Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #20
* * *
Anna
berdiri diam di balik vitrase jendela kamarnya di lantai dua, tepat di atas pet shop. Dia tercenung ketika melihat
sebuah mobil yang dikenalnya betul meluncur masuk ke lahan parkir di seberang
jalan. Matanya terus mengikuti hingga mobil itu berhenti di sebuah sudut.
Debar
di dadanya terasa meliar ketika dilihatnya sosok itu keluar dari dalam mobil
dan melangkah yakin menuju ke ruko tempat Adita membuka usaha. Pelan Anna meletakkan kedua telapak tangannya di dada. Seolah mencoba untuk menenangkan
jantungnya.
Seandainya...
Pikirannya
mulai ikut meliar bersama debar-debar yang tak kunjung berhenti. Tangannya
mulai mengepal seiring dengan menghilangnya sosok itu ke dalam warung Adita.
Kenapa kamu tidak sedikit
pun menoleh ke arahku? Kenapa tidak pernah? Sedikiiit saja...
Dan
kepalan itu menghantam lemah kusen jendela.
Ketika
dia menatap wajah pucat Rafael beberapa minggu yang lalu, ketika Steve
mengajaknya ke rumah pada suatu sore di hari Selasa, ada yang terasa nyeri di
hatinya. Ingin dia berlama-lama mengobrol, bertukar kabar, berbagi cerita
dengan Rafael yang tengah menekuni laptopnya di sudut teras belakang, tapi
Steve sudah menariknya pergi.
“Dia
nggak mau diganggu kalau lagi sibuk begitu,” bisik Steve.
“Tapi
kan dia lagi sakit?” Anna balas berbisik.
“Obatnya
ya tetap bekerja walaupun resminya cuti.”
Anna
menatap di kedalaman mata Steve. Tak ditemukannya sinar main-main di sana.
“Kalau
dia lelah dia akan berhenti. Istirahat,” bisik Steve lagi. “Kalau dia masih
juga bandel, Mama akan turun tangan.”
Maka
dia pun membiarkan Steve membawanya menjauh dari Rafael.
Dan selamanya akan tetap
jauh...
Anna
menutup tirai jendelanya pelan-pelan. Masih ada yang terasa berdenyar di sekujur
tubuhnya. Denyar yang menyakitkan.
Dan entah sampai kapan aku
akan tetap merindukanmu...
Ditinggalkannya
jendela ketika mendengar pintu diketuk dari luar.
“Mbak...,”
terdengar suara Mbok. “Ada Mas Steve tuh!”
Dihelanya
napas panjang sebelum keluar. Setidaknya dia masih punya seseorang untuk
ditatap. Seseorang yang wajahnya begitu mirip dengan orang yang kini tengah
berada di seberang jalan.
* * *
Wajah
tampan itu terlihat segar. Anna mengerutkan keningnya. Seperti ada yang berubah... Sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. Kacamatanya... Dan model rambutnya...
“Hai!”
Anna
mengembangkan senyumnya menyambut sapaan itu.
“Baru
dari barber shop ya?” Anna menunjuk
kepala Steve.
Steve
tertawa sambil mengelus rambutnya. “Cakep nggak?”
Anna
tertawa juga. “Kacamatanya ganti juga.”
“Iya,”
Steve nyengir. “Pas gendong salah satu kucing Mama, cakarnya menyambar
kacamataku. Jatuh, pecah. Jadi sekalian saja ganti frame.”
“Mau
minum apa?” Anna hendak beranjak pergi.
“Eh,
nggak usah,” Steve buru-buru mencegahnya. “Aku mau ajak kamu jalan.”
“Ke
mana?”
“Ke
mana saja,” Steve tersenyum lebar. “Asal bersamamu.”
“Gombal
banget,” Anna mengibaskan tangannya dengan bibir mengulas senyum lebar. “Ya
sudah, aku ganti baju dulu.”
“Pakai
celana, pakai jaket.”
Walau
tak mengerti kenapa harus ada dress code
seperti itu, tapi Anna menurutinya juga. Dan dia baru mengerti setelah berada
di luar bersama Steve. Kali ini laki-laki itu tidak membawa mobilnya, melainkan
sebuah motor sport 600 cc. Beberapa saat kemudian Anna sudah duduk manis di
belakang Steve.
Diam-diam
Anna tersenyum. Semuanya tentang Steve sungguh susah untuk diduga. Juga tempat
di mana Steve membawanya menjelang malam yang cerah itu. Hanya ke taman kota
tak jauh dari rumah Anna.
Di
sebuah bangku taman mereka duduk berdampingan. Berbagi sebungkus kacang rebus.
Menikmati sari tebu dalam gelas kertas. Mencuil arum manis bergantian dari
gulungannya yang cukup besar. Meniup-niup kuah bakso panas di dalam mangkok.
Dan
hati Steve sungguh tergetar hebat melihat pendar cahaya di wajah Anna setiap
kali gadis itu tersenyum dan tertawa. Membuatnya ingin meletakkan gadis itu ke
dalam kotak kaca dan memajangnya di sebuah tempat yang membuatnya bisa
menatapnya setiap saat. Dia menggeleng pelan menyadari bahwa pikiran
melanturnya itu tak akan pernah bisa terjadi.
Anna
menatap punggung Steve ketika laki-laki itu mengembalikan mangkok bakso ke
gerobak penjualnya. Dan dia terperangkap dalam tatapan Steve ketika tiba-tiba
saja laki-laki itu menoleh.
“Mau
jagung rebus?”
Anna
menggeleng.
“Jagung
bakar?”
Anna
menggeleng lagi. “Aku sudah kenyang.”
“Tapi
aku masih lapar,” Steve memegang perutnya dengan wajah memelas.
“Astaga...,”
Anna tertawa sambil melihat ke arlojinya. Sudah hampir jam setengah sepuluh
malam.
“Warung
Adita masih buka nggak ya? Biasanya tutup jam berapa?”
Anna
berdehem sebelum menjawab, “Sampai jam 12 juga masih buka. Apalagi weekend begini.”
“Lanjut
ke sana yuk!”
Dan
Anna sama sekali tak menemukan alasan untuk menolak kendati jantungnya kembali
berdebar kencang.
Ke sana? Ada kemungkinan
bertemu denganNYA?
Anna
menelan ludah sambil bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Steve.
* * *
“Hai!”
Rafael mencoba tersenyum ketika Adita muncul di teras belakang ruko.
Adita
melangkah ragu mendekatinya. Beberapa detik kemudian gadis itu sudah duduk di
seberangnya, berbatasan meja. Ditatapnya Adita.
“Kok
kamu kurusan?”
Adita
tercengang. “Masak sih?”
Rafael
mengangguk. Adita menatapnya.
“Mas
juga tuh...”
“Masak
sih?” Rafael menirukan nada suara Adita ketika mengucapkan kalimat yang sama.
Adita
tertawa mendengarnya. Ada yang terasa hangat dalam hati Rafael ketika mendengar
tawa itu. Dia pun mengulas senyum di bibirnya.
“Mas
sudah makan?”
“Nih...,”
Rafael menyorongkan piring kecilnya yang sudah kosong.
“Itu
kan cuma cemilan,” Adita menggelengkan kepalanya. “Aku lapar, belum makan. Ke
depot di pojokan situ yuk!”
Tanpa
menjawab, Rafael pun bangkit dari duduknya.
“Sudah
hampir jam delapan kok belum makan, Dit?” ucap Rafael sambil berjalan ke luar
ruko.
“Iya,
aku ketiduran tadi.”
“Hm...
Iya, kamu tadi pulas banget. Jadi nggak tega mau bangunin.”
“Hehehe...,”
Adita tersipu. “Untung aku tidurnya tanpa ngiler.”
“Melek
atau merem, kamu tetap manis banget kok.”
Ucapan
Rafael terdengar begitu serius di telinga Adita. Membuatnya segan untuk
bercanda lagi.
Masih
tersisa beberapa bangku kosong di depot chinese
food yang mereka tuju. Adita tetap terlihat asyik melihat-lihat lembaran
menu walaupun mereka sudah melakukan pemesanan. Hanya saja beberapa saat
kemudian dia merasa terusik. Ketika dia mengangkat wajah, tatapan Rafael
seketika menguncinya. Dia mengerjapkan mata.
“Aku
yang berlebihan, atau memang kamu sekarang lebih pendiam?”
Adita
tercekat mendengar suara lirih Rafael. Dia benar-benar tak tahu harus menjawab
bagaimana. Ingin dia membahas kontrak yang sudah pernah mereka tanda tangani
bersama, tapi dia tak tahu harus mulai dari mana. Pelan dia mengalihkan
tatapannya ke arah lain.
“Apakah
kamu juga memikirkan hal yang sama denganku?”
Seketika
Adita kembali menatap Rafael. “Soal apa?”
“Mm...,”
Rafael terlihat ragu-ragu. “Kontrak kita...”
Sebuah tusukan yang menyisakan rasa nyeri tiba-tiba muncul di hati Adita. Dia kembali menghindari tatapan Rafael. Tapi sesaat kemudian dia mencoba untuk memberikan jawabannya.
Sebuah tusukan yang menyisakan rasa nyeri tiba-tiba muncul di hati Adita. Dia kembali menghindari tatapan Rafael. Tapi sesaat kemudian dia mencoba untuk memberikan jawabannya.
“Aku
hanya berusaha untuk menjalankan isi kontrak secara benar walaupun kapan
berakhirnya tidak tercantum,” gumam Adita. “Tapi melihat perkembangan keadaan yang
ada sekarang, kelihatannya memang sudah mendekati akhir. So...,” Adita mengangkat bahu.
Rafael
menghela napas panjang. Terasa berat. Apalagi ketika matanya menatap senyum
Adita yang terlihat begitu dipaksakan.
“Oh
ya, sore tadi Tante ke sini,” lanjut Adita, lirih.
“Tante
siapa?” Rafael mengerutkan kening.
“Tante
Lea,” Adita merogoh kantong celananya. Sebuah ponsel kemudian tergenggam di
tangannya. Dia merogoh saku celananya yang sebelah lagi. Ditariknya sebuah handsfree. Setelah memasang handsfree itu pada ponsel dan menyentuh
layarnya, Adita mengulurkannya pada Rafael.
“Aku
tadi merekamnya. Pembicaraan kami.”
Rafael
mengambil alih ponsel itu. Beberapa detik kemudian dia sudah asyik merenungi
semua yang terdengar di telinganya. Ketika rekaman itu berakhir, pelan Rafael
melepaskan earphone dari telinganya.
Dia kemudian mengembalikan ponsel itu pada Adita.
Lalu
keduanya tenggelam dalam hening. Asyik bermain dengan pikirannya masing-masing.
Dia mengangkat wajah ketika Adita berucap lirih.
“Perasaan
Tante sangat peka, Mas... Aku nggak bisa membohongi beliau lebih lanjut.”
Rafael
menghela napas panjang. Dia kemudian mengulurkan tangannya. Adita menatapnya
sambil mengerutkan kening. Tapi ketika dilihatnya uluran tangan itu mengajaknya
berjabat, maka dia pun menyambutnya. Rafael menggenggam tangan itu dengan
hangat.
“Dengan
ini kontrak kita selesai. Senang bekerja sama denganmu,” ucap Rafael cepat
dalam satu kali tarikan napas.
Seketika
ada sebongkah besar serpihan hati yang terasa hilang dari dalam diri Adita.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #22
Hik hik hik,masih nunggu hari kamis
BalasHapusnice post mbak
BalasHapussippoooo mak, nunggu again :))))
BalasHapusHadlir!
BalasHapusKape komen kok cek angele yo mba? Aq nguprek blog e pean durung mari dino iki
BalasHapusBerharap Rafael menyatakan cinta.... wah... indahnya. Hehehehehehe... tapi ngga bisa ya?
BalasHapusaku pengen bakmie cap cay...
BalasHapusaku pengen makaroni schotel...
aku pengen puding...
aku pengen jus jeruk...
tapi gak bisa karena gigiku masih cenut2...
akankah perasaan rafael dan adista seperti gigiku dan semua makanan itu...
pengen tapi gak bisa ???