* * *
Hari
itu adalah ulang tahun ke-49 Owen. Sengaja dirayakan lebih daripada biasanya,
karena usia itulah yang menurut Owen usia ‘seksi’. Seket
kurang siji, alias lima puluh kurang
satu. Mereka merayakannya lengkap berlima. Rika, Neri, Mia, Owen, dan Kencana.
Entah kebetulan atau tidak, hari itu Neri yang sudah berada di seminari tinggi
punya kesempatan untuk sejenak pulang ke rumah.
Berhari-hari
sebelumnya, Rika cukup pusing menentukan hendak di mana mereka akan merayakan
ulang tahun sang kepala keluarga. Di food truck-nya seperti tahun-tahun sebelumnya? Rika
buru-buru menggeleng. Kurang istimewa,
pikirnya.
Ia
sudah punya daftar sekian belas rumah makan dengan rekomendasi minimal bintang
empat. Maka, ketika rasa bingung makin menggulungnya, sementara hari ulang
tahun Owen makin dekat, ia pun memutuskan untuk memejamkan mata, dan
menjatuhkan jari telunjuknya pada satu titik di daftar yang ada di depannya.
Bistro
La Lune. Sebuah bistro dengan rekomendasi empat setengah bintang yang letaknya
tak jauh dari rumah mereka. Keputusan Rika pun bulat sudah. Ketika ia
memberitahu ibunya, perempuan ayu itu pun langsung setuju.
Suasana
tenang, nyaman, dan hangat menyambut mereka sore itu di Bistro La Lune. Membuat
wajah mereka berlima makin bercahaya.. Sebuah tempat yang ditata untuk berlima
sudah tersedia di sudut dekat panggung kecil untuk live
music.
Seorang
pria tinggi besar berusia awal enam puluhan duduk di panggung itu. Menghadap ke
sebuah grand piano,
mendentingkannya dengan lembut, sembari menyanyi dengan suara merdunya. “I Believe
I Can Fly”.
“Suaranya
mirip banget sama James Ingram,” celetuk Mia, ketika urusan pesan-memesan
makanan dan minuman mereka sudah selesai.
Gadis
remaja itu sudah lama terkontaminasi oleh selera musik ibu dan kakaknya. Kenal
beberapa penyanyi gaek,
sekaligus menyukai juga lagu-lagu mereka.
“Wah,
iya,” sahut Neri, menyadarinya. Tentu saja mereka bertiga, anak-anak Kencana
dan Owen, tahu persis kisah cinta orang tua mereka itu.
“Mau
di-request-in lagu apa, nih?” tanya Rika sembari meraih
secarik kertas kecil dan bolpen yang tersedia pada setiap meja. Sengaja
disediakan untuk para pelanggan bistro yang ingin memesan lagu live.
“Aku
tahu!” Neri nyengir
jenaka. “’Always You’! Lagunya Papa-Mama banget.”
“Ah,
ya! Betul!” dukung Rika.
Kencana
dan Owen pun tergelak dengan wajah sedikit tersipu. Setelah selesai menuliskan request, Rika pun berdiri dan melangkah ke arah
panggung. Dengan sabar, ditunggunya hingga seorang laki-laki berkemeja batik di
depannya menyelesaikan urusan request lagu.
Beberapa belas detik kemudian, urusannya pun selesai juga.
”Berikutnya
adalah permintaan dari meja nomor sembilan,” ujar penyanyi sekaligus pemain
piano itu. “Dari Mas Ardi. Ucapannya, ‘selamat ulang tahun untuk istriku
tercinta, Wulandari. Semoga selalu dianugerahi kasih, kesehatan, kesabaran,
kebahagiaan, dan kesuksesan dalam tiap detik kehidupan di masa mendatang’.
Lagunya... ‘For Always’ dari Lara Fabian dan Josh Groban. Wah, harus duet ini.
Untuk itu saya panggil putri saya Ruby. Ruby... halo... Ayo, ke sini, temani
Papa nyanyi.”
“Asyik,
ya, suasana di sini,” celetuk Mia. “Romantis....”
“Hadeeeh...
Yang remaja gen Z dah kenal romantis....” Neri mencolek ujung hidung adiknya.
Mereka
berlima tertawa. Ketika makanan dan minuman yang mereka pesan sudah tersaji
secara lengkap, tanpa dikomando mereka bergandengan tangan. Mengucap rasa
syukur, ucapan terima kasih, dan harapan melalui doa yang dipanjatkan Neri.
Kemudian, sambil menikmati alunan lagu merdu dari panggung live
music, mereka pun mulai makan sembari
bertukar aneka cerita.
“Berikut ini adalah permintaan dari meja nomor
lima. ...”
Ada
jeda di sekeliling meja keluarga Owen ketika suara berat dan empuk penyanyi itu
menggema, setelah gema tepuk tangan mereda.
“...
Ucapannya, ‘happy thirty fifth anniversary for Mama and
Papa. From Nick, Ariana, and Iori, Andries, Keke and Maxi. ‘Let Me Love You This Way’, dari James Ingram.”
“Euh...
James Ingram juga,” gumam Mia. “Cucok meong emang suaranya.”
Mereka
berlima tergelak ringan. Saat itulah tatapan Rika tanpa sengaja jatuh pada
seorang laki-laki yang menempati kursi di meja yang tak terlalu jauh dari arah
depannya. Meja yang saat ini permintaan lagunya sedang diudarakan oleh sang
penyanyi, diiringi denting piano yang indah. Sedetik, mereka bertukar pandang,
sebelum sama-sama mengalihkan perhatian ke arah lain.
Kayaknya dia yang tadi antre di depanku, pikir Rika.
Sekilas
ia menyapukan pandangan lagi ke arah laki-laki berkemeja batik sogan lengan
pendek itu. Walaupun cukup singkat, tapi sudah meninggalkan kesan tertentu
dalam hatinya. Entah kenapa.
Ia
bukanlah tipe gadis yang mudah menjatuhkan hati pada setiap laki-laki yang bisa
dikatakan berpenampilan menarik. Di bawah sadar, ia seolah sudah punya
keinginan untuk menemukan laki-laki yang ‘mirip Papa’. Perpaduan antara
almarhum ayahnya, yang walaupun lumayan samar dalam ingatan, dengan Owen adalah
citra yang sungguh pas dalam angannya. Tapi hingga kini usianya sudah menginjak
angka dua puluh enam tahun, ia belum juga menemukannya.
“Terlalu sempurna.” Begitu ‘cela’ Neri. Dan, ia hanya tertawa. Yah, bolehlah
standarnya diturunkan sedikit, pikirnya
jahil.
Kenapa dia mengusikku banget, sih? Kembali ia menatap ke seberangnya. Tepat
saat laki-laki itu menatapnya pula. Buru-buru Rika mengalihkan pandangannya.
Tepat pada saat lagu request dari
keluarga laki-laki itu berakhir, diiringi riuh tepuk tangan.
“Berikutnya,
yang terakhir dari saya untuk hari ini – karena napas saya sudah hampir habis,
dan pemusik kami sudah hadir – adalah... ha! James Ingram lagi.”
Terdengar
dengung tawa tertahan dari para pengunjung bistro.
“Kali
ini dari meja nomor dua. Ucapannya, ‘selamat ulang tahun keempat puluh sembilan
untuk Papa Owen tercinta. Semoga dalam usia seksi ini, Papa selalu berada dalam
berkat dan perlindunganNya. Dari Mama, Neri, Mia, dan Rika. Lagunya... ‘Always
You’. Sebentar....” Penyanyi itu menoleh ke arah meja Owen sekeluarga.
Tersenyum lebar. “Kok, bisa usia empat sembilan itu seksi?”
“Seket
kurang siji, Pak!” jawab Owen dalam derai
tawa. “Lima puluh kurang satu.”
Dan,
penyanyi itu pun tergelaklah. Demikian pula sebagian besar pengunjung bistro.
“Oh,
ya, ya, saya paham,” ujarnya kemudian. “Oke, ‘Always You’ untuk Bapak
sekeluarga. Kebetulan ini adalah lagu favorit istri dan saya. Bun....“
Laki-laki itu menatap ke meja yang berada di sisi panggung.
Seorang
perempuan berusia awal enam puluhan berwajah teduh duduk di depan meja itu.
Sendirian. Mengembangkan senyum manisnya.
“...
Lagu ini untukmu juga.”
Terdengar
riuh tepuk tangan. Kemudian hening. Dalam ruang itu hanya menggema kedalaman
rasa yang dilantunkan oleh sang penyanyi, diiringi piano yang didentingkannya.
Rika
tersenyum samar ketika melihat tangan kedua orang tuanya saling menggenggam. Betapa
beruntungnya ia boleh menjadi saksi atas cinta-cinta indah yang bertaburan
dalam hidupnya.
“Kak...,”
bisik Mia tiba-tiba.
“Hm?”
Rika menoleh ke kanan, menatap adiknya.
“Itu
mas-mas yang pakai batik gelap itu, berkali-kali lihatin Kakak, lho!’
“Lihatin
kamu, ‘kali....” Tak urung, ada yang berloncatan dalam hati Rika.
“Ish!”
Mia terlihat sebal. Bibirnya mengerucut. “Aku, kan, masih imut. Masa ditaksir
om-om?”
Rika
terkikik geli.
“Tadi
bilangnya mas-mas.... Kok, berubah jadi om-om, sih?” godanya lebih lanjut.
“Hiiih!”
Mia melengos.
“Ada
apa?” tanya Owen, melihat kedua putrinya, yang satu tertawa, yang satunya lagi
terlihat manyun.
Tapi,
baik Mia maupun Rika memilih untuk tak menjawab. Hanya nyengir
jenaka dan meringis tak jelas.
Rika sama
sekali tak menyangka, bahwa ia akan segera bertemu lagi dengan laki-laki
menarik itu. Tak butuh waktu lama. Hanya keesokan harinya saja.
* * *
Catatan:
Kisah penyanyi-pianis bistro dan
istrinya dalam episode ini dapat dibaca dalam versi pdf berbayar. Bisa hubungi saya bila berminat. Terima kasih. 🙏🏼
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar