* * *
Delapan
Pelan, Rika menyandarkan punggungnya. Nuansa
Ayu, perusahaan kosmetiknya, berjalan dengan sangat baik belakangan ini. Bahkan
berhasil memperpanjang kontrak dengan beberapa selebriti. Para selebriti itu
memiliki merek sendiri, tapi ‘menumpang’ produksi di pabrik milik keluarga
Rika. Tentu saja tetap dengan formula rahasia masing-masing. Ada pula kontrak
baru. Melibatkan seorang artis penyanyi yang sedang naik daun.
Ia sudah bicara dengan Kencana, soal berbagi
kepemilikan Nuansa Ayu dengan Mia. Tentu saja ia akan ingat selamanya, betapa
Kencana menatapnya sedemikian rupa beberapa malam lalu.
“Ma,
aku ingin fokus di bisnis kuliner,” ucapnya halus, tanpa basa-basi. “Aku ingin
lepas dari Nuansa Ayu. Opsinya ada tiga. Membiarkannya tetap dipegang Mama
sampai Mia besar dan bisa menjalankannya, mengembalikan Nuansa Ayu kepada
keluarga Opa, atau menjualnya kepada pihak lain.”
Seketika
Kencana menatap putrinya. Lama. Seutuhnya ia menemukan kesungguhan dalam
kedalaman mata Kencana. Gadisnya itu terlihat sangat serius. Sejenak kemudian ia menggeleng samar.
“Nuansa
Ayu butuh tangan dingin, Ma. Aku lihat minat Mia sudah tepat pada jalur itu.
Mama tahu, kan, subsciber vlog
Mia terus merangkak naik?”
Kencana
mendegut ludah. Tentu saja ia tahu apa yang diperbuat putri bungsunya itu di
waktu senggang. Mia cukup aktif menggunggah video-video tutorial make
up. Dari yang paling sederhana dan
natural, hingga dandanan yang lebih menor untuk pesta. Sasarannya adalah para
remaja putri seusianya. Tak jarang diseretnya pula Kencana atau Rika jadi model
untuk penonton dengan sasaran usia lebih senior. Itu pun penontonnya juga mencapai
ratusan ribu.
Yang
paling penting, Mia selalu memakai produk Nuansa Ayu, dengan berbagai macam jenis
dan merek yang diproduksinya. Bahkan, hampir satu tahun belakangan ini, Mia
sudah menerapkan tarif untuk endorse make up dari merek milik
para selebriti. Ia pun menerapkan sistem eksklusif. Tak mau memakai selain
produk Nuansa Ayu. Sebuah strategi pemasaran yang sangat bagus menurut Kencana.
Hanya saja....
Kencana
menghela napas panjang. Kembali ditatapnya Rika.
“Rik,
kamu tahu, kan, Nuansa Ayu itu nantinya mutlak milikmu,” ujarnya kemudian,
dengan suara lembut. “Yang jelas, posisi Mia di luar itu.”
“Karena
garis darah?” Tatapan Rika menajam. “Ma, waktu ke Jogja beberapa hari lalu, aku
sempat ketemuan dengan Pakde Denta. Aku bicara soal Nuansa Ayu. Tahu apa Pakde
bilang? Nuansa Ayu itu milik Mama dan almarhum Papa. Sudah dihibahkan Opa Paul
secara resmi dan penuh ketika Mama dan almarhum Papa menikah. Aku anak almarhum
Papa, Mia anak Mama sekaligus adikku. Gimana bisa Mama bilang Mia nggak ada
hak?”
Kencana
kehabisan kata. Tak pernah membayangkan bahwa Rika sudah sejauh itu membawa
pikirannya.
“Aku
juga sudah bicara dengan Mia,” lanjut Rika. “Mia ada minat untuk melanjutkan
tongkat estafet kepemilikan Nuansa Ayu, Ma. Mama jangan pensiun dulu. Menjual
Nuansa Ayu ke pihak lain adalah opsi paling buncit yang bisa kupikirkan.
Daripada kejadian, lebih baik untuk Mia saja.”
Kencana
mengerjapkan mata. Rasa-rasanya ia harus menyerah kali ini.
“Ya,
nanti Mama bicarakan dulu dengan Papa,” desahnya kemudian.
Semalam keputusan besar sudah dibuat.
Kencana akan melepaskan Han’s Food untuk benar-benar secara penuh dikemudikan
dan dikembangkan Rika. Ia akan tetap di Nuansa Ayu, menunggu hingga Mia
benar-benar siap diserahi tongkat estafet kepemimpinan. Tapi satu hal Kencana
tak mau berkompromi. Rika tetap memiliki saham di Nuansa Ayu. Tak bisa lepas
begitu saja. Sebuah penyelesaian yang dirasa cukup adil oleh Rika.
Dan, di sinilah ia sekarang. Menjalani hari
terakhirnya di Nuansa Ayu dengan menandatangani beberapa dokumen, sekaligus
membersihkan kantornya dari barang-barang pribadi. Beberapa sudah dipindahkan
ke kantornya yang satu lagi. Kantor pusat Han’s Food di daerah Kebon Sirih.
Menjelang jam istirahat makan siang, semua
pekerjaannya sudah selesai. Tidak ada acara pelepasan dirinya secara resmi.
Hanya saja ia sudah mengirim email ke semua staf Nuansa Ayu, berisi pamitannya
dari perusahaan itu.
Baru saja hendak beranjak, ponselnya
berbunyi. Rika segera meraih tas untuk mengambil ponsel itu.
‘Kamu
lagi di mana?’
Dibacanya pesan itu. Dari Bismaka. Ia
kemudian membalasnya. ’Lagi di Pasar
Rebo. Kenapa?’
‘Wah,
kebetulan! Makan siang bareng, yuk!’
‘Tumben....’
Rika
tersenyum lebar.
‘Hehehe...
iya, aku lagi di Cijantung, . Gimana? Okekah?’
‘Boleh,
deh.’
Setelah menentukan tempat mereka bertemu
untuk makan siang, Rika pun meraih kunci mobilnya. Tak lupa, ia menghampiri
ruang kerja Kencana di sebelah ruang kerjanya. Setelah berpamitan, ia pun segera
turun ke parkiran mobil dengan membawa sebuah kardus, kemudian meluncur ke
bilangan Cijantung, ke sebuah pusat jajan yang ada di sana.
* * *
Bismaka segera menyimpan gawainya begitu
melihat Rika muncul. Rasanya senang sekali berhasil menyisihkan sedikit waktu
untuk makan siang bersama gadis itu di tengah kesibukannya bekerja. Apalagi
pada saat yang sama, Rika pun sedang punya waktu luang. Dari kejauhan, gadis
itu melambaikan tangan, sembari melangkah cepat menghampiri Bismaka.
“Sorry,
telat. Pas pamitan, malah diajak ngobrol sebentar sama Mama.” Rika
menghenyakkan diri pada kursi di seberang Bismaka.
“Nggak apa-apa. Aku rada santai hari ini.
Tadi jam sepuluh ada meeting sama
klien di Simatupang. Nanti jam dua meeting
lagi sama klien lain Di sekitar sini
aja, sih.”
“Meeting
teruuus....” Rika tertawa kecil di ujung ucapannya.
Bismaka tergelak ringan. Mereka segera
memesan makanan dan minuman. Setelah itu, Bismaka bergerak cepat ke kasir untuk
membayarnya, dan kembali lagi ke depan Rika. Keduanya kemudian asyik mengobrol.
Bismaka takjub dengan cahaya riang yang berlompatan keluar dari mata Rika
ketika gadis itu menceritakan keputusan besar ibunya.
“Jadi, mulai siang ini, aku sudah resmi lepas
dari perusahaan,” pungkas Rika. “Aku hanya aktif di food truck saja. Aku juga butuh waktu buat diriku sendiri.”
Bismaka menanggapinya dengan simpulan senyum
lebar. Senang sekali rasanya melihat Rika sudah keluar dari naungan awan kelabu
yang seolah ada di atas kepalanya belakangan ini.
“Berarti kita bisa lebih sering ketemuan di food truck, ya?” ujar Bismaka, antusias.
Rika sempat ternganga sejenak. Tapi melihat
ekspresi riang Bismaka, ia pun tersenyum lebar. Walaupun tak tahu harus
menanggapinya bagaimana. Untung saja sejenak ada jeda dalam obrolan mereka
karena pesanan mereka sedang disajikan. Ketika pramusaji sudah meninggalkan
mereka, mau tak mau Rika teringat berakhir di mana obrolan mereka baru saja.
“Wah, berarti aku bisa dapat gratisan aneka
penyetan, ya, kalau kamu lagi ada di truk?” celetuknya dengan nada jenaka.
Seketika Bismaka tergelak.
“Boleh... Boleh.... Barter sama tumpeh-tumpeh, ya?” ujarnya, di sela
tawa.
Mulut Rika sudah terbuka, hendak menanggapi
gurauan Bismaka. Tapi sebuah tepukan lembut di bahu kirinya membuatnya batal
berucap. Dan, ketika melihat siapa yang baru saja menepuk lembut bahunya,
seketika bibir Rika terkatup.
“Hai! Kebetulan ketemu di sini.” Pingkan,
adik Andries, tersenyum manis.
Rika masih terlalu kaget. Tapi dibalasnya
juga senyum itu. Kikuk.
“Sama siapa, Ke?” tanyanya kemudian, retoris.
Sama seperti keluarga Andries lainnya, ia pun memanggil Pingkan dengan nama
Keke.
“Sama misua-lah....” Pingkan tertawa ringan. “Tuh,
lagi bayar makanan.”
“Duduk sini saja,” ujar Bismaka. “Penuh, tuh,
tempat lainnnya.”
Tanpa banyak kata, Pingkan menghenyakkan diri
di sebelah Rika. Sedetik kemudian ia melambaikan tangannya pada sosok seorang laki-laki
muda yang sedang antre di depan kasir.
“Lagi istirahat siang kalian, ya?” celetuk
Pingkan, dengan nada akrab. Ia cukup mengenal Bismaka, karena menjadi pelanggan
truk penyetan pemuda itu. Pernah beberapa kali bertemu dan sempat mengobrol.
Karenanya Bismaka didapuk juga untuk
mengisi slot truk di resepsi pernikahannya beberapa bulan lalu.
“Iya, kebeneran punya waktu sinkron,” jawab
Bismaka. “Temen, tapi susah banget ketemuannya.”
Pingkan tertawa ringan. Sementara itu, dalam
hati Rika menyumpah-nyumpah. Ia sama sekali belum siap bertemu dengan keluarga
Andries dalam kondisi seperti itu. Apalagi, sudah kedua kalinya ini Pingkan memergokinya
tengah berdua dengan pemuda yang sama.
“Aku sebetulnya mau bikin janji sama kamu,
Rik,” ujar Pingkan. Kali ini dengan wajah serius. “Aku mau bikin merek kosmetik
sendiri untuk jaringan salonku di pabrikmu. Masih bisa, nggak?”
“Oh, nanti aku bilang Mama, deh, supaya kirim
tim marketing ke tempatmu. Tinggal bilang saja mau ketemuan di mana.”
“Langsung sama kamu saja, nggak bisakah?”
tawar Pingkan.
“Mm.... Aku sudah nggak di Nuansa Ayu lagi,
Ke,” jawab Rika, dengan ekspresi menyesal.
Sejenak pembicaraan itu terjeda karena
hadirnya Maxi, suami Pingkan. Setelah saling bertukar sapa dan kabar, Pingkan
kembali menatap Rika.
“Memangnya kamu keluar dari sana? Bukannya
Nuansa Ayu bakalan kamu yang pegang?” Pingkan mengerutkan kening.
Rika menggeleng. “Aku mau fokus di kuliner
saja, Ke. Nanti biar adikku saja yang nerusin pegang Nuansa Ayu.”
“Oh....” Bibir Pingkan membundar tanpa suara.
Sejenak kemudian pembicaraan mereka beralih
ke hal lain. Rika berusaha ikut terlibat di dalamnya. Untungnya Maxi dan
Bismaka seolah punya frekuensi yang sama. Obrolan mereka nyambung, dengan sesekali melibatkan Rika dan Pingkan.
Menjelang pukul satu, Maxi dan Bismaka
menyudahi obrolan itu. Maxi menoleh ke arah Pingkan.
“Kamu jadi ke rumah Mama atau pulang ke
Cikarang?” tanyanya.
“Ke rumah Mamalah...,” jawab Pingkan mantap. “Kamu
langsung saja balik ke Cikarang. Nanti sore biar aku pulang diantar sopir Papa.”
“Ya, sudah, pesen taksi dulu, aku tungguin.”
“Eh, pesen taksi segala,” sela Rika,
otomatis, tanpa berpikir dulu. “Sini, aku anterin!”
Pingkan dan Maxi sama-sama menatapnya sebelum
keduanya bertukar pandang. Pada detik itu, Rika seolah menyadari ucapannya yang
meluncur begitu saja, seolah tanpa melewati saringan di otaknya.
“Nggak apa-apa?” Pingkan memastikan.
Rika mengerjapkan mata. Kepalang basah!
“Ya, enggaklah,” jawabnya kemudian. “Aku bawa
mobil sendiri, kok, nggak nebeng Bimbim
tadi.”
“Gimana, Yang?” Pingkan menatap Maxi.
Tapi laki-laki muda itu menyerahkan keputusan
padanya. Akhirnya Pingkan mengangguk. Rika menatap Bismaka.
“Bim, cabut
dulu, ya. Makasih traktirannya,” senyumnya.
“Nanti sore ke truk mana?” Bismaka masih
sempat menahannya sejenak.
“Kayaknya hari ini enggak.” Rika menggeleng. “Nanti
jam tiga aku sudah janji mau jemput Mia. Mau ke rumah Eyang, sekalian mampir
menengok Opa.”
“Oh....” Bismaka manggut-manggut. “Ya, deh! Nanti-nanti
aku WA kamu lagi, ya?”
Mereka kemudian berpisah.
Satu kalimat yang diucapkan Pingkan kemudian
nyaris membuat Rika hilang kendali saat mulai meluncurkan mobilnya.
“Aku senang kamu sudah dapat pengganti
Andries secepat ini,” gumam Pingkan.
Lalu, frasa yang tanpa bisa dicegah menggema
berkali-kali dalam benak Rika adalah ‘secepat ini’. Membuat seluruh pikiran dan
ucapannya seolah terkunci.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar