The Best
Of the Worst
“Aku mau balik ke Banten, ikut Papa,” ujar Dika dengan wajah gelap.
Pada libur Imlek saat anak-anak kelas 8, aku ke Surabaya. Sudah tak terhitung lagi besarnya rinudku kepada mereka. Untungnya, kalau masih bisa dikatakan untung, Marie (ibu anak-anak) selalu membiarkan aku bebas bertemu anak-anak. Aku tahu kenapa. Karena ia juga bisa ‘cuti’ sejenak dari kewajiban mengurus anak-anak.
“Aku juga,” timpal Ajeng.
Keinginan mendadak seperti ini, pasti ada apa-apa. Ketika pelan-pelan kutanyakan, hasilnya nihil. Jawaban mereka sama, “Pokoknya balik ikut Papa lagi.”
Dulu, saat awal-awal anak-anak ada di Surabaya, pernah muncul pertanyaan dari mulut keduanya. “Apa benar Papa selingkuh?” Pertanyaan yang sungguh tak kuduga akan terlontar begitu saja. Terang saja aku mengatakan ‘tidak’, karena aku memang sama sekali tak pernah melakukannya. Justru... Ah, sudahlah!
Saat itu, aku tak tahu apakah anak-anak percaya padaku. Tapi yang jelas, sikap mereka padaku tak berubah. Tetap baik dan hangat seperti biasanya. Belakangan, aku tahu bahwa keduanya bahkan ‘menyelidiki’ hingga ke Wira. Dan, mereka percaya aku tak pernah melakukan apa-apa.
Kembali ke masa libur Imlek itu. Aku baru mendapatkan jawabannya saat sudah tiba kembali di Banten. Dika mengirimiku BBM, isinya, “Om Yos sering bawa pacarnya ke rumah.”
Aku terhenyak. Orientasi seksual adik iparku itu, satu-satunya adik Marie, aku sudah lama tahu. Selama ini aku tak terlalu peduli hal itu. Itu urusannya. Tapi ketika membawa pacar sesama jenisnya ke rumah dengan intensitas ‘sering’, dan anak-anak tahu secara gamblang, aku tak lagi bisa berdiam diri.
Di Surabaya, Marie dan anak-anak memang tinggal di rumah mertuaku. Yos juga masih di sana. Mertuaku sendiri lebih banyak berada di Eropa, salah satu negara Skandinavia, tanah kelahiran bapak mertuaku.
Ketika aku menghubungi Marie untuk membicarakan masalah ini, jawaban yang diberikannya tak memuaskan. Dia berprinsip bahwa apa pun yang Yos lakukan, bisa dipastikan tak akan mengganggu anak-anak, karena Yos tinggal di paviliun.
Tidak mengganggu? Pada kenyataannya, anak-anak sudah merasa terganggu!
Segera terpikir untuk kembali ke Surabaya saat itu juga, dan membawa kembali anak-anak ke Banten. Sayangnya, pada saat yang berimpitan, aku harus berdinas ke luar negeri. Aku bahkan tak ingat bagaimana pekerjaanku berjalan. Yang ada di kepalaku cuma wajah anak-anak.
Hasilnya, beberapa hari sepulang dari dinas luar, aku kolaps. Ketika aku benar-benar sadar, aku berada di... salah satu rumah sakit di Cikarang. Bagaimana bisa?
Jadi begini, aku punya seorang sahabat. Ferdinand namanya. Rumah orang tuanya di Surabaya persis bersebelahan dengan rumah kakek-nenekku. Bahkan kami kuliah di kampus yang sama, hanya saja berbeda fakultas. Aku lulus duluan dengan menyandang gelar ST., sedangkan dia belakangan dengan hasil boleh menyematkan gelar ‘dr.’ di depan namanya. Hingga saat ini, ia tinggal dan bekerja di Cikarang.
Aku didiagnosis kena serangan jantung. Stress itu ternyata kejam. Sopirku menghubungi Wira setelah aku diangkut dari kantor ke rumah sakit, dan Wira meminta tolong kepada Ferdi untuk mengurusku. Kenapa tidak Wira sendiri? Karena pada saat yang sama Wira sedang menjalani sesi kemoterapinya. Ya, Wira fighter CA. Baru beberapa bulan sebelumnya vonis itu jatuh. Dia kena leukemia.
Singkat cerita, karena aku hanya sendirian di Banten, hanya hidup dengan sepasang ART dan sopir pribadi, maka Ferdi memutuskan untuk memindahkan aku dari Banten ke Cikarang. Tentunya sebagai dokter (walaupun SpA., alias 'bukan' dokter orang dewasa) dia paham kondisiku. Jadilah aku dirawat di rumah sakit tempat Ferdi berdinas, sampai aku pulih, bisa pulang ke Banten, dan bisa bekerja kembali.
Sialnya, anak-anak mendapatkan bocoran bahwa aku sakit dari Menik, ART-ku. Tak lama setelah aku kembali bekerja, anak-anak melancarkan aksi mogok sekolah, seperti yang sudah sedikit kuulas pada catatanku yang lalu.
Setengah mati aku menahan diri agar tidak kolaps lagi. Yang ada dalam pikiranku, kalau aku sampai kolaps lagi, lantas kebablasan, dan aku mati, bagaimana nasib anak-anak? Aku sendiri tak tahu apa yang ada dalam kepala Marie. Yang jelas, adik Ferdi yang di Surabaya akhirnya terpaksa ikut campur tangan atas permintaanku. Fira namanya. Di Surabaya, Marie bekerja di salah sebuah klinik swasta. Marie memang dokter. Dulu teman seangkatan Ferdi.
Keluarga Ferdi punya sebuah klinik di Surabaya. Fira-lah yang menjadi bos klinik itu. Sedikit flash back, saat membawa kabur anak-anak, Marie beralasan aku selingkuh. Sebagai teman, Ferdi lalu ‘memberikan tempat’ bagi Marie untuk melanjutkan karier. Apalagi alasannya adalah ‘Ken selingkuh’. Dan sialnya, saat itu Ferdi percaya saja (walaupun belakangan dia merasa ‘kecolongan’ dan merasa tertipu).
Fira pula yang membantu ‘menyediakan’ psikolog untuk keperluan konseling anak-anak. Bagaimanapun, kedudukan Fira sebagai atasan membuat Marie sedikit segan dan tidak banyak ceriwis walaupun itu tergolong masalah pribadi.
Pada salah satu sesi konseling itulah terungkap bahwa anak-anak tidak hanya terganggu karena Yos sering membawa pulang pacar sesama jenisnya, tapi juga karena Marie mulai terang-terangan meningkatkan hubungan dengan orang ketiga dalam pernikahan kami. Jadi, memang sangat direkomendasikan bagi anak-anak untuk meninggalkan Surabaya dan kembali berada di bawah pengasuhanku.
Hanya saja, karena waktunya tanggung sekali, maka dengan sangat kuminta agar anak-anak bersabar sampai kenaikan kelas. Sekaligus membereskan urusan mutasi sekolah anak-anak.
Masalah berikutnya adalah ‘tidak ada’ sekolah yang ‘kondusif’ di Banten. Satu-satunya tempat terdekat adalah Jakarta. Pilihannya ada dua, anak-anak kost, atau tinggal bersama Wira.
Mengingat kondisi kesehatan Wira, maka tinggal bersama Wira adalah hal terakhir yang bisa kupikirkan. Aku benar-benar tak mau membebaninya. Tapi Wira dan Ninin rupanya sudah siap untuk menampung dan mengasuh anak-anak. “Daripada anak-anak kost, Mas,” begitu kata Wira. Maka, dengan sangat terpaksa, aku menyerahkan Ajeng dan Dika kepada Wira dan Ninin. Lagipula, sekolah baru mereka memang cukup dekat dari rumah Wira. Dan, puji syukur kepada Tuhan, anak-anak sangat memahami situasi ini.
Anak-anak memang tak berada langsung di bawah pengasuhanku. Tapi untuk saat itu, tinggal dan melanjutkan sekolah di Jakarta adalah hal yang terbaik bagi anak-anak, juga bagiku. Aku tak lagi harus menunggu 2-3 bulan sekali untuk bertemu mereka. Aku bisa melakukannya tiap akhir pekan.
Belakangan, dituturkan sendiri oleh Ninin, kehadiran anak-anak juga memberikan semangat lebih bagi Wira untuk tetap berjuang. Wira yang mendapat kelonggaran dari kantornya untuk bekerja hanya empat hari dalam seminggu selalu menyempatkan diri untuk mengantarkan anak-anak ke sekolah setiap hari Jumat.
Tapi sebaik apa pun situasi ini berjalan bagiku dan anak-anak, aku masih tetap berharap untuk bisa berkumpul lagi bertiga. Entah bagaimana caranya. Berharap berkumpul berempat? Aku tak mau mimpiku terlalu tinggi. Saat ini fokusku adalah pekerjaan, anak-anak, dan kondisi Wira.
Aku dianggap menggantung status pernikahanku dengan Marie? Maaf, aku hanya berusaha untuk patuh terhadap aturan dalam keyakinan yang kuanut. Pecahnya bahtera ini bukan 100% kesalahan Marie. Aku tahu, andilku pun sangat besar di dalamnya. Bahkan sudah dimulai sejak awal kami memutuskan untuk menikah. Ada apa? Nanti, akan kuceritakan pada kesempatan yang lain.
Sampai berjumpa lagi Sabtu depan!
* * * * *
(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi)
Kisah sebelumnya : "Perkenalkan, Aku Ken"