* * *
Tiga
Bismaka menatap berkeliling. Mengamati satu
demi satu keramaian yang beredar di sekitarnya. Sesekali, tatapannya kembali
pada mangkuk kertas berisi cwimie dan pangsit goreng lezat yang ada di
depannya. Tangannya pun lincah memainkan sumpit. Ketika seseorang yang
dikenalnya melintas, ia buru-buru memanggil.
“Mit, tolong, aku dibawain jahe anget, ya,”
ujarnya.
Perempuan muda bernama Mita itu pun
mengangguk dan berlalu.
Salah satu cara untuk mengusir rasa sepinya
belakangan ini adalah dengan menyibukkan diri. Episode kisah cintanya dengan
Lusi sudah berakhir nyaris dua bulan yang lalu. Tak ada ganjalan. Tak ada sakit
hati. Karena memang mereka melepaskan diri dari hubungan kasih itu bukan
disebabkan oleh orang ketiga mana pun. ‘Lebih nyaman menjalin hubungan hanya
sebagai teman’. Akhirnya mereka menemukan dan menyadari hal itu setelah saling
mendekatkan diri selama hampir dua tahun.
Ia masih bertemu dengan Lusi hampir tiap
hari. Kantor mereka sama, walaupun lain divisi. Terkadang bertemu di lift,
terkadang masih berbarengan untuk ke kantin, terkadang juga masih bertemu di
ruang pertemuan. Berteman baik. Dan, keduanya sama-sama merasa bahwa memang
jauh lebih baik dan lepas bila mereka cukup berteman baik saja. Tidak lebih,
tidak kurang.
Keasyikan Bismaka sedikit terusik ketika
seorang pramusaji food truck miliknya
datang, menyajikan segelas besar jahe hangat. Tak lupa ia mengucapkan terima
kasih sebelum menyesap seduhan jahe hangat itu.
Dunia kembali riuh di sekelilingnya. Malam
Sabtu, malam Minggu, dan hari Minggu merupakan hari panen bagi usaha food truck miliknya. Bukan miliknya secara
utuh, sebenarnya. Melainkan hasil join dengan Ernest, sahabatnya.
Tapi belakangan ini ia cukup pusing. Ernest
sedang berpikir-pikir untuk melepaskan semua sahamnya atas kepemilikan usaha food truck itu. Padahal usaha mereka itu
makin maju dan berkembang. Ernest malah mengembangkan usaha kuliner bersama
Sierra – kekasihnya – di Bogor, yang tampaknya juga cukup maju berkat tangan
dingin dan pengalaman Ernest.
Pelepasan saham itu dimulai dengan
ditawarkannya warteg besar mereka di belakang sebuah kampus kepada Bismaka.
Ketika ibunya mendengar hal itu, segera saja dibayarnya lunas saham milik
Ernest. Jadi, Bismaka kini ber-partner
dengan ibunya sendiri. Sekarang sisa food
truck. Bukan masalah besar bila hanya satu. Tapi beberapa? Bismaka terpaksa
menghela napas panjang.
Sebenarnya, sebuah solusi sudah ditawarkan
oleh ayahnya. Ayahnya ingin mengambil kesempatan untuk membeli saham Ernest
karena ia ingin pensiun dini. Ia merasa kariernya di dunia perbankan sudah
lebih dari cukup. Sudah saatnya untuk menikmati hari (yang sebenarnya belum
terlalu) tua dengan berada lebih dekat dengan putra tunggalnya, dengan cara
menjalankan usaha bersama. Tapi, Bismaka masih harus berpikir ulang.
Menjalankan usaha kuliner yang terus
berkembang tentunya membutuhkan perhatian, waktu, dan tenaga yang lebih. Tak
mungkin membiarkan ayahnya yang ‘masih hijau’ itu lebih banyak pontang-panting
sendirian, walaupun ia yakin, ibunya yang memiliki katering tenar itu pasti
akan membantu. Sementara, ia sendiri masih berstatus sebagai staf sebuah
perusahaan besar.
Terkadang, ia menyesali keputusannya untuk
‘ikut orang’. Di sisi lain, justru di tempat kerjanya itu ia bisa menemukan
berbagai hal baru yang membuatnya berani mengerahkan semua kemampuan yang
selama ini sedikit tersembunyi. Kariernya cukup bagus. Kemajuannya cepat. Tapi,
dihadapkan pada soal usaha mandirinya seperti ini, tak ayal ia goyah juga.
Karena makan sambil setengah melamun, ia
terlambat menyadari bahwa mangkuk kertas cwimienya sudah licin tandas. Padahal
rasa-rasanya ia belum puas makan. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia
kemudian memutuskan untuk memesan seporsi lagi cwiemie ‘tumpeh-tumpeh’ yang
merupakan varian tertinggi yang disediakan oleh sebuah food truck di belakang food
truck-nya. Isinya cukup heboh, memang sampai tumpeh-tumpeh.
Dibawanya gelas jahe hangatnya yang masih
tersisa separuh. Dengan sabar, ia kemudian antre di belakang lima pembeli.
Ketika tiba gilirannya, ia membalas senyum lebar orang yang melayaninya. Rika.
“Hai, Bimbim!” ucap Rika dengan cukup akrab.
“Mau pesan apa?”
“’Tumpeh-tumpeh’ satu,” jawab Bismaka,
mantap. “Tumben di sini?”
Sepersekian detik kemudian Bismaka menyadari
ketololannya. Apalagi ketika ia menemukan mendung bersemburat di wajah cantik
gadis itu. Tentu saja ia tahu bahwa Rika baru saja ditinggal kekasihnya
berpulang.
“Iya,” jawab Rika, pendek saja.
Dua detik mereka sama-sama terdiam, sebelum
gadis itu kembali dengan mimik dan suara ramahnya.
“Mau dianter ke meja mana ini?” Pertanyaan
itu standar saja.
Bismaka sejenak menatap berkeliling.
Ditemukannya satu meja kecil kosong di bawah pohon trembesi, tak jauh dari food truck mereka. Ke sanalah ia
menunjuk. Rika pun mengangguk dan menyuruhnya menunggu di tempat yang sudah
ditentukan. Bismaka pun segera menyingkir setelah membayar dan mengucapkan
terima kasih.
Hampir sepuluh menit lamanya ia kembali
tenggelam dalam resahnya. Yang membuatnya kembali ke alam nyata adalah aroma
sedap cwimie yang mengelus hidungnya. Ia mendongak, mendapati Rika sendiri yang
mengantar dan menyajikan seporsi cwimie ‘tumpeh-tumpeh’ itu ke hadapannya.
“Sebenarnya aku sudah makan ini tadi,” ucap
Bismaka setelah mengucapkan terima kasih. “Tapi nggak kerasa apa-apa.”
“Lho....” Wajah Rika terlihat kaget. “Kurang
enak atau gimana?”
“Oh, bukan!” Bismaka buru-buru meluruskan.
“Selalu enak, kok. Beneran! Cuma, tadi aku makannya sambil melamun. Jadi,
tahu-tahu habis, nggak sempat ingat rasanya.” Bismaka meringis jenaka.
“Oh....” Rika terlihat lega. Senyum lebar
terbit di wajahnya. Sedetik kemudian....
“Mm.... Boleh nggak, aku ikutan makan di
sini?” Rika terlihat ragu-ragu. Nada suaranya pun terdengar mengambang. “Aku
pesan iga bakar dari food truck-mu
baru saja.”
“Ha! Ayo!” seru Bismaka langsung. “Nggak
enak, tahu, makan sendirian. Bisa melamun lagi aku.”
Rika kembali tersenyum dan mengambil tempat
di depan Bismaka, di seberang meja. Sejenak Bismaka menatap Rika. Terlihat
serius.
“Mm.... Aku turut berbela sungkawa atas
berpulangnya Mas Andries, ya,” ucapnya sungguh-sungguh. “Aku baca beritanya di
media online waktu aku dinas di
Surabaya. Makanya aku nggak bisa datang ke pemakaman.”
“Ya, terima kasih, Bim.” Suara Rika nyaris
menyerupai bisikan.
“Kalau ada yang bisa kubantu, bilang saja. Anything, Rik. Serius.”
Rika mengangguk sambil mengucapkan terima
kasih. Saat itulah makanan dan minuman pesanannya diantarkan oleh salah seorang
pegawai Bismaka.
“Kamu sendiri, mana Lusi? Tumben sendirian.”
Bismaka tertegun sejenak. Tapi ia segera
tersadar.
“Mm.... Sudah bubaran. Dah dua bulanan ini.”
Rika terlihat bengong. Bismaka meringis
sekilas.
“Jangan nyangka yang enggak-enggak.” Ia
menyambungnya dengan tawa kecil. “Bubarannya baik-baik, kok. Sama-sama
menemukan bahwa kami lebih cocok untuk jadi sahabat saja. Nggak lebih, nggak
kurang.”
Bibir Rika membundar tanpa suara.
Masalah mereka masing-masing kemudian mereka
kesampingkan. Pembicaraan beralih ke usaha mereka yang sama-sama terus
berkembang. Terkadang ada sepi-sepinya juga, tapi tak lama. Berikutnya grafik
penjualan akan meningkat lagi. Begitu seterusnya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Catatan:
Mulai minggu ini, cerbung “Let Me Love
You This Way” akan terbit pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.
Mulai hari ini juga, bagi pembaca yang
ingin menikmati kembali cerbung ”Perawan Sunti dari Bawono Kinayung”, dapat
mengintip ke SINI.
Terima kasih....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar