Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #19
* * *
“Mas,
sudah berapa minggu nggak pulang ke Jakarta?”
Rafael
mengangkat wajah, mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Ditatapnya Hartono
sejenak.
“Ada
sebulanan, Pak,” jawabnya lirih.
“Mas
Rafa kerja terlalu keras, sampai sakit.”
“Saya
sudah nggak apa-apa kok,” dicobanya untuk tersenyum.
Hartono
menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tatapannya belum lepas dari wajah
Rafael. Di matanya, wajah anak muda itu terlihat letih dan lebih tirus dari
biasanya.
“Mas...,”
Hartono terlihat sangat berhati-hati. “Nggak ada yang penting minggu depan. Mas
pulang saja. Istirahat. Ibu pasti kangen sama Mas.”
“Entahlah,
Pak,” Rafael meletakkan ponselnya di atas meja. “Saya sebetulnya ingin pulang,
tapi...”
“Mas
bisa cerita sama saya kalau Mas mau,” Hartono mengulas senyum.
Rafael
menatap Hartono. Seolah menimbang sesuatu sebelum memutuskan untuk bicara.
“Pak,
saya lagi dekat sama seorang perempuan,” Rafael menghela napas panjang. “Saya
nggak tahu saya mencintainya atau tidak. Yang jelas saya merasa nyaman
bersamanya. Seperti teman, tapi kok saya merasa lebih dari itu. Dibilang
pacaran, kok belum sampai ke situ. Saya mencoba untuk tidak menghubunginya
sejak saya terakhir pulang itu. Dia juga tidak menghubungi saya. Entahlah,
Pak...”
“Hm...,”
Hartono menegakkan punggungnya. “Mas merasa kangen padanya?”
Rafael
menggeleng pelan. “Saya cuma merasa ada yang kosong dalam hidup saya.”
“Pulanglah,
Mas. Temui dia. Mungkin Mas tidak mengenali apa yang ada dalam hati Mas Rafa.
Ambillah waktu untuk untuk itu, untuk diri Mas sendiri. Menikmati hidup.
Menikmati hasil kerja keras Mas selama ini. Menikmati membina hubungan dengan
perempuan yang Mas inginkan, yang Mas butuhkan untuk mendampingi Mas. Saya tahu
Mas beda dengan Mas Steve. Tapi ada beberapa hal yang bisa Mas contoh dari Mas
Steve. Sedikit lebih menikmati hidup tanpa meninggalkan tanggung jawab.”
Rafael
tercenung mendengar ucapan panjang lebar Hartono.
Sedikit saja lebih menikmati
hidup?
Ditatapnya
Hartono. Pelan dia mengangguk. Tak ada yang salah dalam ucapan laki-laki
setengah baya di hadapannya itu. Dalam banyak hal dia menemukan sosok papanya
dalam diri Hartono. Hartono sudah seperti ayah kedua baginya.
Hartono
adalah karyawan papanya yang paling setia. Seharusnya Hartonolah yang memegang
pucuk pimpinan cabang Bogor. Tapi dengan senang hati dia mempersilahkan Rafael
memangku jabatan itu ketika saatnya tiba dan harus puas hanya dengan menjadi
tangan kanan Rafael.
“Baiklah,
Pak. Saya pulang nanti sore. Kalau hari Senin saya nggak muncul berarti saya
libur seminggu ya? Tolong Pak Har handle semuanya.”
“Siap,
Mas!” Hartono mengacungkan jempolnya.
* * *
Adita
berusaha sekuat tenaga mengubah wajahnya jadi berekspresi seceria mungkin.
Tidak terlalu berhasil. Tapi setidaknya cukup untuk menutupi debar hatinya
ketika langkahnya makin dekat ke teras belakang ruko. Sempat dihelanya napas
panjang sebelum menemui tamunya.
“Sore,
Tante,” sapanya lembut.
Lea
menoleh sambil bangkit dari duduknya. Dikembangkannya lengan lebar-lebar.
Membuat Adita terpaksa tenggelam di dalamnya sambil menerima ciuman hangat di
kedua belah pipinya.
“Apa
kabar, Tante?” Adita duduk di seberang Lea berbarengan dengan perempuan itu
kembali duduk di kursinya.
“Baik,”
senyum Lea. “Hanya saja...”
Entah
kenapa debar jantung Adita terasa menguat. Pelan dia menunduk. Tanpa kentara
dia menyentuh beberapa bagian layar ponselnya. Sejenak kemudian diangkatnya
lagi wajahnya.
“Tante
bisa cerita apa saja sama saya,” Adita mengerjapkan mata, “kalau Tante
berkenan.”
“Hm...,”
Lea menatap Adita. “Entahlah, Dit. Mama cuma merasa ada yang nggak beres dengan
hubunganmu dan Rafa. Mama bukannya mau ikut campur. Hanya ingin tahu. Siapa
tahu kalau memang ada masalah, Mama bisa bantu.”
Adita
menelan ludah. Tenggorokannya terasa sakit tiba-tiba.
“Nggak
ada apa-apa sih, Tante...,” jawaban Adita terdengar tak meyakinkan. “Memang
belakangan ini saya juga sibuk banget. Ada karyawan yang keluar dan ada
karyawan baru masuk. Jadi saya harus mengajari dulu. Kelihatannya Mas Rafa juga
sibuk. Makanya komunikasi kami jadi berkurang. Tapi semuanya baik-baik saja
kok. Saya minta maaf, Tante. Waktu Mas Rafa sakit, saya sama sekali nggak
menengok. Waktu itu saya sendiri juga lagi dalam kondisi nggak keruan.”
Ingin
rasanya Adita hilang ditelan bumi saat itu juga. Apalagi menerima tatapan Lea
yang sedemikian rupa. Terlihat tidak menuntut penjelasan, tapi juga seolah tak
percaya 100% atas apa yang telah didengarnya sendiri dari mulut Adita. Membuat
Adita merasa terjebak dalam ketakutan akan salah bicara atau bersikap.
“Iya,
Mama mengerti,” senyum Lea. “Rafa bilang kok, sama Mama, soal kamu juga lagi
butuh istirahat.” Lea menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi. “Hm... Mungkin Mama berharap terlalu banyak
dari hubungan kalian. Ada beberapa hal yang membaik belakangan ini. Hubungan
Steve dan Rafa. Mereka sudah mulai mau mengobrol. Tante juga melihat Rafa
sedikit berubah. Jadi lebih ceria, nggak seserius biasanya, terlihat lebih
santai menjalani hidup. Semuanya terjadi sejak ada kamu dalam hidupnya. Hanya
saja beberapa minggu ini Mama seolah kehilangan kontak dengannya. Sejujurnya
Mama khawatir. Terakhir dia kembali ke Bogor dalam kondisi belum begitu sehat.”
Adita
tercenung mendengar penuturan panjang-lebar Lea.
Kalau benar semuanya
membaik, kenapa dia tak juga menghubungiku? Bahkan untuk sekadar menyapa? Atau mengucapkan selamat tinggal saat semua
kontrak berakhir? Atau aku yang berharap terlalu banyak? Ah...
“Jadi
betul ya, nggak ada apa-apa?”
Adita
tersentak. Dia mengangkat wajah dan menemukan wajah teduh Lea menunggu jawaban
darinya. Adita mengangguk sedikit. Mencoba untuk tersenyum.
“Ya
sudah. Seandainya ada apa-apa, kalian coba selesaikan dulu ya?”
Adita
kembali mengangguk.
* * *
Malam
sudah makin hitam ketika Rafael membelokkan mobilnya ke lahan parkir kompleks
ruko itu. Jam digital di dashboard-nya
menunjukkan angka 07:22 PM. Terpaksa dia parkir agak jauh karena sudah tak
tersisa tempat lagi di depan tempat usaha Adita.
Ketika
dia masuk, tempat itu ramai oleh pengunjung. Seorang pramusaji menyapanya,
“Maaf, Mas, tempatnya sudah penuh.”
Rafael
menatapnya. Kelihatannya pramusaji itu orang baru sehingga tak mengenalnya. Dia
tersenyum.
“Saya
cari Mbak Dita. Ada?”
“Ada
di kantornya.”
“Oh...
Oke!”
Tanpa
menunggu jawaban, Rafael segera menapakkan langkahnya menaiki tangga. Ketika
pramusaji itu hendak mencegahnya, pramusaji yang lain mencegahnya.
“Itu
Mas Rafa, cowoknya Mbak Dita.”
"Aduuuh... Ganteng bangeeet..."
"Aduuuh... Ganteng bangeeet..."
Rafael
tersenyum mendengar kalimat-kalimat lirih yang menggema di belakang punggungnya itu. Dan
Adita ditemukannya tengah tergolek di atas sofa di dalam ruangan kantor yang
pintunya terbuka lebar. Tertidur lelap. Dengan wajah yang terlihat menyimpan
keletihan.
Rafael
tercenung melihatnya. Pelan dia duduk di atas sofa pendek di dekat Adita.
Matanya menyusuri semua gurat yang membayang halus di wajah Adita. Ada keharuan
yang merebak begitu saja ketika menyadari bahwa selama ini sudah begitu keras
perjuangan Adita untuk mendapat kehidupan yang jauh lebih baik.
Dan sudah beberapa minggu
ini aku sengaja meninggalkannya...
Sebuah
penyesalan terbit dalam hati Rafael.
Membiarkannya menanggung
semuanya sendirian...
Pelan
Rafael menghela napas panjang.
Dan aku kalah...
“Mas...”
Rafael
tersentak kaget. Dia menoleh cepat ke arah pintu. Seorang karyawan Adita tengah
berdiri di sana. Spontan Rafael meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
Dari tempatnya berdiri, karyawan Adita itu bisa melihat sosok Adita yang tengah
tertidur pulas. Dia mengangguk mengerti.
“Mas
mau minum apa?” bisiknya kemudian.
Rafael
menggeleng sambil bangkit pelan-pelan. Dia kemudian keluar dari ruangan itu
tanpa suara, diikuti Alif, karyawan Adita itu.
“Semuanya
beres di sini, Lif?” tanya Rafael sambil berjalan menuruni tangga.
Alif
mengangguk.
“Aku
lihat ada pramusaji baru tadi.”
“Iya,
Mas. Eki sama Yuni keluar. Eki dapat kerja pabrikan. Yuni pulang kampung. Ibunya
sakit keras. Gantinya Udik sama Mery.”
“Oh...”
“Mas
lama nggak ke sini.”
“Iya,
banyak kerjaan, Lif.”
“Saya
bikinkan lemon tea ya, Mas?”
“Boleh...
jangan terlalu panas ya?”
“Baik,
Mas.”
Rafael
kemudian duduk di teras belakang. Tak lama kemudian Alif sudah muncul lagi
dengan membawa segelas teh lemon hangat dan seporsi schotel kesukaan Rafa.
“Silakan,
Mas,” ucap Alif sambil menghidangkannya pada Rafael. “Kalau mau lagi, panggil
saya saja.”
Rafael
mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
* * *
Bunyi
alarm ponsel itu membuat Adita terjaga. Sambil mengerjapkan mata dia meraba ke
sisi kiri tubuhnya. Mendapati ponselnya bergetar, terjepit antara pinggulnya
dan sandaran sofa. Angka 19:40 tertera jelas di layar ponselnya. Dia pun
menguap.
Tapi
gerakan mulutnya terhenti ketika dia menyadari sesuatu. Ada bau lain yang
mengelus hidungnya. Samar. Sangat samar. Tapi berhasil membuatnya bangun dan
duduk tegak di sofa. Wangi parfum beraroma maskulin yang sangat dikenalnya.
Otakku sepertinya sudah
rusak, dia menggerutu dalam hati. Bahkan wangi parfumnya pun seolah melekat di otakku.
Adita
menggelengkan kepalanya yang terasa pening. Dihelanya napas panjang. Dan aroma
wangi itu menghilang begitu saja. Dia kemudian berjalan ke arah meja kerjanya.
Sisa teh yang masih setengah gelas dihabiskannya beberapa teguk sebelum dia duduk,
menyisir rambut, dan membenahi wajahnya supaya kelihatan lebih segar. Setelah
semua selesai, dia pun keluar dari kantornya.
“Mbak
Dita mau makan apa? Atau mau dibelikan makanan apa?” tanya Mimi begitu Adita
sampai di bawah.
“Semua
sudah pada makan?”
“Sudah,
Mbak.”
“Hm...
Tolong belikan ifu mie capcay saja di depot pojokan situ ya?” Adita mengeluarkan
dompet dari saku celananya.
“Mas
Rafa dibelikan juga? Atau mau ditawarin pilihan lainnya?”
“Hah?”
Adita mengerutkan kening. “Mas Rafa?”
“Lho,
Mbak Dita nggak tahu Mas Rafa ke sini? Tuh! Ada di teras belakang.”
Seketika
ada dentaman-dentaman liar muncul dalam dada Adita. Tanpa peduli keheranan di wajah
Mimi, dia pun melangkah ke teras belakang.
Jadi benar dia ada di sini? Melihatku
tertidur? Astaga...
Adita
merasa langkahnya agak limbung. Dia perlu berhenti sejenak untuk menata hatinya
sebelum melanjutkan langkah.
Dan
benar! Sosok itu ada di sana. Duduk diam di kursi teras belakang sambil pelan-pelan
menyuap sesendok demi sesendok schotel
ke dalam mulutnya. Adita membuka mulutnya.
“Mas...”
Dia
tak bisa menahan suaranya agar tidak bergetar. Dan Rafael menoleh. Menatapnya dengan
sorot mata yang sungguh sukar diartikan. Membuat Adita harus menyandar sejenak di
kusen pintu agar dia tidak lebih limbung lagi.
* * *
Bersambung ke episode selanjutnya : Rinai Renjana Ungu #21
nice post mbak
BalasHapusHadlir! Hm mesti baca dari awal nih...
BalasHapus