Senin, 08 Juli 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #4 - 1

 




Episode sebelumnya



* * * * *



Empat

Cincin Itu .... - 1



Senja sudah mulai remang-remang ketika Adrian mengantarkan formulir pendaftaran komunitas ke rumah Erid. Tak lama, ia segera berpamitan.


Sambil berjalan ke ruang makan, Erid membaca formulir itu. Ada bagian pendaftaran, ada pula ketentuan komunitas. Tak banyak aturan yang ada di komunitas. Titik beratnya hanya pada keamanan dan kenyamanan anggota, baik anak berbulu maupun 'orang tua'-nya.


Ia baru beberapa hari lalu tahu ada komunitas itu dari Bara, sepupunya. Bara memang sudah menempati salah satu rumah di kompleks itu sejak empat tahun yang lalu. Sedangkan ia masih baru hitungan minggu, belum genap satu bulan.


Tatapan Erid teralihkan ketika ada yang melintas di dekatnya. Ia mengangkat wajah.


"Yuk," panggilnya.


Atik, perempuan berusia empat puluhan yang membawa setumpuk baju bersih yang sudah diseterika itu, berhenti dan menoleh.


"Ya, Mas?"


"Mau ke kamarku?"


"Iya."


"Tolong sekalian ambilkan bolpenku di meja, ya. Makasih."


"Baik, Mas."


Atik pun segera meneruskan langkah ke lantai dua. Sejenak kemudian kembali lagi dengan benda yang diminta Erid. Laki-laki itu kembali mengucapkan terima kasih ketika bolpennya sudah terulur di depannya.


Hanya lima menit waktu yang diperlukan untuk mengisi formulir itu. Tadi Adrian mengatakan, bahwa ia bisa mengembalikan formulir itu saat pertemuan komunitas berikutnya, empat minggu lagi.


Erid menghenyakkan punggung ke sandaran kursi makan. Masih diamatinya formulir yang sudah terisi itu. Saat itu, Atik muncul kembali.


"Mau makan sekarang, Mas? Saya siapkan dulu."


"Nggak usah ditaruh sini, Yuk." Erid mengangkat wajahnya, kemudian bangkit berdiri. "Aku ambil sendiri aja di dapur."


Atik pun mengangguk patuh. Majikannya yang satu ini memang tak pernah rewel. Praktis-praktis saja maunya. Apalagi ia memang hanya tinggal sendirian. Hanya bersama Atik dan Nono, suaminya, yang sehari-harinya bertugas mengurusi trio anabul, membantu istrinya bersih-bersih dan merawat rumah, mengurusi kendaraan yang dimiliki Erid, merangkap juga sebagai sopir kalau diperlukan. 


"Sekalian Lik Nono suruh makan, Yuk. Sudah waktunya ini," ujar Erid ketika bertemu lagi dengan Atik.


"Iya, Mas."


Dari dapur, Erid melangkah ke ruang tengah. Di tangan kirinya ada piring berisi nasi, gulai nangka-kubis-kacang panjang, ayam goreng, dan perkedel kentang. Tangan kanannya menenteng dua buah kerupuk udang. Ia memang lebih suka menikmati makanannya sambil bersantai di sofa dan menonton televisi.


Baru saja menghenyakkan bokongnya ke sofa, ada sapaan dalam suara bariton yang menggema, "Spadaaa!"


Tanpa menjawab, Erid mengulum senyum. Suara siapa itu, ia kenal betul. Benar saja, Bara muncul dari arah ruang tamu dengan wajah cerah dan langkah riang. Tangannya menenteng kantung plastik yang mengeluarkan aroma sedap.


"Martabak, Mas."


Bara meletakkan kantung plastik itu di atas meja, sekalian membuka kotak yang ada di dalamnya. Aroma martabak telur lebih menguar lagi saat ini.


"Beli di mana?" tanya Erid sembari mengecilkan suara televisi.


"Ada pusat jajan sekarang di samping GOR, dekat tempat parkir umum. Cabang dari yang ada di sebelah d'Nali. Baru buka dua minggu ini. Rame banget di sana. Enak-enak juga jajanannya."


Mendengar itu, tiba-tiba saja Erid merasa terusik. Teringat akan sesuatu.


"Itu beneran di sebelah d'Nali ada pusat jajan?"


"Adaaa. Dah lumayan lama, Mas. Dua-tiga tahunan ada."


Erid meringis sekilas. Ia memang bisa dibilang jarang sekali berkunjung ke ruang usaha ibunya. Jadi tak tahu apa pun yang ada di sekitar sana.


"Jangan-jangan pusat jajan di sebelah GOR itu usaha barumu, Bar?" senyum Erid. "Eh, tanah di sebelah GOR itu punyamu, 'kan?"


Sebagai CEO Garudeya Corporation, bisa dikatakan mudah bagi Bara untuk menambah bidang usaha dalam skala apa pun. Namun, rupanya Bara tak mau serakah.


"Bukaaan," geleng Bara. "Sudah kujual tanah itu. Sama pemilik barunya dijadikan pusat jajan. Ngumpulin pedagang kaki lima dengan sistem sewa. Sama kayak yang di sebelah d'Nali. Pemiliknya sama."


"Oh ...."


Baru saja hendak mengambil sepotong martabak seusai menghabiskan makan malamnya, ponsel di kantung celana pendek Erid berbunyi. Diambilnya lebih dulu benda itu.


𝘙𝘚𝘎𝘏 𝘪𝘴 𝘤𝘢𝘭𝘭𝘪𝘯𝘨 ....


"Halo, selamat malam," ucap Erid.


"𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮, 𝘋𝘰𝘬. 𝘋𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳 𝘈𝘭𝘦𝘹 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘋𝘰𝘬𝘵𝘦𝘳 𝘌𝘳𝘪𝘥 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘪 𝘣𝘢𝘣𝘺-𝘯𝘺𝘢. 𝘐𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘢𝘯 𝘭𝘪𝘮𝘢."


"Ya, saya segera meluncur ke sana."


Seingatnya, HPL istri koleganya itu masih dua mingguan lagi. Namun, begitulah para bayi dalam perut ibunya. Suka-suka mau keluar kapan. Lagipula Alex memang sudah jauh hari minta Erid untuk jadi dokter anak untuk bayi keduanya ini. Sama seperti anak pertamanya dua tahun lalu.


Batal mengambil martabak, Erid segera berdiri dan bersiap. Bara pun berpamitan, dan meninggalkan setengah bagian martabak yang tersisa di rumah Erid.


* * *


Sebuah Ducati Streetfighter berwarna hitam meluncur mulus dan berhenti di parkiran khusus tenaga medis dan paramedis RSGH. Sambil berjalan ke unit bersalin, Erid melepaskan arloji dan cincin belah rotan yang tersemat di jari manis kanannya. Disimpannya kedua benda itu baik-baik di dalam kantung ranselnya.


Sesekali ia menjawab sapaan beberapa perawat yang berpapasan dengannya. Ketika berbelok ke koridor unit bersalin, ponselnya berbunyi. Dari Alex.


"Gue udah sampai, Lex," jawab Erid seketika. "Tenang aja."


Terdengar embusan napas lega dari seberang sana.


Setengah jam sesudah Erid bersiap di samping dokter kandungan yang menangani istri Alex, bayi laki-laki itu pun terlahir. Sehat, montok, suara tangisnya membahana. Saking montoknya, sempat membuat ibunya kepayahan mengejan.


"Nggak ragu lagi! Beneran anak lo ini, Lex," canda Erid. "Berat 4150 gram, panjang 52 sentimeter."


Alex, laki-laki tinggi besar seumuran Erid, sang ayah bayi jumbo itu, tersenyum lebar sambil menyeka airmatanya.


Setengah jam kemudian, Erid sudah selesai menuliskan laporan. Sambil meregangkan tubuhnya dengan menarik kedua tangan ke atas, ia mulai bersiap untuk pulang. Dikenakannya kembali arloji dan cincinnya. Sejenak ia tertegun.


'𝘊𝘪𝘯𝘤𝘪𝘯 𝘪𝘵𝘶 ....'


Erid masih mengingatnya dengan jelas.


* * *


Pada hari Jumat, dua hari yang lalu, saat bersama Carina dan Lily menikmati makan siang bersama, Erid melihatnya lagi. Cincin itu. Cincin yang melingkar di jari manis kanan Lily.


Ketika Lily meraih gelas minumnya, ada yang sekilas kilatan menyambar mata Erid. Lalu, Erid pun mendapatkan sumbernya.


Kilatan sekilas itu berasal pantulan dari butir kecil berlian di salah satu jari Lily. Lebih tepatnya, berlian mungil yang tertanam pada sebentuk cincin emas putih polos sederhana. Cincin yang tersemat di jari manis kanan Lily.


Itu kali kedua Erid melihat keberadaan cincin Lily.


Yang pertama adalah kemarinnya, ketika Lily meletakkan tas kertas berisi makan siang titipan dari Carina di meja Tamtama. Namun, saat itu sekilas saja. Betul-betul hanya sekilas hingga begitu saja terlepas dari pikiran Erid.


Menilik bentuknya dan letaknya, itu ....


'𝘊𝘪𝘯𝘤𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘸𝘪𝘯𝘬𝘢𝘩? 𝘚𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪?'


Erid melirik jari manis tangan kanannya sendiri. Di sana sudah tersemat kembali sebentuk cincin emas putih yang serupa. Hanya saja miliknya polos. Belah rotan biasa. Tanpa berlian.


Erid mengerjapkan mata. Ingatannya lanjut berputar ulang.


Kemudian menjelang siang tadi, saat Lily memasukkan mangkuk minum Athena ke dalam kantung plastik. Cincin itu kembali dilihatnya. 


"Belum pulang, Dok?"


Lamunan itu terputus begitu saja. Erid mengangkat wajah, mendapati senyum Ella. Dibalasnya senyum perawat itu sembari berdiri.


"Iya, ini mau pulang."


Keduanya berpisah ke arah yang berbeda. Ella meneruskan langkah ke IGD, sementara Erid ke parkiran.


Saat hendak menghidupkan motor, tetes-tetes hujan terlihat jatuh di luar lingkup atap parkiran. Erid turun lagi dari motor untuk mengenakan jas hujan yang diambilnya dari dalam ransel. Untung saja, letak rumahnya tak terlalu jauh dari RSGH.


Ia memutuskan untuk menembus saja siraman hujan itu. Makin cepat sampai makin baik, karena malam terus merambat. Ia butuh istirahat yang cukup, supaya esok pagi bisa menyelesaikan pekerjaan rutinnya sebagai seorang dokter.


* * *


Episode selanjutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar