Adita.
Benar
seperti bayangannya. Gaun batik berwarna dasar merah bata itu terlihat sangat
pas membungkus tubuh Adita. Bukan itu saja. Warnanya terlihat sangat cocok
dengan kulit sawo matang cerah yang dimiliki Adita. Membuatnya terlihat makin
manis dan segar.
Dan
tentu saja yang paling cerah wajahnya, selain pengantin dan keluarganya, adalah
Lea. Beberapa kerabat yang mengetahuinya hadir dengan membawa serta kedua gadis
anak laki-laki kembarnya tak hentinya memuji pilihan anak-anak itu.
Tentu
saja satu hal tak luput dari pantauannya. Sekali lagi Steve dan Rafael
memperlihatkan dua sisi yang berlawanan. Bila Steve terang-terangan show off tentang dia dan Anna pada
setiap kerabat yang ditemuinya, maka Rafael justru menjauhkan Adita dari semua
itu.
Tanpa
kentara Rafael membawa Adita pada sudut-sudut yang nyaris tak terjangkau radar
para kerabat. Dan Lea jelas-jelas bisa menangkap perbedaan gesture Anna dan Adita. Bila Anna terlihat sering tersipu dan salah
tingkah karena sikap Steve, maka Adita terlihat cukup nyaman dengan
keberadaannya di samping Rafael pada acara itu.
Pelan
Lea menghela napas panjang. Memang benar bahwa Anna tidaklah seperti kebanyakan
gadis-gadis Steve yang pernah dibawanya ke rumah. Rasanya tidaklah terlalu
berlebihan bila mengharapkan Anna menjadi pelabuhan terakhir Steve karena
dialah yang terbaik. Tapi diam-diam dia merasa khawatir.
Sikap
show off Steve yang nyaris sama dengan ketika dia
berada di samping gadis-gadisnya yang lalu bisa jadi malah akan jadi bumerang
tersendiri suatu saat kelak. Anna jelas-jelas bukanlah salah satu gadis
pengejar Steve yang rela diperlakukan apa saja hanya demi bisa berada di dekat
Steve.
Hm... Dia perlu ditatar lagi
rupanya...
Lea
menggelengkan kepala tanpa kentara.
* * *
“Enak?”
Rafael
menatap Adita yang tengah menyuap sesendok kecil puding ke dalam mulutnya.
Adita mengangguk sambil tersenyum.
“Kurasa
masih jauh lebih enak puding buatanmu.”
Adita
tersipu seketika.
“Lho,
dipuji kok malah malu-malu begitu?” goda Rafael.
“Terus
aku harus bilang ‘wow’ sambil salto, begitu?”
Rafael
nyaris terbahak mendengar jawaban lucu Adita yang sama sekali tak terduga olehnya.
Adita tersenyum lebar karenanya.
“Kalau
Mas mau, nanti aku kemaskan puding buat dibawa ke Bogor.”
“Nggak
ah!” Rafael menggeleng. “Nggak nolak.”
“Dih!”
jemari Adita mencubit lembut lengan Rafael dengan gemas, membuat Rafael tertawa lebar karenanya.
“Raf...”
Panggilan
halus itu membuat Rafael menoleh. Sedetik kemudian dia tertegun menatap siapa yang
baru saja memanggilnya.
“Apa
kabar?”
Mega?
Diam-diam
Rafael menelan ludah.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #16
Selamat pagi mbak cantik.... ini di buat rameeee yaaa.... ada si Mega,... ga sabar nunggu lanjutan.... met aktivitas mbak....
BalasHapusMet pagi, Mbak MM... Selamat beraktuvitas juga, makasih singgahnya...
Hapuslanjotttt makk,, :)))
BalasHapusSiaaap, Mbaaak... Makasih mampirnya ya... Abis ini aku mo meluncur ke Elroy. Penasaraaannn...
Hapusnice post mbak
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur... Selamat berkarya...
HapusMega yg dulu itu kan...
BalasHapus#eh
Hehehe... Iya...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Vitri...
nunggu steve ditatar emaknya...
BalasHapusini penataran 48 jam apa 120 jam ???
inget jaman penataran P4...
Hihihi... penataran 1 babak. Nuwus mampire yo, Jeng...
HapusWah, ada mega nih, gmana tuh kelanjutannya?
BalasHapusKelanjutannya sudah tayang, Bu Fabina... Selamat menikmati dan makasih singgahnya...
Hapus